BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Friday, January 23, 2009

Siti Nurrofiqoh, Pejaung Buruh


"Mbak Fiqoh" begitu ia disapa--adalah penjahit dan aktivis. Dia ketua umum Serikat Buruh Bangkit di Tangerang. Kerja sampingannya, di Yayasan Pantau, mengurus training serta mengerjakan kerja kantor. Dia juga sering merasa malu karena dulu kurang beruntung bisa sekolah macam kita. Mbak Fiqoh hanya lulusan sekolah dasar. Tapi kecerdasan dan ketrampilannya tak kalah dengan mereka yang lulus universitas.

PENGANTAR: Pada tanggal 23 November 2006, saya bersama empat rekan redaktur (Nur Iskandar, Aleksander Mering, Yusriadi dan Hairul Mikrad) dipecat dari Harian Equator (Jawa Pos Grup) di Pontianak, karena dianggap partisan politik Dayak menjelang pilgub Kalbar (15 November 2007). Saya termasuk rajin mempublikasikan tokoh-tokoh tertentu diantaranya, M Akil Mochtar (kini Hakim Mahkamah Konstitusi), Cornelis (kini Gubernur Kalbar), yang masuk daftar blacklis di media tersebut.
Usai dipecat, banyak tawaran kerja di beberapa media Jakarta (cetak dan elektronik). Tapi awal Januari 2007, saya lebih memilih belajar di Yayasan Pantau. Saya ingin mendalami tentang kepenulisan narasi di Pantau. Di Pantau, saya bertemu Siti Nurrofiqoh, salah seorang staf di kantor itu yang ceritannya jauh lebih buruk dari saya. Dia sudah 10 kali dipecat, karena membela kepentingan buruh.
"Mbak Fiqoh" begitu ia disapa--adalah penjahit dan aktivis. Dia ketua umum Serikat Buruh Bangkit di Tangerang. Kerja sampingannya, di Yayasan Pantau, mengurus training serta mengerjakan kerja kantor. Dia juga sering merasa malu karena dulu kurang beruntung bisa sekolah macam kita. Mbak Fiqoh hanya lulusan sekolah dasar. Tapi kecerdasan dan ketrampilannya tak kalah dengan mereka yang lulus universitas.
Jumat (23/1) pagi, saya sengaja datang awal ke kantor cek email. Sudah menjadi kebiasaan, saya tidak pernah melewatkan setiap email Mas Andreas Harsono, sementara yang lain termasuk spam kadang saya abaikan dan tidak membukanya sama sekali. Dan beruntung sekali pagi itu saya menemukan tulisan Mbak Figoh yang menurut saya sangat luar biasa untuk ukuran Mbak Figoh. Dia bercerita tentang tahun baru dan kesepian. Dia gundah dengan usianya yang semakin tinggi, belum mendapatkan tambatan hati.
Terima kasih Mas Andreas telah melemparkan tulisan Mbak Figoh ke milis Komunitas Pantau. Tuliasn itu saya publikasikan kembali di blog saya agar bisa berbagai dengan rekan-rekan di Borneo Raya ini. Selamat membaca!
Salam, Tanto Yakobus
***
Tahun Baru Kali Ini
Oleh Siti Nurrofiqoh

Waktu. Ia terus bergulir tanpa seorang pun mampu mencegahnya. Pelan namun
pasti, masa hidup manusia terlewati dalam keniscayaan. Siapapun tak bisa
menawar. Maka seharusnya, ia begitu berharga.
Banyak manusia merasa resah, ketika menyadari setengah abad masa hidupnya
terlewati. Banyak yang merasa tak rela, ketika pertambahan usia, memberi
gelar tua. Mereka menghibur diri untuk tetap merasa muda, dan kadang
menjadi sensitif tatkala sebuah panggilan menyadarkan usia yang
sebenarnya. Jika mungkin, waktu ingin diputar kembali.
Namun, dalam ruang yang lain, banyak manusia yang dengan kesadaran,
berharap agar waktu cepat berlalu. Jam serasa melaju sangat lamban. Di
pagi hari mendamba datangnya siang, di siang hari mengharap segera sore,
lalu datang malam, dimana jam kerja berakhir.
Ratusan, bahkan ribuan manusia, berada dalam keadaan yang bukan atas
pilihannya. Bergelumut kepulan debu, berbaur bersama bulu-bulu. Amisnya
bulu asli, masih terasa lebih baik dibanding bulu buatan. Mereka bilang,
bulu buatan, kimianya tajam untuk paru-paru.
