BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Wednesday, June 22, 2011

Andai Itu Bukan Mimpi

Oleh Tanto Yakobus

Sebagai warga Kalimantan Barat yang tinggal di kota Pontianak, saya melihat perkembangan kota Pontianak tidak ideal.

Lihat saja jalan-jalan protokol di kota Pontianak sangat kecil. Bila dilebarkan, harus mengorbankan parit. Akibat parit yang semakin sempit itu, bila hujan sebentar saja pastilah banjir menggenangi jalan-jalan di kota Pontianak.
Itu belum lagi soal bangunan rumah penduduknya, maupun ruko yang tidak lagi memakai aturan. Yang harusnya jarak bangunan dari jalan 15 hingga 20 meter, faktanya teras rumah orang rata-rata menyentuh bibir jalan.
Itu fakta yang terjadi sekarang ini. Bagaimana perkembangan 10 atau 20 tahun kedepan? Di bayangan saya, Pontianak bila tidak membuat penataan yang lebih elegan, pastilah menjadi kota kumuh. Tanda-tanda itu tadi, terlihat dari penataan jalan, rumah dan kawasan yang tidak mengedepankan estetika sebagai calon kota modern.
Bila ingin berbuat, sebetulnya kita belum terlamat. Masih ada waktu untuk merealiasi mimpi-mimpi itu. Masih bisa menjadikan semua kitu bukan mimpi. Asal ada kemauan dan dukungan masyarakat saja. Itu tugas semua stakeholder yang memegang kebijakan.
Kalau perlu pemimpin daerah ini harus berani bikin kebijakan yang keluar dari mainstream kebijakan secara umum. Misal soal penataan kawasan dan perencana pembangunan kedepan.
Saya berandai-andai pusat kota dipindah ke jalan Trans Kalimantan. Bila anda pernah melintasi jalan Trans Kalimantan dari Tayan ke Pontianak atau sebaliknya. Di sepanjang jalan masih terhampar luas tanah kosong.
Dengan kondisi seperti itu, saya membayangkan alangkah indahnya kalau di jalan Trans Kalimantan khususnya jalur Ambawang-Tayan dibangun bandar udara (Bandara) Internasional. Dengan Bandara Internasional di Tayan/ Ambawang maka semua daerah kabupaten mempunyai akses ke situ. Misal dari Sambas-Singkawang bila hendak ke bandara itu, bangun saja jalan tembus dari Sungai Pinyuh ke jalan Trans Kalimantan. Begitu juga dari Bengkayang-Landak bila hendak mencapai Bandara Internasional itu, tinggal bikin jalan tembus juga.
Butuh biaya memang. Tapi kalau direncanakan dengan matang, maka 10-20 tahun kedepan, orang akan menikmatinya. Dengan kawasan yang masih terbuka seperti itu, maka akses jalan dan pemukiman dibangun standar. Jangan bikin sempit seperti di kota Pontianak.
Begitu juga dengan kebijakan di bidang pemerintahan. Kalau perlu kantor Gubernur juga dipindahkan ke kawasan tersebut. Dengan demikian, maka isolasi daerah semakin terbuka. Dengan Bandara Internasional dan pusat pemerintahan di Ambawang-Tayan, maka rasanya masyarakat bagian timur Kalbar tidak perlu lagi membuat Provinsi Kapuas Raya. Karena letak ibukota provinsi sudah di tengah-tengah.
Lalu bagaimana dengan Bandara Supadio? Cukup belajar dari pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dimana Bandara Halim Perdanakusuma diserahkan ke militer. Bila Bandara Internasional di trans Kalimantan itu jadi, maka Supadio diserahkan untuk pangkalan militer saja. Pemanfaatannya bisa saja sama dengan Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta itu. Sedangkan komersial semua dipusatkan di trans Kalimantan. Soal nama bandaranya terserah saja. Boleh Bandara Oevaang Oeray atau Bandara Cornelis! Tapi itu sekedar inspirasi yang hanya sebatas mimpi saja.

Baca Selengkapnya..

Demokrasi Warung Kopi

Oleh Tanto Yakobus

Dua hari ini saya ada kesempatan kongkow-kongkow di warung kopi. Beberapa tahun silam saya sudah nongkrong di warung kopi, namun karena kesibukan, kebiasaan itu terhenti. Tapi kemarin saya kembali menjumpai ’teman-teman’ lama warung kopi di kawasan Nusa Indah, Merapi hingga Hijas.

Karena teman-teman warung kopi itu berasal dari beragam latar belakang, mulai dari politik, bisnis, pedagang hingga tukang jual oborolan, maka topik bicara pun loncat sana loncat sini. Itu biasalah di warung kopi.
Tidak ada bahasan pasti. Semua mengalir begitu saja sesuai tema yang terjadi pagi itu. Tema yang dibicarakan pastilah bersumber dari koran yang dijual beberapa pengasong di warung kopi tersebut. Kebetulan pagi itu, topiknya pemilukada Landak, dimana Adrianus keluar sebagai pemenangnya. So pasti tema obrolan pun pemilukada Landak dan Adrianus.
Namanya juga warung kopi. Siapa pun di situ bebas bicara. Semua bebas membuat analisa. Ada yang memuji, ada yang mengkritik. Kadang juga mencela. Tapi tidak ada yang tersinggung, apalagi marah dengan oboral yang intonasinya tinggi rendah itu.
Bak pengamat politik sungguhan, mereka pintar bicara, pintar menganalisa. Kemenangan Adrianus yang diusung PDIP tak lain, karena itu kandangnya banteng. Analisa mereka terus berkembang hingga tak terasa hari beranjak siang.
Saya jadi terbayang, andai saja demokrasi ala warung kopi itu dipraktikkan dalam kehidupan perpolitikan sesungguhnya (di parlemen misalnya). Sebab mereka bebas bicara bahkan mencela, tapi tidak ada yang tersinggung. Mereka bebas mengekspresikan ketidaksukaan terhadap seseorang, kadang saking kerasnya bicara sehingga mengundang perhatian orang sekitar. Tapi itu tadi, tidak ada yang harus marah.
Ini barangkali sudah menjadi tatakerama tersendiri di warung kopi. Bicara bebas tentang apa saja, habis kopi semua sepi. Habis kopi semua kembali ke tempat masing-masing. Lain halnya bagi pebisnis, habis kopi lanjut bicara bisnis di kantor.
Memang warung kopi di kota Pontianak sudah multi fungsi. Tapi azas demokrasi warung kopi benar-benar terpuji. Saya salut dengan orang-orang yang bicara blak-blakan, tapi habis di warung kopi.
Padahal mereka berasal dari berbagai latar belakang, tapi satu di warung kopi. Nah, itulah indahnya demokrasi warung kopi. Tidak seperti demokrasi di parlemen, bisa-bisa kena lempar kursi. Bila Anda ingin mempraktikan demokrasi sesungguhnya, ya ke warung kopi saja, pasti lebih seru dan aman tentunya. Sekali lagi, itulah uniknya demokrasi warung kopi. Selamat mencoba!

Baca Selengkapnya..