Cepatlah siang, cepatlah sore, cepatlah datang malam, agar segera pulang.
Segera tinggalkan kepulan debu-debu dan bau amisnya bulu-bulu. Itulah
harapan di balik mulut-mulut bermasker. Setiap bulu-bulu dijejalkan ke
dalam jaket, setiap kali pula debu masuk ke pernafasannya. Sesak. Itulah
salah satu proses pembuatan jaket yang didesain untuk negara bermusim
gugur. Amerika, Jepang, Korea, Canada dan lainnya.
Sebagian lagi, diapit dinamo mesin-mesin, berpacu dengan kecepatan
langkah-langkah jarum, yang kalau patah akan memercikkan api, akibat
panasnya gesekan tanpa henti. Mata temanku, menjadi cacat karenanya. Namun
menjalankan mesin jahit masih lebih beruntung dibanding mesin lobang
kancing yang pisau tajamnya bisa membelas telapak tangan. Sudah banyak
korban, dan aku berdoa agar jangan sampai memegang mesin itu. Yah, doa
yang tamak. Masih saja, aku memikirkan keselamatan diri sendiri dan
membiarkan yang lain untuk ditumbalkan.
Atap terbuat dari seng tanpa plafon, memancarkan hawa panas diterpa sinar
matahari. Ditambah dinamo mesin-mesin dan lampu-lampu pabrik yang
tergantung rendah di atas kepala, membuat tubuh terus mengucurkan
keringat. Sapu tangan dalam aneka warna, (selampek, kami menyebutnya) ,
menempel di di atas kepala. Maksudnya untuk melindungi panas, meski uap
basahnya terasa mendidih menetes di kulit.
Setiap detik, desing mesin berbaur dengan teriakan demi teriakan mandor.
Dari tanganku harus selalu melahirkan karya, yang disebut produksi.
Kerah-kerah terpasang, manset tersambung, saku tertempel. Tidak boleh
meleset selangkah jarum pun, tidak boleh miring barang semili pun. Semua
harus sesuai standar merk ternama berkualitas internasional. Levi Strauss.
Nike. Adidas..
Begitulah kulewati siangku. Memikirkan targetnya, kualitasnya,
komponennya, menjadi bagian mimpi malamku. Temanku yang sudah bersuami,
sering kehilangan nafu berhubungan badan dengan suaminya, karena
pikirannya terganggu. Dalam mimpinya ia memncari-cari komponen baju yang
belum ketemu. Ia pun terbangun, berjalan sambil menyebut-nyebut barang
itu. Paginya, ia panggil kedua anaknya yang lucu-lucu, Kelvin dan Felix
dengan nama komponen baju.
Semua untuk uang. Yah, uang. Tidak yang lain. Aku perlu makan. Makan pagi
agar bisa bekerja hingga siang. Makan siang, untuk mengganjal perutku
ketika sarapan pagiku sudah tergerus hingga jam duabelas saat sirene
menjerit-jerit tanda istirahat. Dan untuk melanjutkan pekerjaanku hingga
malam hari.
Selain nasi, bakwan dan ubi rebus menjadi makananku, juga teman-temanku.
Seribu dapat tiga potong. Temanku yang latah, mulutnya sering reflek
berdoa buat si mamang pedagang ubi. Ia tak bisa membayangkan jika si
mamang absen berjualan. Melihat gerobaknya di depan gerbang, ada kelegaan
tersendiri.
Ribut-ribut kecil terjadi ketika tangan-tangan tak sabaran mengerubuti
gerobak. Semua ingin memilih. Lalu, tangan-tangan gemetar segera
membelah-belah ubi panas yang masih mengepulkan asap. Gumpalan-gumpalan
besar segera berdesakan melewati tenggorokan, membuat muka-muka besemburat
merah. Urat-urat besar menyembul di kiri-kanan leher seperti belut
sersesat di dalam kulit. Sesaat, ada kepuasan yang seolah totalitas.
Ada suatu masa, ternyata hidup tidak hanya sekedar mengisi perut. Naluriah
keperempuananku merasa butuh tampilan yang lain, untuk seorang laki-laki
di pertigaan jalan yang selalu menjumpaiku setiap sore, kadang juga malam.
Di sanalah ia menunggu. Dan hati kecilku kadang mengutuk seragamku. Hem
gomrong dan celana begi, yang menyembunyikan keindahan tubuhku.
Seandaninya saja, aku bisa memakai celana model cantik buatanku itu… Aku
berkhayal. Entah ini disebut manusiawi atau ambisi. Merk mahal, katanya
bisa menaikkan gengsi pemakainya. Apa lagi disaat jatuh cinta begini.
Tapi, toh aku tak bisa memakainya. Ia segera menjadi sesuatu yang asing
ketika terpajang di outlet mall-mall ternama. Aku hanya mendapati
debu-debunya yang masuk dipernafasan, lekat di pori-pori kulitku, dan
menempel di bajuku hingga terbawa masuk ke kontrakan.
Berkali-kali kakiku selalu menyambangi outlet barang terebut setiap kali
aku ke mall untuk mencari obralan kebutuhan kamar mandi. Berkali-kali
kudekati karton bertulsikan discount 30 – 50%. Tapi, masih saja, tak
kurang dari 200 ribu. Jelas, tak terjangkau oleh isi kantongku.
Kini usiaku sudah 30 tahun. Berarti, sudah 13 tahun kuhabiskan umurku di
pabrik itu. Ada kegelisahan lain, ketika rasa ngilu mulai menjalari di setiap
persendian. Badan mudah lelah. Kepala sering pusing. Badanku gampang sakit
sekarang.
Keresahan lain, ketika kusadari, selama di perantauan tak ada hasil yang
bisa kusimpan. Gaji demi gaji yang kuterima setiap bulan, sekedar menjadi
jembatan ringkih untuk mengantarkan nafas demi nafas menyambung hidup
dalam setandar KHL (Kebutuhan Hidup Layak) menurut pemerintah yang aku tak
paham. Yang kutahu, betapa pusing memutar otakku untuk membelanjakan uang
agar makan tak lebih dari sepuluh ribu sehari. Tapi nasi sayur dan tempe
orek di warteg sudah empat ribu lima ratus. Itu artinya, aku hanya perlu
makan dua kali. Teman-teman bilang, belum gajian pusing, sudah gajian
bingung.
Sesekali aku masih ke mall. Untuk mencari sabun atau shampo yang
berbandrol beli lima gratis 1. Temanku sering memasukkan apel merah dan
buah kiwi. Awalnya aku ternganga dibuatnya. Ia hanya tersenyum, dan
barang-barang itu segera keluar dari keranjang menjelang antrian di kasir.
Sesekali juga hatiku, mungkin lebih tepat egoku, tiba-tiba memberontak.
Saat itu tanganku memegang sebuah gaun. Bahan halus berbandrol Rp 129.000.
Dan aku ingin memilikinya. Meski hati berkata tak mungkin, tetap saja
kubawa baju itu memasuki kamar pas. Dan memang batapa luwesnya baju itu
membalut tubuhku. Rasanya, aku semakin anggun saja. Namun akhirnya,
senyuman hambar mengiringi gaun warna biru itu terayun lagi di tempatnya
semula.
Minggu berikutnya aku keturutan memakai model itu. Banyak teman memgagumi,
modis juga meski imitasi. Dan warnanya memudar oleh diterjen di bak
pencucian. Namun ia telah berjasa dalam kencanku yang pertama. Untung saat
kupakai cuaca sedang berpihaak denganku. Cuaca baik-baik saja. Tidak turun
hujan.Ya, tetap saja beruntung.
Minggu depan, kontrakan harus dibayar. Semoga, gajiku di pabrik tidak
ditunda. Kontrakan bisa membuatku menemukan wilayah pribadi. Kebutuhan
akan ini, sangat terasa ketika aku harus nebeng ke sana kemari saat jadi
pangangguran tanpa tempat tinggal. Ketika itu, kebutuhan fisik, tak lagi
menjadi hal penting. Saat itu, bahkan serasa tak berhak atas diri sendiri.
Makan nasi, seperti makan duri.
Aku butuh ruang. Yang penting, bisa untuk berbaring. Aku butuh ruang, agar
ada tempat menaruh barang-barang, tak mengganggu orang lain untuk berbagi
ruang. Sama-sama merasa tak nyaman.
Di bawah atapnya, dibalik pintunya, kudapatkan duniaku. Dunia yang, semua
terserah aku. Dunia yang, menyimpan rapi lapar dan kenyangku, dan aku tak
perlu malu. Dunia, yang kadang bisa sepi kadang juga full musik seharian
jika sedang datang bahagia. Di balik pintu tertutupnya, aku bebas
mondar-mandir, bergerak tanpa komando atau perintah mandor. Setiap saat
bisa kubuka dan kututup pintunya, tak perlu menghitung detik menunggu bel
berbunyi.
Memang tak sepenuhnya. Kadang ada ribut-ribut dari sebelah kanan tetangga,
istri dihajar suami, atau jeritan anak minta jajan dihajar ibunya. Selalu
saja ada yang namanya toleransi. Tentu, aku harus matikan TV.
Besok, kuharus bekerja lagi. Target sudah menunggu. Kontainer sudah
terparkir di lokasi pabrik. Saat-saat ekspor adalah saat paling penting,
lebih tepatnya genting. Apalagi menjelang libuaran. Pabrik tak mau rugi
akibat target ekspor tak terpenuhi.
Buruh tidak boleh sakit, apalagi anak, suami, lebih-lebih kalau hanya
orang tua. Mati juga bukan hal yang penting, apalagi kalau masih sekarat.
Di luar sana, masih banyak lulusan baru yang masih segar-segar dan tak
menuntut. Begitu kata mandorku berulang kali, setiap hari, seperti robot
yang kekurangan program.
Dan tetangga line-ku, seorang kawan tersungkur di mesinnya, dengan darah
segar menyembur dari tenggorokannya, akibat tak mempedulikan rasa sakit
yang dideritanya.
Kepanikan tergambar di wajah mandor. Ia segera mengamankan korban, mencari
pengganti agar proses produksi tak terhenti. Kali itu, kusaksikan
kesadaran nurani kemanusiaannya tampil secara utuh. Namun segera saja
salah tingkah lebih dominan. Dari upaya menyelamatkan korban dan sikap tak
mau dipersalahkan saling mendesak ingin didahulukan, menyentak kesadaran.
Kegoyaahan yang sempat tak terkontrol segera diraih dengan bersikap
wibawa, agar bawahan tidak bersakwa sangka. Padahal bawahan tahu, bahwa
mereka juga korban dalam kadar yang berbeda.
Di suatu sore menjelang pergantian tahun, melalui televisi kulihat
penggalan tanyangan persiapan para presenter menyambut tahun baru. Di
Monas, di Lippo Karawaci dan di mall-mall besar terlihat semarak menyambut
perayaan itu. Usiaku kini sudah 32 tahun. Akankah hidup terus begini?
Pemikiran itu tiba-tiba menyeruak di benakku tanpa kendali. Baru kusadari,
urat-urat besar bertonjolan pada tangan dan kaki. Asam urat sudah mulai
menjelajah tubuhku.
Kudekatkan diri pada tembok. Kuambil benda yang sudah lama tak ingin
kumelihatnya berlama-lama. Sebuah wajah menyembul muram dicermin kusam
penuh debu. Kucoba kerlingkan mata mengenang masa mudaku, namun begitu
beku. Pasangan? Kapan mencarinya…? Minggu pun, kalau harus lembur tak bisa
menentang. Kuhitung uang dalam dompet plastik, tinggal lembar-lembar
ribuan menunggu saat gajian.
Ah. Selalu saja begini. Kuusap kepala kodok dari bahan lempung. Itu
celenganku. Kuterka jumlahnya. Tak mencapai 300 ribu. Apa yang kupunya?
Bagaimana jika aku sakit dan harus opname? Bagaimana jika aku punya suami
dan melahirkan caesar? Aku tak bisa berpikir, membayangkan pun tak berani.
Tiba-tiba di hadapanku, bayangan kerumunaan orang berdesakan. Wajah-wajah
lusuh dibalik bedak menornya. Bedak tebal dalam sapuan kasar dari kosmetik
murahan, bibir biru dibalik lipstik gocengan. Rasanya baru kemarin
kusaksikan wajah segarnya, ketika kami sama-sama menunggu di pintu
gerbang, ketika sama-sama menceritakan tempat asal dan tahun lulusan,
sambil harap cemas menunggu panggilan, sebelum akhirnya sama-sama
menyandang gelar buruh pabrik.
Di pabrik itulah duniaku, dunia kami. Dunia yang, sejauh mata memandang,
hanya terlihat tembok-tembok tebal. Dunia dimana, kuhabiskan waktu untuk
berproduksi.
Datangnya pagi, seringkali menjadi momok yang tak dikehendaki.
Bertambahnya waktu, seolah bukan sebuah anugerah lagi. Apa arti kehidupan
ini? Aku tak mengerti..
Di televisi, presenter muda mulai menyapa pemirsa. “Happy New Year, Heppy
New Year!” Gebyar kembang api berpendaran di udara dalam aneka warna.
”Selamat Tahun Baru 2009....! Yeee!”. Ya, malam ini tahun sudah berganti.
Tapi sepertinya, tak akan ada yang berubah.***

Jakarta, Desember 2008

0 komentar: