BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, July 28, 2008

Eksistensi Adat dan Hukum Adat

Catatan dari Mubes I Timanggong/ Kepala Adat se-Kalbar


Oleh Tanto Yakobus

Mubes (musyawarah besar) pertama para timanggong/ domong/ kepala adat se-Kalimantan Barat di Wisma Nusantara yang berakhir, Minggu (27/7), menghasilkan beberapa rekomendasi baik internal maupun eksternal.

Sebelum menjadi rekomendasi Mubes, sekitar 280 timanggong/ domong atau kepala adat yang mewakili seribu lebih timanggong/ domong atau kepala adat se-Kalbar melakukan sidang-sidang komisi secara meraton membahas permasalahan yang dihadapi para timanggong dan masyarakat adat Dayak selama ini.
Materi pokok bahasan itu adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan masyarakat adat Dayak maupun eksistensinya baik di lingkungan masyarakat adat itu sendiri maupun dengan pihak luar. Karena kompleksnya masalah yang dibahas dan untuk mempermudahkan pokok bahasan, maka dalam Mubes panitia membagi tiga komisi, yakni komisi A, B dan C.
Komisi A membahas masalah tugas pokok dan fungsi timanggong/ domong/ kepala adat. Termasuk di dalamnya hubungannya dengan Dewan Adat Dayak di masing-masing tingkatan, mulai dari tingkatan yang lebih tinggi (provinsi) hingga kecamatan.
Yang cukup alot juga dalam pembahasan itu, apakah timanggong perlu ada sampai pada tingkat provinsi. Namun peserta yang betul-betul memahami sejarah, adat dan hukum adat, timanggong hanya ada pada tingkat binua, kecamatan dan kabupaten saja. Sedangkan komisi B membahas masalah perkebunan kelapa sawit yang sering berbenturan dengan masyarakat adat. Tak hanya itu, juga masalah pertambangan dan illegal logging, juga tak luput dari sorotan para timanggong.
Pun demikian dengan isu yang lagi hangat-hangatnya di bicarakan dunia, macam perubahan iklim dan upaya penanggulangannya. Para Timanggong yang mewakili masyarakat adat tegas minta pemerintah meninjau kembali taman nasional dan hutan lindung yang kini mulai dijarah para pemilik modal alias cukong.
Agar taman nasional tetap utuh dan hutan lindung tetap lestari, para timanggong siap menjaganya dengan mengenakan sanksi adat bagi para penjarah maupun pelanggarnya.
Sedangkan komisi C lebih pada kelanjutan masa depan masyarakat adat Dayak itu sendiri, mulai dari peningkatan sumber daya manusia masyarakat adat hingga pada masalah bagaimana menyikapi program pemerintah terkait dengan transmigrasi. Termasuklah menyikapi rekrutman PNS, TNI Polri yang kurang mengakomodir kalangan masyarakat adat Dayak. Dalam rekrutmen apa pun, masyarakat adat Dayak minta kuota khusus yang proporsional sesuai penduduk Kalimantan Barat dimana Dayak adalah penduduk mayoritas, disusul Melayu dan Tionghoa.
Saya yang kebetulan mengikuti sidang pleno para timanggong, Minggu pagi kemarin, sempat mencatat beberapa hal yang menjadi rekomendasi mereka. Terutama menyangkut penguasaan hasil hutan (HPH/HTI). Mereka minta pemerintah meninjau kembali HPH mnaupun HTI yang sudah ada dan harus melibatkan masyarakat adat. Membatasi luas kawasan HPH sampai maksimum hanya 20 ribu hektar saja, dengan masa operasional 5 tahun. Pun demikian dengan HTI, perlu pembatasan luas dan masa operasionalnya, yakni 5 tahun.
Mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang dulu pernah diserahkan pemerintah ke pemilik HPH maupun HTI. Harus ada kontribusi yang jelas untuk masyarakat pemilik tanah atau wilayah adat bagi HPH yang sudah terlanjur beroperasi. Terutama menyangkut HTI dan perkebunan yang hingga kini tetap eksis. Jangan lagi merugikan masyarakat adat yang secara turun-temurun menguasai tanah. Namun kini harus kehilangan tanah akibat perkebunan sawit.
Pun demikian dengan kayu madu (lalaw), buah-buahan dan pencemaran sungai oleh HPH, harus dikenakan sanksi adat. Bila perusahaan baru yang mau meminta izin atas HPH, maka masyarakat adat harus menolaknya. Lalu menuntut dana-dana DR/IHH/PPSDH yang ditahan pemerintah pusat untuk segera diserahkan ke daerah kembali untuk membangun dan memberdayakan masyarakat adat.
Perlu sanksi bagi HPH nakal yang menebang di luar RKT, termasuk kawasan lindung, baik dengan hukum adat maupun hukum nasional (negara).
Yang menjadi penekanan para timanggong tersebut adalah soal hak-hak masyarakat adat dalam mengelola hutan adat, tembawang, tebelian (ulin) sebaiknya tidak digolongkan sebagai illegal logging karena dikerjakan secara manual dan tradisional.

Taman Nasional
Dalam Mubes yang berlansung sejak tanggal 24 Juli itu juga, para timanggong membuak rekomendasi soal taman nasional mupaun hutan lindung. Mereka minta pemerintah memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas lahan yang dijadikan objek/ sasaran penelitian berskala internasional. Dan taman nasional atau hutan lindung yang sudah ditetapkan oleh pemerintah supaya ditinjau kembali apakah keadaannya masih cocok untuk berstatus sebagai taman nasional atau hutan lindung.
Itu perlu dilakukan, karena kawasan hutan lindung atau konservasi harus ada karena pulau Borneo ini merupakan paru-paru dunia. Jadi masyarakat adat harus terlibat dan menjaga keutuhannya.
Mubes juga merekomendasikan untuk memberlakukan hukum adat terhadap perambahan hutan lindung/ taman nasional dan kawasan konservasi. Masyarakat adat harus menyiapkan diri dan terlibat dalam pengawasan dan perlindungan kawasan konservasi tersebut.
Demikian juga dengan program transmigrasi. Mubes merekomendasikan menolak transmigrasi baru dari luar pulau kecuali transmigrasi lokal karena masyarakat lokal juga membutuhkan lahan untuk kelangsungan hidupnya.
Alasan penolakan transmigrasi itu, karena masyarakat setempat tidak mendapat lahan plasma bila transmigrasi tersebut diintegrasikan dengan perkebunan sawit. Jadi perlu ada situasi dan kondisi yang sama yang harus dibangun pemerintah baik untuk transmigrasi maupun masyarakat setempat.
Mubes juga merekomendasikan meninjau kembali pola perkebunan selama ini. Mereka mengusulkan pola perkebunan dengan pembagian 60 persen untuk masyarakat dan 40 persen untuk perusahaan. Dan tidak ada kredit yang dibebankan kepada masyarakat. Perusahaan perkebunan kelapa sawt juga harus memberikan kontribusi kepada masyarakat untuk kepentingan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, rumah ibadah dan jalan.
Demikian juga kesempatan untuk menjadi anggota TNI dan Polri, mubes timanggong merekomendasikan penerimaan dan perekrutan perwira dan bintara TNI dan Polri baru supaya memberikan kuota yang proporsional untuk masyaraka adat.
Di bidang pendidikan, pemerintah harus memberikan beasiswa pemerintah bagi masyarakat adat yang tamat SMA/SMK untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, termasuk kuota khusus bagi tamatan SMA/SMK bagi masyarakat adat untuk diterima sebagai Mahasiswa STPDN dan Kedokteran Untan.
Intinya, saya mencatat eksistensi dan keberadaan hukum adat di tengah-tengah masyarakat plural atau majemuk adalah untuk keseimbangan hidup masyarakat Dayak itu sendiri. Mereka bisa hidup berdampingi secara damai dengan pihak atau suku mana pun, asal mereka tidak tercerabut dari asal usul dan adat istiadatnya termasuk hukum adat yang mereka patuhi dan jalankan itu.
Di kalangan mereka sendiri sesungguhnya tidak ada komersil dengan hukum adat itu, cuma dalam perkembangannya, ada pihak yang memanfaatkan hukum adat untuk kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga sanksinya betul-betul menakutkan dan itu jelas menjadi alat komersil bagi pelakunya.
Dalam mubes hal-hal demikian sudah diluruskan. Yang boleh menjatuhkan sanksi adat adalah timanggong/ domong/ kepala adat atau menteri adat dan sejenisnya. Sedangkan DAD (Dewan Adat Dayak) dari setiap tingkatan hanya sebagai fasilitator, mediator dan konseptor saja. Pelaksana hukum adat kewenangannya tetap pada timanggong. Singkat kata DAD tidak bisa menjatuhkan hukum adat. Itulah sebenarnya.□

Baca Selengkapnya..

Wednesday, July 23, 2008

Adidas dan Black Box


Oleh Tanto Yakobus

Semula saya kira Adidas itu merk sepatu. Ternyata itu mimpi Aria Djalil untuk dunia pendidikan Indonesia di masa depan. Adidas (All Day Indonesians Dream About School).
Dalam diskusi pagi bersama kami di kantor Redaksi Harian Borneo Tribune, di Jalan Purnama Dalam 02, pria asal kampung Sekadim, Kabupaten Sambas itu memulainya dengan santai. Cita-citanya sungguh mulia, ingin mengangkat mutu pendidikan Indonesia yang masih di dasar laut itu.

Dia ingin pendidikan di Indonesia lebih maju, lebih bermutu dan bermartabat. Dia ingin pendidikan di Indonesia tidak mencetak pengangguran, tapi tenaga terampil dan siap pakai. Dia ingin pendidikan di Indonesia tidak kejar target, tapi betul-betul membina dan membimbing manusia menjadi profesional.
Dia melihat pendidikan di Indonesia tidak punya arah. Ibarat pesawat terbang yang tidak dilengkapi radar dan terbang bebas di angkasa. Ibarat kapal tanpa nahkoda.
Para pengambil kebijakan lebih sayang membuang duit untuk membangun dunia pendidikan ketimbang menghamburkan uang untuk belanja politik yang justru belum jelas juntrungannya.
Bila musim belanja politik tiba, apakah itu pemilu, pilres maupun pilkada, orang berlomba-lomba menghamburkan uang, tapi giliran memajukan pendidikan, perintah Undang-Undang untuk anggaran pendidikan 20 persen saja tak terpenuhi.
Menurut pria yang pernah bertugas sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di KBRI Canberra, Australia itu, sebetulnya SDM kita tidak beda dengan orang luar. Hanya saja kesalahan pada sekolah kita yang dirancang hanya untuk menelorkan lulusan saja, tapi tidak mencetak lulusan yang siap kerja.
Pria yang disekolahkan JC Oevaang Oeray (gubernur pertama Kalimantan Barat, red) ke IKIP Bandung itu melihat pendidikan di Indonesia seperti dunia yang sepi dan terbuang. Ia seperti ditakdirkan untuk menderita sendirian dan menanggung kemasygulan dari penguasa satu ke penguasa yang lain.
Yang amat menyedihkan, di Republik ini dalam kesulitan ekonomi paling gawat sekalipun, politik selalu bisa dengan mudah menarik orang ramai untuk mendanainya.
Sementara itu, pendidikan dalam keadaan ekonomi amat bagus sekalipun, ia tetap dalam kepapaan. Orang lupa bahwa pendidikan itu untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin di masa depan, termasuk pemimpin politik.
Tak heran bila mutu pendidikan kita rendah dan cendrung menurun. Itu belum lagi akibat faktor lain yang sebetulnya bisa diperbaiki, seperti tingkat kemankiran masih tinggi.
Dalam satu tahun pelajaran, efektivitas pelajaran hanya sekitar 228 hari, itu belum dikurangi masa liburan hari-hari besar keagamaan dan nasional. Termasuk liburan ulangan umum dan ujian sekolah maupun nasional.
Bukti mutu pendidikan kita rendah, dapat dilihat dari tingkat drop out yang masih tinggi. Tingkat mengulang kelas masih tinggi. Nilai tes dan ujian akhir nasional masih rendah.
Tingkat melanjutkan pendidikan masih rendah dan daya serap lapangan kerja masih sangat rendah.
Ini beda sekali dengan model pendidikan di Eropa, mereka mencetak tenaga siap pakai. Dan itu mulai dipersiapkan dari pendidikan tingkat menengah.

Black Box Pesawat Pendidikan.
Saya dan beberapa rekan diskusi, termasuk Fitri Rayuni yang menjembatani pertemuan dengan Aria, juga akademisi dari STAIN Pontianak, kakek yang sejak awal kariernya menekuni dunia pendidikan membuka tayangan presentasinya satu per satu.
Ia mengatakan wajar saja mutu pendidikan Indonesia rendah karena tingkat kemangkiran siswa dan guru masih tinggi, tingkat drop out, mengulang kelas juga masih tinggi, nilai hasil UAN rendah, tingkat pendidikan masyarakat serta daya serap lapangan kerja masih sangat rendah.
Penyebabnya tidak lain, ungkap pria yang menetap di Canberra Australia ini adalah Indonesia melupakan sekolah sebagai black box atau kotak hitam bagi pesawat pendidikan.
“Kalau suatu pesawat jatuh, maka black box yang dicari karena menyimpan semua informasi yang diperlukan. Begitulah metafor yang tepat bagi jatuhnya pendidikan di Indonesia, maka jawabannya adalah sekolah,” ungkap mantan dosen Universitas Terbuka itu.
Di negara-negara maju, sekolah sangat diperhatikan. Mulai dari masuk pintu sudah dihadapkan pada peluang pendidikan dan pengajaran. Para murid dirangsang menulis dan tulisannya dipajang di dinding, di pintu, di majalah dinding, digantung-gantung. “Pokoknya opportunity belajar itu sangat dikedepankan,” katanya seraya mengatakan di Australia ada gerakan kepenulisan di mana kakak kelas membuat pesan tertulis kepada adik-adik kelasnya. “Betapapun sederhananya tulisan itu,” ujarnya.
Kata Aria yang prototipenya mirip Bagir Manan ini, sekolah sebagai lembaga pendidik harus mampu menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang paripurna sesuai visi misi yang ingin dicapai. Visi pendidikan sesuai UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi pada kenyataannya penderitaan pendidikan Indonesia seperti tak habis-habisnya ibarat mencari koin di sinar lampu yang terang.
Aria menilik persoalan mendasar terjadi di sekolah seperti guru belum memiliki kompetensi yang ideal, sarana prasarana sekolah tidak memadai, proses belajar di sekolah belum menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Ada kesalahan dalam pandangan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru. Pemerintah membuat kebijakan meningkatkan kualitas guru dengan meningkatkan kualifikasi guru. Padahal tidak ada korelasi positif antara kompetensi dengan kualifikasi. Pemerintah juga percaya mutu pendidikan akan meningkat jika anggaran pendidikan 20 persen. Pemerintah mestinya paham meningkatkan mutu pendidikan bukan hanya dari aspek teknis pendanaan tapi aspek dan faktor lain perlu diperhatikan. Aria memberikan solusi sederhana yakni kemauan. Dikutipnya pribahasa, di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Dicontohkan Aria dengan Sekadim. Ditunjukkannya gambar-gambar yang dijepretnya sendiri. Dia menunjukkan lahan tani yang luas, kopra yang produktif, ekonomi mulai bergulir, tetapi jalannya belum tersentuh aspal sama sekali sehingga melahirkan ekonomi biaya tinggi. ”Kendati demikian Sekadim produktif melahirkan leader-leader (pemimpin, red),” ungkapnya. Disebutnya nama Ali Anyang, Prof Dr Hadari Nawawi yang mantan Rektor Untan dan dirinya sendiri.
”Rendahnya prestasi siswa bisa disebabkan karena banyak faktor. Misalkan siswa mengantuk dalam belajar mungkin karena lapar atau pola gizi yang kurang,” katanya.
Jadi faktor kesejahteraan ekonomi masyarakat sangat berpengaruh bagi dunia pendidikan. Dicontohkan seperti Australia yang mengkampanyekan pendidikan. Termasuk kampanye Tony Blair ketika menuju posisi Perdana Menteri Inggris, hanya tiga kata, yakni education, education, education.
Aria Djalil mengatakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah maka sekolah perlu membangun modal sosial sekolah yang kuat. Modal ini berupa kapasitas sekolah untuk membangun infrastruktur kolaborasi, kapasitas sekolah membangun kemitraan antara sekolah-sektor swasta dan pemerintah.
”Sekolah yang kaya dengan modal sosial tidak akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan dukungan sosial, moral, material dan finansial dari masyarakat swasta, pemerintah, individu maupun institusi,” katanya.
Modal sosial yang dimaksudkan bertumpu pada dua hal utama. Pertama trust atau kepercayaan. Kedua, networking atau jaringan.
Aria menilai hasil UAN masih banyak di bawah nilai minimal karena keterlibatan aktif dan pemahaman yang tinggi tentang arti pentingnya belajar belum dimiliki siswa. Baik siswa maupun orang tua dan guru juga belum memiliki harapan, tekad dan semangat yang tinggi. Jika siswa, guru dan orang tua memiliki harapan, tekad dan semangat untuk maju tinggi maka hasil belajarnya akan maksimal.
Waktu belajar di sekolah, kata Aria sering mengalami penguapan waktu. Lihat saja hari kalender sekolah sudah pasti menyusut dipotong hari libur, hari kalender sekolah ini akan mengerucut menjadi hari buka sekolah, hari pembelajaran sekolah mengkerucut lagi menjadi jam pembelajaran sekolah kemudian jam interaksi belajar, jam nyata belajar dan akhirnya mengkerucut menjadi jam belajar aktif siswa. Artinya waktu satu tahun harus dipotong ini dan itu sehingga jam belajar aktif siswa sangat kurang.
Bagi Aria solusi meningkatkan hasil UAN sebenarnya mudah yaitu lakukan pelatihan untuk guru, miliki strategi belajar mengajar yang andal, punya tekad, harapan dan semangat yang tinggi, punya bahan cakupan utama dan punya bahan prediksi ujian untuk siswa. Untuk menuju kesana, maka perlu kerjasama. Bersama kita bisa. Adidas!
Aria Djalil hadir di diskusi pagi Borneo Tribune pada pukul 08.15 WIB dan berakhir pukul 11.30 WIB. Ia bergegas ke Bandara Supadio untuk selanjutnya terbang ke Jakarja dan kemudian kembali ke kediamannya di Canberra, Australia.□

Baca Selengkapnya..

Tuesday, July 22, 2008

Tribune Harumkan Nama Kalbar

Raih Penghargaan Jurnalistik




Susul menyusul prestasi yang diraih Kalbar. Selain Pemprov meraih prestasi trafiking, Borneo Tribune juga meraih penghargaan bergengsi nasional.

Borneo Tribune, Jakarta

Jurnalis Harian Borneo Tribune, Muhlis Suhairi meraih penghargaan Mochtar Lubis Award (MLA), untuk kategori investigasi.

Tulisan berjudul The Lost Generations, dimuat secara bersambung di Harian Borneo Tribune pada 10 Februari-28 Februari 2008. Acara penghargaan berlangsung di Hotel Century Park, Jakarta, Jum'at (18/7).
MLA baru tahun ini diselenggarakan. Dalam sambutannya, Ignatius Haryanto, Direktur Program Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) mengatakan, MLA diberikan sebagai penghargaan terhadap profesi
jurnalistik. "Kita ingin merangrang munculnya karya-karya jurnalistik terbaik.," kata Ignatius.
Aristides Katoppo, dari Sinar Harapan dan Dewan pengawas MLA ketika memberikan sambutan berkata, pena wartawan digunakan untuk kepentingan umum, kebenaran, dan tidak takut dengan bahaya, serta tidak tergoda dengan materiel. "Wartawan memerlukan profesionalisme dan dilindungi dengan sistem nilai dan etika," kata Katoppo.
Mengapa penghargaan ini diberi nama MLA? Ia lahir pada 7 Maret 1922 di Padang. Meninggal pada 2 Juli 2004 di Jakarta. Sebagai jurnalis, Mochtar Lubis dianggap konsisten terhadap kemerdekaan pers. Pendiri dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, tak gentar menghadapi berbagai tekanan dan kekuasaan pemerintah Orde Lama dan Baru, yang terus menekan kebebasan pers. Demi memperjuangkan idealismenya tersebut, Mochtar Lubis harus mendekam beberapa kali dalam penjara pemerintah Orla dan Orba. Konsistensi dan keberaniannya, membuat Mochtar Lubis diberi gelar Wartawan Jihad.
Sebagai wartawan, Mochtar Lubis pernah meliput di berbagai medan berbahaya. Seperti, perang Korea pada 1950. Berkat kegigihannya memperjuangkan kebebasan pers, ia mendapat penghargaan Ramon Magsaysay pada 1958.
Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Beberapa karya novel dan kumpulan cerpen antara lain: Tidak Ada Esok (novel, 1951). Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950). Teknik Mengarang (1951). Teknik Menulis Skenario Film (1952). Harta Karun (cerita anak, 1964). Tanah Gersang (novel, 1966). Senja di Jakarta (novel, 1970). Novel ini diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963. Judar Bersaudara (cerita anak, 1971). Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972). Manusia Indonesia (1977). Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980). Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982). Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983).
Selain itu juga ada berbagai terjemahan yang dilakukannya.
Segudang prestasi dan konsistensi itulah, yang membuat nama Mochtar Lubis diabadikan untuk penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik ini. Penghargaan ini didukung orang-orang handal dan punya kemampuan di bidangnya. Ada tokoh pers, praktisi hukum, aktivis, dosen, fotografer, dan lainnya. Dewan juri itu antara lain, Arya Usis, Atmakusumah Astraatmadja, Bimo Nugroho, Dana Iswara, Farid Gaban,
Julian Sihombing, Maria Hartiningsih, Murizal Hamzah, Oscar Motuloh, Riza Primadi, Sinartus Sosrodjojo, Sori Siregar, Susanto Pudjomartono, Teten Masduki, Tulus Abadi, Yosep Adi Prosetyo dan Yusi Avianto
Pareanom.
MLA tahun ini, ada 234 peserta. Dari jumlah itu, 21 orang merupakan jurnalis perempuan. Peserta merupakan jurnalis dari seluruh Indonesia. Ada lima kategori yang diusung: Public service, feature, investigasi, foto jurnalistik dan In-Dept Reporting bagi TV. Satu lagi penghargaan adalah, pemberian Fellowship atau dana liputan untuk menulis buku.
Setiap kategori ada lima finalis. Setiap pemenang mendapat hadiah Rp 50 juta. Untuk Fellowship sebesar Rp 40 juta.
Malam itu, pengumuman pertama diberikan untuk kategori Fellowship. Ada dua finalis. Proposal Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006 oleh Bambang Muryanto dari The Jakarta Post, Masjidi dari MQ Radio dan Gigin W Utomo dari Majalah Swasembada, Yogyakarta. Proposal kedua berjudul, Divestasi KPC: Menggerus Batu Meninggalkan Bara oleh I Gusti Gede Maha Adi, Majalah Tempo, Jakarta. Pemenangnya adalah Bambang Muryanto, Masjidi dan Gigin
W Utomo.
Kategori In-Depth TV Reporting: Kartini yang Terdampar di Negeri Orang oleh Widyaningsih dkk dari SCTV, Jakarta, 20 April 2008. Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 19 September 2007. Pengoplosan di Balik Kisruh Minyak Tanah oleh Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 5 September 2007. Perburuan Ilegal Gading Gajah oleh Andi Azril dkk dari SCTV, Jakarta, 9 Maret 2008. Pintu Harapan untuk Si Miskin oleh Endah Saptorini dkk dari Astro Awani, Jakarta, 27 Oktober 2007. Kategori ini memiliki dua pemenang, Endah Saptorini dari Astro dan Darussalam Burnahan dari ANTV.
Untuk kategori public service adalah, Hancurnya Infrastruktur di Sulawesi Barat oleh Sidik Pramono dari Harian Kompas, Jakarta, 10 Mei 2008. Krisis Air Bersih Ancam Bandung oleh Zaky Yamani dari Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 17 Maret 2008. Mencari Angka dalam Jerami oleh Daspriani Y. Zamzami dari Majalah Aceh Kini, Januari 2008. Politik Pendidikan Penebus Dosa oleh Asrori S. Karni dari Majalah Gatra, Jakarta, 23 Januari 2008. Save Our Airport oleh Gatot Rahardjo dari Majalah Angkasa, Jakarta, Maret 2008. Pemenang untuk kategori ini, Asrori S. Karni dari Majalah Gatra.
Kategori feature, Frederick Sitaung: Guru Sejati Papua oleh Ahmad Arif dan Luki Aulia dari Harian Kompas, Jakarta, 1 September 2008. Hari Kembang oleh Agus Sopian dari Majalah Arti, Jakarta, Mei-Juni 2008. Mbak Suko: Simbol Perlawanan Petani oleh Ahmad Arif dan Sri Hartati Samhadi dari Harian Kompas, Jakarta, 10 April 2008. Meno Kaya Tidur di Selokan oleh Ahmad Arif, Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Genthong dari Harian Kompas, Jakarta, 13 September 2007. Ya Ampun, Sulitnya Sekolah
oleh Indira Permanasari dari Harian Kompas, Jakarta, 31 Juli 2007. Kategori ini dimenangkan oleh Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Gentong dari Kompas.
Kategori Fotojurnalistik, Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) oleh Arie Basuki dari Koran Tempo, Jakarta, 9 Maret 2008. Jalan Tol Sedyatmo Km 26 Terputus oleh Agus Susanto dari Harian Kompas, Jakarta, 3 Februari 2008. Limbah di Banjir Kanal oleh Lasti Kurnia dari Harian Kompas, Jakarta, 5 September 2007. Mengungsi di Rel Kereta Api oleh Yuniadhi Agung dari Harian Kompas, Jakarta, 4 Februari 2008. Sepak Bola Rusuh oleh Ignatius Danu Kusworo dari Harian Kompas, Jakarta, 17
Januari 2008.
Kategori investigasi diumumkan terakhir kali. Dalam sambutannya sebelum membacakan pemenangnya, Yosep Adi Prasetyo atau biasa dipanggil Stanley menyatakan, puncak dari karya jurnalistik adalah
jurnalistik. "Diperlukan berbagai kemampuan untuk melakukan peliputan ini," katanya.
Lima finalis itu adalah, The Lost Generation oleh Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune, Pontianak, 10-28 Februari 2008. Menguak Tabir Dosa Ekologi di Balik Proyek PLTP Sibayak oleh Erwinsyah dari Surat Kabar Harian Ekonomi Medan Bisnis, Medan, 31 Maret-5 April 2008. Muslihat Cukong di Lahan Cepu oleh Bagja Hidajat dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 7 Januari 2008. Roger... Roger... Intel Sudah
Terkepung, oleh Budi Setyarso dari Majalah Tempo, Jakarta, 26 Agustus 2007. Zatapi dengan Sejumlah Tapi oleh Yosep Suprayogi, Philipus SMS Parera dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 30 Maret 2008. Pemenangnya adalah Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune.
Mendapat penghargaan ini, bulu kudukku kian merinding. Apalagi bila mengingat kata-kata dari Mochtar Lubis, "Mestinya pers bisa berfungsi sebagaimana seharusnya. Kalau dia tidak lagi berfungsi sebagaimana
seharusnya, saya rasa lebih bagus dia berhenti, tutup."
Secara tegas, Mochtar Lubis juga mengatakan, bila tidak bisa menjalankan profesi wartawan sesuai dengan kode etiknya, maka harus mencari profesi lain yang tidak perlu berkorban sebesar profesi jurnalis...... SEPAKAT.

Baca Selengkapnya..

Ketika Tribune Mendapat Penghargaan Media Terbaik


Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Kamis, sore, Minggu lalu. Aku sedang di kantor, menghadap komputer, menyelesaikan penulisan tajuk Borneo Tribune untuk edisi Jumat.

Aku melihat monitor komputerku bergerak. Ada teleponku berbunyi. Ada panggilan. Dedy Ari Asfar, MA temanku, peneliti yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak , Kalimantan Barat. Dedy juga teman satu almamater di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).

Aku menyambutnya.

“Bang, selamat!”

Aku mendengar suara Dedy. Seperti biasa, tegas. Tekanannya kuat, sekuat karakter orangnya.

Aku bingung.

“Selamat apanya?”

Aku tidak mengerti apa yang diselamati Dedy. Rasanya, tidak ada prestasi yang kucapai dalam pekan-pekan ini.

Oh, mungkin Dedy mengucapkan selamat karena teman kami, Muhlis Suhaeri menjadi finalis Mochtar Loebis Award untuk liputan investagasinya. Dalam berita Borneo Tribune kemarin memang disebutkan koran tempat aku bekerja itu meraih prestasi itu. Tapi, tidak tepat amat, sebab yang dapat penghargaan bukannya Koran Tribune, tetapi, Muhlis salah satu redaktur Borneo Tribune.

“Tribune meraih peringkat pertama media massa terbaik untuk penggunaan bahasa Indonesia ,” sahut Dedy.

“Benarlah?”

“Benar.”

“Terima kasih!”

Aku mempercayainya. Tetapi aku tidak percaya kalau Tribune mampu meraih predikat itu untuk Kalbar. Masalahnya, ada Pontianak Post koran utama group Jawa Pos. Tahun lalu, koran ini meraih predikat pertama. Tribune tidak ikut karena pada masa itu, redaksi tidak sempat mengirim tulisan kepada Balai Bahasa, lembaga pemerintah yang menilai penggunaan bahasa Indonesia di media massa . Maklum saat itu kami sedang memulai, jadi banyak hal yang memerlukan perhatian. Atau mungkin saja kami belum biasa dengan irama kerja.

Tetapi, tahun ini kami mengirim koran ke Balai Bahasa Pontianak untuk mengikuti lomba bahasa Indonesia media massa.

Aku merasa takjub karena Pontianak Post adalah koran nasional. Headline atau berita utama dan tajuk rencana yang dimuat di koran ini—dan itu yang dinilai para juri, adalah made in Jawa Pos, yang ditarik oleh redaksi. Siapapun tahu, Jawa Pos adalah koran besar. Redaktur di sana adalah para profesional yang pasti kemampuannya bak langit dengan bumi dibandingkan kami di Tribune. Tribune kecil. Yang membuat besar Tribune, mungkin karena kami merasa besar...

Jadi aneh sekali kalau kami bisa mengalahkan koran sebesar Jawa Pos. Kami merasa tersanjung. Pasti.

“Yang menilainya dosen senior dari FKIP Untan,” Dedy memberitahuku lagi. Dia menekankan pada senior untuk menunjukkan bahwa para juri tidak usah diragukan kredibelitasnya. Para juri menilai dengan objektif.

Aku tidak meragukan lagi.

“Dosen senior FKIP, Untan,” bisikku. Siapa yang tak kenal reputasi FKIP Untan. Walaupun aku tidak mengenal dosen-dosen di sana, namun, reputasi ini pasti didukung oleh dosen-dosen itu. Aku cukup mengenal Dekan FKIP Untan, Dr. Aswandi. Beberapa pejabat di sana juga aku kenal. Dahulu ada AR Muzammil yang kemudian menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalbar, ada Albert Rufinus, dosen sekaligus peneliti. Banyak lagi lainnya.

Beberapa hari kemudian aku kontak dengan Kepala Balai Bahasa Pontianak, Firman Susilo, M.Pd. Aku menyatakan terima kasih karena apresiasi Balai Bahasa terhadap Tribune. Dan, dalam komunikasi itu dia menyebutkan tiga nama dosen senior di FKIP yang menjadi penilai.

Suara Dedy terdengar lagi.

“Besok penghargaannya ya. Sudah dapat undangan ‘kan??”

Aku berpaling pada H. Nur Iskandar, SP yang duduk di depan komputer tidak jauh dari tempat dudukku.

“Nur, sudah ada undangannya?” aku bertanya. Aku memang biasa memanggilnya Nur atau Nur Is. Tidak bapak, atau abang. Maklum, umurku satu tahun lebih tua dari dia. Lagi, panggilan begitu bagiku menunjukkan lebih akrab dan natural.

“Sudah,” Nur Is, pimpinan kami di Borneo Tribune menjawab.

Aku menyampaikannya ke Dedy.

“Ya, sudah Ded,”

“Ok. Jumpa besok.”


***


Meraih penghargaan sebagai media berbahasa Indonesia terbaik—dibandingkan dengan media lain. Jelas membanggakan kami. Banyak pihak yang memberikan apresiasi. Gubernur Cornelis, Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya, dan Sekda Kalbar Syakirman mengucapkan selamat. Mereka pasang iklan. Pemerintah Kota Singkawang juga mengucapkan selamat. Pasang iklan.

Kami juga menerima ucapan selamat dari tokoh Tionghoa, XF Asali. Asali mengirim ucapan lewat email pada hari Minggu.

“Kita harus pasang logo prestasi itu. Ini prestasi yang cukup prestisius,” usulan itu meluncur saja di ruang redaksi hari itu, setelah aku menerima telepon Dedy.

Semua setuju.

Soalnya kemudian, berapa lama. Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau berapa lama.

Nur Is kemudian memutuskan logo itu dipasang selama satu bulan. Ada yang memberikan pertimbangan lain.

“Kita jadikan ini sebagai social control,” tambahnya.

Maksudnya, dengan memasang logo ini biar awak redaksi merasa terus terkontrol untuk menjaga kualitas bahasa yang digunakan. Agar jangan salah-salah. Jadi, selain ada kesan bangga, juga ada misi lain dari pencantuman logo itu.

Bang Fakun, kepala bagian pracetak diminta membuat logo itu.

Dan, seperti yang terlihat pada edisi terbitan 15 Juli, logo itu muncul. Muncul dengan warna merah yang cukup mencolok, di pojok kiri atas Tribune, tepat menutup huruf e. Aku tidak bertanya mengapa Bang Fakun meletakkan logo itu di posisi itu. Mengapa menutup huruf e. Mengapa tidak di atas tulisan Borneo Tribune, mengapa tidak menutup huruf B.

***

Memang menjaga bahasa agar bahasa tetap terjaga tidak mudah. Redaksi menghadapi beberapa masalah. Pertama, kemampuan berbahasa wartawan dan redaktur tidak terlalu istimewa. Ilmu tentang bahasa Indonesia masih kurang. Memang pernah belajar—mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tetapi, pelajaran Bahasa Indonesia lewat begitu saja. Tidak dianggap penting. Sewaktu kuliah yang dipikirkan hanyalah bagaimana bisa lulus ujian mata kuliah Bahasa Indonesia. Tidak ada awak redaksi yang secara khusus belajar bahasa Indonesia sebagai disiplin. Nur Is, dan Hairul Mikrad, lulusan Fakultas Pertanian Untan Pontianak. Tanto Yakobus, lulusan Fisipol Untan Pontianak, AA Mering lulusan Fakultas Hukum Untan Pontianak, Muhlis, lulusan Publisistik, Universitas Moestafa Beragama, Jakarta, dan aku, lulusan Linguistik, Universiti Kebangsaan Malaysia. Kemampuan bahasa Indonesiaku malah hampir tidak diakui: Dalam rapat Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru STAIN Pontianak—kebetulan aku juga mengajar di sana, Pejabat STAIN menyerahkan tugas membuat soal tes Bahasa Indonesia kepada Mariatul Kibtiyah—lulusan Bahasa Indonesia FKIP Untan, S-1. Menurut Pejabat itu, kemampuan Kibtiyah itu, di atas kemampuan aku. Malah fak aku mengajar Bahasa Indonesia juga pernah dipindahkan ke lulusan FKIP itu. Jadi, kemampuan berbahasa Indonesia awak di Tribune boleh dipukul rata sangat rendah.

Satu-satu yang kami lakukan untuk meningkatkan kemampuan bahasa adalah melalui pelatihan. Sewaktu merekrut wartawan Tribune gelombang pertama kami mengadakan pelatihan; selain pelatihan liputan juga pelatihan menulis. Include di situ menggunakan bahasa Indonesia.Ada kemajuan dari latihan itu. Paling tidak, wartawan menjadi ingat kembali apa yang sudah diketahui, dan perlahan tapi pasti mulai menerapkannya.

Pelatihan ini juga membuat redaktur belajar kembali biar nampak lebih menguasai materi dibandingkan peserta. Pelatihan ini membuat redaktur mulai agak sensitif terhadap penggunaan bahasa Indonesia.

Tetapi, masalahnya belum selesai. Bekerja di media adalah bekerja yang berlomba dengan waktu. Kami berpacu. Mengejar deadline. Pada awalnya deadline pukul 21.00 –sebenarnya formalnya 19.00. Lalu, deadlinenya berubah pukul 15.00, kadang molor sampai pukul 16.00.

Situasi ini membuat tegang. Ketegangan ini membuat kerja tidak maksimal. Perhatian kadang kala lebih terfokus pada isi, ketimbang bahasa. Huruf besar kecil, titik atau koma, pilihan kata, kadang-kadang tidak diperhatikan dengan lebih cermat. Itu di jajaran redaksi.

Di jajaran pra cetak, isu bahasa juga muncul. Bahkan kadang-kadang justru masalah terjadi pada bagian pracetak. Cara mereka menempatkan kata kadang kala hanya terfokus pada ruang dan artistik. Kalau ruang tidak memungkinkan pra cetak menempatkan judul pada satu baris, pra cetak harus menempatkan judul di baris berikutnya (baris kedua). Isunya adalah persambungan antara baris pertama dan kedua. Jika mengikut saja pada kemampuan komputer, pemenggalan akan ikut pada pembagian jumlah karakter, tetapi, kalau pracet tak mengerti bahasa Indonesia, penggalannya akan mengikuti kaedah bahasa Indonesia. Untunglah, dari 5 pracetak yang ada, 4 di antaranya – Bang Fakun, Bang Iwan, Sam Abu Bakar, Mbak Tika Ramadhani, dan Fahmi Ichwan pernah belajar pada Georgia Scott layouter The New York Time. Mereka juga sudah pernah belajar dari Jhon Mohn, konsultan artistik Jawa Pos asal Kanada. Jadi, kesadaran bahasa juga muncul seiring kesadaran tentang tata letak.


***


Tetapi, di balik hal teknis itu, secara teoritis, penggunaan bahasa Indonesia di media massa juga tidak mudah. Yang aku tahu, di kalangan para jurnalis ada aliran yang mengatakan ada Bahasa Jurnalistik, bahasa yang berbeda dibandingkan bahasa lainnya. Bedanya, bahasa jurnalistik itu singkat, jelas dan padat.

Teori ini kerap kali digunakan oleh pekerja pers untuk membela diri ketika bahasa yang mereka gunakan dikritik. Termasuk oleh teman-teman di jajaran redaksi, dahulu. Ya, maklum, siapa sih yang mau disalahkan. Apalagi wartawan. Aku belum pernah lihat wartawan yang tidak ego.

Menurutku, teori ini justru menghambat penggunaan bahasa Indonesia di media. Teori ini juga membuat awak media tidak merasa cukup perlu belajar ‘lagi’ bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Dan ironinya, ada di antara ahli bahasa Indonesia yang menyetujui teori ini. Padahal mereka ingin ada peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia.

Aku menilai begitu karena sejauh yang kulihat penjelasan teori bahasa jurnalistik sama saja dengan penjelasan tentang menulis yang baik dalam pelajaran bahasa Indonesia. Lihatlah teori-teori konstruksi kalimat, dll. Setiap pelajaran menulis dan penggunaan bahasa Indonesia pasti yang ditekankan adalah menggunakan bahasa yang jelas, singkat dan padat. Tidak boleh menggunakan bahasa yang ambigu, dll. Sangat umum.

Lagian, contoh bahasa media yang selalu ditampilkan adalah contoh-contoh bahasa yang jelas salah, yang orang media sendiri tertawa dengan kesalahan itu. Contoh yang diberikan dalam beberapa teori bahasa media adalah contoh yang tidak benar. Orang media yang mengerti bahasa lugas, tegas dan jelas, menghindari penggunaan bahasa media yang salah itu.

Aku pernah menyampaikan hal itu dengan narasumber nasional. Termasuk suatu ketika ketika ada nara sumber dalam pelatihan untuk redaktur yang diselenggarakan PWI Pusat.

“Itu pendapat saudara. Hak saudara untuk berpendapat begitu,” kata narasumber itu.

Aku hanya bisa mengangguk. Hak pribadi!

Ya, hak pribadi seperti itulah yang membuat kami, orang media tidak mau belajar. Kalau ada orang mengkritik bahasa yang kami gunakan, kami akan mengatakan:

“Itulah bahasa media. Anda tidak mengerti bahasa media!”

Lalu, kami tetap dengan bahasa kami. Kami mengubah dunia pikir masyarakat pembaca dengan bahasa kami. Terciptalah dunia nyata yang wujud berdasarkan kata-kata yang kami persembahkan. Tanpa, peduli benar atau salah.

Hingga kami pun tidak sadar pada tugas-tugas kami menjaga bahasa Indonesia. Maka kemenangan yang diraih Borneo Tribune pada hakikatnya adalah cambuk buat kamiuntukbelajar lebih serius lagi. Ini esensinya.

Baca Selengkapnya..

Sunday, July 13, 2008

Borneo Tribune Juara 1 Koran Berbahasa Terbaik


Oleh Tanto Yakobus

Harian Borneo Tribune, terpilih sebagai media massa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tentu, terpilihnya Borneo Tribune mengagetkan kami para kru yang membidaninya.

Harian yang muda usia ini, dalam penyajian beritanya sehari-hari dengan motto “menyajikan berita dengan gaya bercerita” ternyata mampu menyedot perhatian tim penilai dari Departeman Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat.
Penilaian terhadap media yang berbahasa Indonesia yang baik itu dalam rangka bulan bahasa. Dan di Kalbar, momen bulan bahasa ini, panitia memberi perhatian khusus kepada media yang selama ini melayani informasi bagi publik. Dan terpilihnya Borneo Tribune, jelas membanggakan sekaligus beban bagi kami awak redaksinya.
Membanggakan, karena, dia menyisihkan media-media yang sudah mapan dan tergolong tua di Kalimantan Barat ini. Diantaranya, Pontianak Post, Equator, Kapuas Post, Metro Pontianak, Berkat dan beberapa media lokal lainnya.
Kami juga merasa terbebani dengan predikat terbaik itu. Namun itu bukanlah beban berat, karena dari awal berdiri, kami bercita-cita menjadi koran ini koran pendidikan terdepan di Kalbar.
Kembali ke gawe balai bahasa. Dalam penilaian yang dilakukan tim selama kurang lebih satu bulan selama bulan bahasa, mereka menilai tajuk rencana dan berita utama yang diturunkan media massa lokal tiap harinya, ternyata Borneo Tribune dinilai menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Peringkat II Pontianak Post dan peringkat III berbahasa Indonesia yang baik dan benar Kapuas Post.
Ada empat aspek yang dinilai, diantaranya, struktur tulisan (paragraf) dan kalimat, diksi, gaya bahasa serta penggunaan ejaan.
Untuk masing-masing kategori, seperti misalnya untuk struktur tulisan (paragraf dan kalimat, tim penilai menjatuhkan bobot 40% dengan jumlah nilai 92,4. Diksi bobotnya 30% dengan jumlah nilai 72,6. Gaya bahasa bobot 20% dan jumlah nilai 43,8 dan terakhir penggunaan ejaan bobotnya 10% dan jumlah nilai 24,7. Jadi total nilai 233,5.
Nilai tersebut jauh melampaui nilai yang diraih Pontianak Post dan Kapuas Post yang masing-masing sebagai juara II dan III.
Penyerahan piagam penilaian media massa langsung oleh Plt Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat, Drs. Firman Susilo, M.Hum.
Waktu bersamaan juga diserahkan piagam dan penghargaan serta tropi kepada para pemenang lomba penulisan cerpen, puisi, syair. Kemudian ada pula penobatan sastrawan terbaik Kalbar.□

Foto: Saya (paling kiri) mewakili Pemred Borneo Tribune menerima penghargaan dari Pusat Balai Bahasa Provinsi Kalbar. Turut menerima penghargaan Pontianak Post yang diterima langsung Pemrednya, B. Salman, dan Kapuas Post yang diterima Wakil Pemrednya, Mahala. Foto by AA Mering.

Baca Selengkapnya..

Monday, July 7, 2008

Tentang Panasnya Pontianak, Panasnya Politik

Tuliasan mas Andreas yang mengupas ketegangan antaretnik di Pontianak, Kalimantan Barat, yang dimuat di majalah Gatra, cukup untuk memahami peristiwa Gang Tujuhbelas—yang hampir memicu kerusuhan horisontal di Pontianak. Di Pontianak sendiri, Gatra terbitkan hari Kamis pekan lalu itu ludes dalam sehari. Nah, bagi Anda yang kebetulan tidak mendapatkan majalah Gatra edisi Kamis tersebut, Anda bisa membaca tulisan yang sama di harian Borneo Tribune.

Kami menurunkan tuliasan mas Andreas, tersebut utuh sebanyak empat halaman di laporan khusus kami hari Minggu (6/7) kemarin.
Sebetulnya, dalam edisi khusus setiap hari Minggu, kami juga selalu menampilkan topik-topik menarik menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Mulai dari masalah kemiskinan hingga persoalan yang melilit kepentingan orang banyak, kami kupas tuntas di edisi khusus setiap hari Minggu.
Dan kebetulan, mas Andreas ada menulis tentang Panasnya Pontianak, Panasnya Politik, kami pun menurunkanya utuh dalam edisi khusus Minggu tersebut. Anda yang kebetulan tak kebagian majalah Gatra atau mungkin harganya sedikit mahal, Anda cukup mencari edisi khusus Borneo Tribune, Minggu.
Tulisan panjang yang mencapai mungkin 50 ribu kata itu dapat di dapat dengan harga lebih murah, dan tentunya tak mengurangi isi dan makna dari tulisan yang hendak mas Andreas sampaikan ke kyayak tersebut.
Tulisan itu memang beda. Selain beda cara penyajiannya, juga beda dalam hak akurasi.
Bila dibandingkan dengan hasil lipuran media yang ada di Pontianak, sebut saja, Pontianak Post, Kapuas Post, Equator, Metro Pontianak, Berkat dan tentu saja Borneo Tribune, banyak kekeliruan dalam hal nama, waktu dan pihak-pihak yang “bertikai’.
Bahkan ada media yang justru sumir dalam hal pemberitaan terhadap peristiwa sesungguhnya. Ada pula yang justru menggunakan sumber anomin dan lain sebagainya.
Alasan tentu beragam, mulai dari taku menjadi pemicu hingga wartawan yang tidak bisa menembus sumber primer atau sumber utama.
Tapi yang saya lihat, justru kebanyakan media di Pontianak tidak berani memberitakan peristiwa sesungguhnya, kerana dibawah tekanan kepolisian dan juga lemahnya model penulisan yang justru dapat memberikan pencerahan kepada pembacanya.
Kemudian unsur subjektivitas justru sangat melekat pada si wartawannya. Jadi independensi si wartawan juga masih dipertanyakan.
Masih sangat langka menemukan wartawan yang dapat melaporkan peristiwa ‘pertikaian’ apa adanya. Masih sulit menemukan media yang mau menurunkan kejadian secara utuh. Banyak pertimbangannya. Mulai dari keamanan si wartawan, hingga medianya sendiri takut di cap provokator.
Padahal bisa wartawan mempu menembus sumber kompeten atau sumber utama, maka persoalan akan menjadi jernih. Tak ada lagi syakwas sangka, tak ada lagi saling curiga. Karena semua pihak dapat memahami situasi sesungguhnya.
Mas Andreas mampu mewawancarai 40 orang di Pontianak untuk mengupas persoalan yang dipicu kasus kriminal di Gang Tujuhbelas, Jalan Tanjungpura itu.
Bahkan, rekan saya Yusriadi, yang juga dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak, juga menjadi narasumber mas Andreas.
Dalam tuliasan, mas Andreas mensejajarkan rekan saya itu dengan Jamie Davidson: Analisis Yusriadi sejajar dengan tesis Jamie Davidson: Melayu maupun Dayak bersaing dan mereka yang di tengah jadi korban. Orang Dayak mengusir orang Madura dari Sanggau Ledo, pada 1997, karena Madura adalah puak yang lemah. Orang Melayu mengusir Madura dari Sambas, pada 1999, juga karena jumlah Madura kecil. Ketika orang Dayak mengusir orang Madura dari Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001, alasannya juga sama. Kini golongan Madura sudah keok. Ribuan orang Madura dipotong kepalanya, dibelah punggungnya, dimakan hatinya. Kini persaingan mereka mencari korban yang tetap minoritas: golongan Cina. Pepatah, "Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung," dulu dimanipulasi untuk membenarkan diskriminasi terhadap etnik Madura. Sekarang pepatah sama dimanipulasi untuk menyudutkan pendatang lain: golongan Tionghoa.
Yusriadi mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia murid James T. Collins, professor bahasa-bahasa Borneo. Yusriadi menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, "Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.". Anda penasaran? Buru saja edisi khusus harian Borneo Tribune terbit Minggu (6/7).□

Baca Selengkapnya..

Sunday, July 6, 2008

Tragedi Orang Usiran

Oleh Tanto Yakobus

Juminten, 45 tahun, masih terbayang saat ia bersembunyi di belantara Kalimantan Barat (Kalbar). Ia nyaris tewas ketika menghindar dari serangan penduduk local. Tak heran bila ibu tujuh anak ini merasa lebih baik menolak rencana relokasi yang dilakukan Pemda Kalbar.

Ia memilih bertahan di tengah 48.000 pengungsi di Gelanggang Olahraga (GOR) Pangsuma, Stadion Sultan Syarif Abdurrahman, dan Asrama Haji Pontianak Kalimantan Barat.
Tapi, Juminten tak kuasa menolak ketika di tengah malam, Minggu dan Senin pekan ini, para kerabatnya direlokasi ke Sungai Asam, satu lokasi baru yang disediakan untuk mereka.
Dalam dua gelombang, sebanyak 136 kepala keluarga (KK) pengungsi kerusuhan Sambas yang selama tiga tahun ini nasibnya terlunta-lunta kini menghuni daerah baru.
Nasib Juminten dan kawan-kawan memang bagai orang usiran. Sebelumnya mereka diultimatum warga local untuk meninggalkan kamp pengungsi dalam waktu lima hari sejak kerusuhan meletus Sabtu pekan silam.
Sikap para pengungsi pun terbelah. Sebagian menyetujui relokasi yang dilakukan pemda, sementara yang lainnya tetap memilih bertahan. Apalgi, mereka yang memilih menerima sempat diancam para pengungsi yang antirelokasi.
Namun, menurut Rokiah, 45 tahun, salah seorang pengungsi di GOR Pangsuma, sebenarnya mereka merasa lebih baik terus berada di lokasi pengungsian. Dengan begitu, mereka lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Menjadi buruh bangunan, misalnya.
Lagi pula, di lokasi yang disediakan pemerintah, menurut para pengungsi, itu belum ada jaminan kehidupan mereka akan berlangsung lebih baik. Apalagi, Pemda Kalbar kesulitan dana untuk menampung mereka.
Hingga kini baru 3.907 unit rumah yang dibangun untuk pengungsi. Padahal, jumlah total pengungsi sebesar 48.000 yang tersebar di tiga lokasi.
Bayangkan bila daya tampung pengungsi di enam lokasi (Sungai Asam, Parit Haji Ali, Sungai Nyamuk, Tanjung Saleh, Punggur dan Sungai Ambawang) hanya 1.832 KK. Sisanya akan ditampung di gedung LKMD dan sekolah dasar di Sungai Asam.
Bahkan, hingga kini, sebanyak 7.444 unit rumah yang rencananya menjadi tempat tinggal para pengungsi masih belum selesai dibangun karena dana dari pemerintah pusat hanya dapat membangun sekitar 2.000 unit rumah per tahun.
Ketidaksiapan pemda inilah yang sebenarnya memicu tokoh masyarakat Dayak dan Melayu mengultimatum pengungsi untuk segera meninggalkan lokasi pengungsian.
Sebelumnya, ultimatum lima hari itu diduga warga Madura ditujukan kepada mereka. Padahal, tokoh Dayak dan Melayu sengaja melakukan tekanan ini karena pemda dinilai tidak serius menangani nasib pengungsi.
“Ultimatum itu bukan gendering perang terhadap etnik Madura, melainkan buat kinerja pemda. Kami ingin masalah pengungsi ini cepat selesai dan penderitaan mereka yang tinggal selama tiga tahun di kamp bisa berakhir,” kata Ketua Harian Majelis Adat Dayak Kalbar, Ir. Saikun Riyadi, kepada GAMMA.
Tapi, bagi Ketua Lembaga Adat Melayu (Lembayu), Toto Alkadrie, ultimatum yang diberikan akan longgar jika pengungsi berniat baik meninggalkan kamp. Yang penting, bagi Alkadrie, pihak yang mengerjakan permukiman di daerah relokasi serius bekerja, sehingga warga Madura tidak kesusahan.
“Tempat yang dijanjikan adalah rumah siap huni, tapi ternyata tidak,” kata Alkadrie.
Walau begitu, menurut Ketua Ikatan Keluarga Besar Madura (Ikamra) Kalbar, H. Sulaiman, hingga saat ini sudah sekitar 40% warga yang keluar dari kamp-kamp pengungsi. Sebagian memilih relokasi dan lainnya ikut kelurga masing-masing.
Ketua Tim Gabungan Relokasi Pemda Kalbar, Eka Kawirayu, berjanji pemindahan pengungsi tidak akan berlarut-larut. Saat ini, katanya, untuk tahap pertama rumah-rumah sederhana siap menampung 1.822 KK. Mereka akan dilibatkan dalam program perkebunan berikut fasilitasnya.
“Ini ditambah dengan jatah hidup dan kelengkapan pertanian lainnya,” katanya kepada GAMMA.
Menyikapi konflik etnik di daerahnya, Gubernur Kalbar, H. Aspar Aswin membentuk tim gabungan yang akan menyusun alternatif pemecahan masalah. Hasil kerja tim ini, kata Aswin kepada GAMMA, menjadi bahan analisis bagi keputusan yang diambil pemda. Kepada para pengungsi, Aswin meminta mereka berpikir jernih, sehingga konflik berikutnya bisa dihindari.
Toh, di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman masih tampak para pengungsi bertahan. Mereka suka mengendap-endap di semak belukar, mengintai kalau-kalau ada massa yang menyerang.

○Terbit di Majalah GAMMA 4-10 Juli 2001 hal 82

Baca Selengkapnya..

Tusukan Anak Membela Ibu

Oleh Tanto Yakobus

Sumardi adalah anak yang taat kepada orang tuanya, taat beribadah, dan tak pernah neko-neko. Ia baru berusia 12 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD. Saking taatnya kepada orang tua, Sumardi tahu persis pameo yang mengatakan “surga berada di bawah telapak kaki ibu.”

Saban hari, sehabis pulang sekolah, Sumardi membantu ibunya yang berjualan sayur mayor di Pasar Mawar, Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar). Begitu pula pada Selasa pekan lalu. Ia berada di kios milik keluarganya saat ibunya kedatangan tamu bernama Muderi.
Anak bungsu dari dua bersaudara itu tak menaruh curiga sama sekali pada Muderi. Sebab Muderi memang sering mampir ke rumahnya, ngobrol dengan ayah dan ibunya.
Namun, tiba-tiba saja—Selasa pekan lalu itu—Muderi memaki-maki ibunya di depan orang banyak yang berkunjung ke pasar. Lalu, plak, plek, plok, tangan Muderi hinggap bertubi-tubi ke pipi Sayari, ibu Sumardi.
Bukan hanya itu. Pria berusia 40 tahun itu menjambak rambut Sayari, memutar-mutarkan dan menariknya keras-keras, hingga ibu kandung Sumardi itu terlempar. Akibat perlakuan Muderi, darah segar keluar dari hidung Sayari. Kedua pipinya pun legam kebiru-biruan.
Melihat perlakuan tak senonoh itu, Sumardi naik pitam. Anak bau kencur itu pun gelap mata. Ia mengambil sebilah pisau sayur dan menusukkannya ke dada kiri hingga menembus jantung Muderi. Tusukan anak dibawah umur itu membuat Muderi tak dapat lagi menahan sakit. Sambil memegang lukanya, ia berusaha mengejar Sumardi, setelah ia nyaris menghantamkan kursi ke kepala Sayari. Belum jauh berlari, Muderi pun roboh bersimbah darah dengan napas terputus-putus. Kondisinya kristis, darah segar terus muncrat dari luka tusuk yang tepat mengenai jantungnya itu.
Warga sekitar yang sebelumnya sempat terpana melihat seorang perempuan penjual sayur dipukuli lelaki, jadi terkesiap lantaran bocah cilik itu bertindak cepat. Tak seorang pun bisa menahan bahkan melerai perkelahian yang berakhir di ujung pisau itu. Warga hanya menyaksikan Muderi roboh bersimbah darah saat akan memburu Sumardi.
Oleh warga, Muderi dilarikan ke Disdokkes Polda Kalbar di Jalan KS Tubun. Tak memungkinan dirawat di sana, aparat kepolisian mengirimnya ke RS Santo Antonius (RSSA) Pontianak, sementara sebagian petugas menghubungi pihak keluarga. Tindakan cepat dilakukan tim medis yang berusaha menyelamatkan nyawa Muderi.
Bahkan, di antaranya berkali-kali menekan bagian dadanya, dan memompa jantung. Namun, Tuhan berkehendak lain.
Dalam tempo 30 menit usai kejadian, sekitar pukul 10.55 WIB, nyata Muderi tidak tertolong lagi. Warga Jalan Nirbaya Gang Sukadamai Kotabaru itu menghembuskan napas terakhirnya akibat perdarahan dengan luka tusuk 12 centimeter tepat menembus jantung.
Sementara korban dilarikan ke rumah sakit, Sumardi bersama ibunya dengan kesadaran sendiri, langsung menyerahkan diri ke Polisi. “Setelah kejadian, saya dan anak saya naik becak menyerahkan diri ke Poltabes Pontianak,” tutur Sayari masih dengan rambut acak-acakan.
Kejadian itu sendiri bermula ketika Sayari menagih utang Rp 1,8 juta, yang sudah dua tahun tak dilunasi Muderi. “Saya sebenarnya mau pulang. Kebetulan ketemu dengan dia. Terus saya bilang, Bang minta uang, Bang. Saya sudah capek nih, bayarlah Bang utangnya,” ujar Sayari menyitir kembali ucapannya kepada Muderi.
Tapi, ditagih begitu, Muderi justru marah-marah dan memaki-maki Sayari. “Dia malah marah, Pak. Dia tarik rambut saya terus memukul saya sampai berdarah-darah,” tuturnya lagi sambil memperlihatkan bekas noda darah yang masih melekat di bajunya.
Khawatir akan keselamatan ibunya, Sumardi pun berlari. Pisau milik ibunya yang biasa digunakan untuk memotong sayur dan berada di dalam kantong plastic hitam, segera disambarnya. “Saya tidak mengira perbuatan saya menyebabkan dia meninggal. Saat itu saya hanya kasihan melihat itu saya yang dipukuli,” tutur Sumardi lirih.
Tertunduk lesu mengenakan bahu yang masih ada bercak darah dari lukanya, Sayari mengaku tidak menduga anak keduanya sampai nekat menusuk Muderi hingga tewas. “Saya kira Sumardi sudah tak tahan lagi melihat saya dipukuli Muderi di depan matanya sendiri,” tuturnya dengan suara pelan dan berat.
Ia tidak tahu dari mana anaknya mendapatkan pisau lalu menusukkannya. Yang diingatkannya waktu itu adalah rasa takut dan sakit akibat dipukuli Muderi dan mencoba mempertahankan diri. “Memang itu pisau saya untuk memotong sayur, tapi tidak tahu bagaimana dia mengambilnya lalu menikam,” kata Sayari, yang sehari-hari berjualan sayur di Pasar Mawar itu.
Kini, Sumardi masih daam pemeriksaan. Belum jelas hukuman apa yang akan ditimpakan kepadanya. Yang pasti, jika Sumardi tidak membunuh Muderi, mungkin justru ibunya yang tewas.

○Terbit di Majalah Forum Keadilan nomor 12, 27 Juli 2003. hal 40.

Baca Selengkapnya..

Kuliah Yes, Narkoba No

Oleh Tanto Yakobus

Balai Laboratorium Kesehatan Pontianak ramai dikunjungi puluhan lulusan sekolah menengah umum. Mereka rela antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan selembar surat keterangan bebas narkoba. Maklum, surat keterangan itu merupakan salah satu syarat untuk bisa mendaftar sebagai calon mahasiswa baru di Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Fittri dan Herman, misalnya, tiga pekan lalu tak keberatan air seninya diperiksa tim dokter di sana, sebab mereka merasa tak pernah mengonsumsi narkoba. Mereka optimistis bisa bertarung dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri yang berlangsung Selasa dan Rabu pekan ini.
“Ya, memang saya tak pernah mengonsumsinya. Kenapa takut?” kata Fittri kepada GAMMA.
Tekad Universitas Tanjungpura (Untan) perang melawan narkoba agaknya bukan isapan jempol. Itu dibuktikan dengan mewajibkan para calon mahasiswa melampirkan surat bebas narkoba sebagai salah satu syarat saat mendaftar sebagai calon mahasiswa baru.
Peraturan itu sudah diterapkan sejak tahun akademik 1999 lalu.
“Semua ini sebagai pencegahan agar peredaran dan penggunaan narkoba, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif (napza) tidak meluas di kalangan mahasiswa,” kata Kelapa Biro Administrasi Akademik Untan, Radjali Hadimas Putra.
Langkah Untan didukung Surat Edaran Direktorat Pendidikan Tinggi tanggal 21 Januari 2000 yang menyebutkan upaya pencegahan napza di lingkungan perguruan tinggi.
Untuk mendeteksi ada tidaknya pengguna narkoba, Kepala Balai Laboratorium Kesehatan Pontianak, Hilda Handayani, menggunakan metode yang lazim dipergunakan, yakni rapil test dan thin layer chromotografi, termasuk tes air seni.
Pemeriksaan napza dengan metode rapil test untuk mendeteksi golongan cannabis (mariyuana, ganja), golongan amphetamine (ekstasi, sabu-sabu), golongan morphine (opium, putaw), serta golongan cocaine yang juga disebut rock cocaine atau coke.
Sedangkan metode thin layer chromotogradi hanya bisa dilakukan terhadap golongan morphine dan amophetamine.
“Dengan metode itu tak ada celah bagi penguna narkoba lolos dari pemeriksaan. Sekecil apa pun tingkat konsumsi akan terdeteksi,” ujar Hilda.
Menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa Pontianak, dr. Benny Ardjil, sejak Juni 1999 hingga Juni 2001 tercatat 150 pasien pengidap narkotika dan psikotropika. Mereka itu rata-rata berusia antara 16 dan 25 tahun. Itu artinya, 80% di antaranya usia pelajar dan mahasiswa.
Penyebabnya, kata Benny, antara lain pengaruh globalisasi, sehingga rasa ingin tahu mereka terpacu kemudian coba-coba dan akhirnya ketagihan.
Agar tidak menjadi akut, berbagai upaya pencegahan terus dilakukan. Salah satunya lewat program detoksikasi yang dirancang untuk mengeluarkan zat narkotika dari dalam tubuh pasien. Setelah itu, barulah mereka masuk dalam program rehabilitasi. Deteksi bisa dijalankan selama dua minggu hingga satu bulan, sementara pasien rawat inap selama 7-10 hari. Untuk rehabilitasi pecandu, dibutuhkan waktu enam bulan.
Selain itu, rumah sakit jiwa tersebut juga menyediakan program narcotic anonymous yang mempunyai jaringan internasional sebagai sarana komunikasi sesama mantan pencandu.
“Kami memiliki fasilitas yang bagus. Sayangnya, tak banyak yang menggunakannya. Mungkin karena malu,” tambah Benny.
Walau syarat bebas narkoba itu positif, kesempatan kuliah bagi penderita narkoba dan biaya pemeriksaan di laboratorium ternyata sangat mencekik leher.
Apa jadinya kalau para pencandu narkoba yang justru harus diselamatkan dari jeratan penyakit itu malah gentayangan di luar kampus. Apalagi, biaya pemeriksaan Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu tergolong berat bagi para orangtua calon mahasiswa.
Anehnya, kepala Kanwil Diknas Kalimantan Barat, Aman Jasin, mengaku belum mengetahui adanya persyaratan bebas narkoba tadi. Namun, jika hal itu benar, dia malah mengaku tidak kaget.
“Itu sudah saya lakukan saat saya menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA II di Singkawang dari 1982 hingga 1987. Jadi bagi saya bukan hal yang aneh,” katanya.
Namun, bagi calon mahasiswa seperti Fittri dan Herman, soal biaya pemeriksaan yang mahal itu tak terlalu memusingkannya.
“Meskipun biayanya mahal, itu kan, sangat berguna bagi kami. Itu sudah jadi resiko untuk bisa kuliah,” kata Fittri.
Memang, belum terlambat untuk mengatakan say no to drugs.

○Terbit di Majalah GAMMA. 11-17 Juli 2001

Baca Selengkapnya..

Saturday, July 5, 2008

Sakit Hati, Lalu Sadistis

Oleh Tanto Yakobus

Dengan tertunduk lesu, Madani, 35 tahun, menyandarkan kepalanya ke dinding rumah. Sesekali ia tampak memukul-mukul dinding melampiaskan amarahnya. Sorot matanya memandang iba kepada putra sulungnya, Mauridin, 12 tahun, yang duduk terpaku meratapi jenazah ibunya, Maimunah, 30 tahun, tiga adiknya (Zaenal 8 tahun, Bobby 5 tahun, dan Dandi 3 tahun), serta bibinya, Ani, 18 tahun.

Pemandangan memilukan itu akhirnya membuat Madani menangis sejadi-jadinya.
“Saya tak terima kenyataan ini. Ini sungguh perbuatan biadab dan tak berperikemanusiaan,” teriak ayak empat anak itu histeris.
Peristiwa pembunuhan lima anak-beranak yang menimpa keluarga Madani yang tinggal di Gang Mutiara, Jl. Adisucipto Km 12,5 Sungai Raya, Selasa pekan lalu, itu memang memilukan dan membuat geger Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Adalah Maryatun, tetangga Madani yang menemukan kelima korban pembunuhan biadab tersebut pertama kali, Selasa pekan lalu. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 WIB, Maryatun heran kerana lampu teras Madani masih hidup dan suasana rumah tampak sepi.
Padahal, biasanya suara anak-anak sangat riuh dan Maimunah terlihat mencuci di belakang rumah. Bersama sejumlah warga, Maryatun lalu masuk ke rumah lewat pintu samping.
Ya, ampun, mereka mendapati lima mayat bergelimpangan di atas kasur di ruang tengah tempat keluarga menonton televise. Keadaan mayat tak utuh karena mengalami luka gorok di leher dan luka bacokan.
Bahkan, perut si bungsu Dandi hamper putus, shingga sebagian ususnya terburai. Tiga buah parang berlumuran darah kering tergeletak di samping mayat Ani yang baru lulus SMU dan berencana hendak mendaftar kuliah di Pontianak.
Temuan ini tentu membuat warga sekitar gempar. Madani, suami Maimunah, yang berada di Teluk Batang bersama putra sulungnya, Mauridin, pelajar kelas IV SD yang ikut bersamanya karena liburan, langsung dijemput petugas untuk dimintai keterangan. Usai divisum, kelima mayat tersebut dikubur di Kubu dan Teluk Batang pada esok harinya, Rabu, 4 Juli 2001.
Pembunuhan ini memang tergolong rapi. Tak satu pun di antara tetangga mengaku mendengar pembantaian itu. Padahal, jarak antar-rumah hanya selang satu meter. Indikasi perampokan terbantahkan karena tak satu pun barang hilang.
Berkat kerja keras polisi, dua hari setelah mayatditemukan, misteri itu terungkap.
Ternyata motifnya sakit hati. Pelakunya adalah Ridwansah alias Iwan, 20 tahun, keponakan Madani sendiri,” kata Kadispen Polda Kalbar, Komisari Suhari. S.W., kepada GAMMA.
Menurut Suhadi, Iwan selama ini tinggal di rumah Madani dan baru sebulan pindah dan tinggal di rumah mertuanya di Gang Masjid Jl. Adisucipto.
Ia sebetulnya berharap keluarga Madani yang sudah mapan bisa membantunya, apalagi Iwan baru menikah.
“Tapi, setiap memberi bantuan seperti tidak ikhlas karena selalu diikuti dengan sindiran, ‘Pengangguran, kok, berani menikah, nanti istri dikasih makan apa.’ Sindiran itu membuat saya sakit hati dan dendam,” kata Suhadi mengutip pengakuan Iwan.
Kepada polisi, Iwan mengaku membantai kelima anak-beranak itu dengan bantuan dua rekannya, Mus dan Syaf. Tapi, Mus dan Syaf membantah pengakuan Iwan tersebut.
Walau Iwan telah mengaku dan sudah ditetapkan sebagai tersangka, menurut Suhadi, polisi masih meragukan kebenaran motif tersebut.
“Pengakuan itu rasanya belum kuat. Masa hanya gara-gara ejekan. Untuk itu, polisi akan terus mengembangkan kasus tersebut,” kata Suhadi lagi.
Kini tinggallah Madani yang terus menerus menyesali dirinya.
“Kenapa peristiwa ini terjadi justru saat saya tak ada di rumah,” katanya.
Ia pun kerap termenung mengingat istri, tiga anaknya, serta seorang keponakannya tersebut.
“Perbuatan mereka itu tak bisa saya maafkan,” katanya.

○Terbit di Majalah GAMMA tanggal 11-17 Juli 2001.

Baca Selengkapnya..

Friday, July 4, 2008

Nyala Api dalam Sekam

Oleh Tanto Yakobus

Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, kembali berdenyut. Penduduk sudah keluar rumah. Took, supermarket, dan pasar-pasar tradisional sudah buka seperti biasa. Dua kelompok etnik (Melayu dan Madura) yang bertikai sudah menyatakan memahami kesalahan masing-masing dan sepakat menyerahkan semua problem kepada polisi—sepertu dulu, meski belakangan kumat lagi.

Selayang pandang, seperti dipantau oleh wartawan GAMMA sampai Selasa pekan ini, tidak ada lagi warga terlihat bergerombolan sambil menenteng senjata tajam sebagai alat perang. Meski demikian, di berbagai titik rawan aparat keamanan masih berjaga-jaga dan sewaktu-waktu melakukan sweeping senjata tajam.
Sementara itu, pada malam hari warga masih terlihat berjaga-jaga di mulut-mulut gang di lingkungannya masing-masing.
Memang, selama empat hari dilanda kerusuhan, dimulai Rabu 25 Oktober, telah jatuh korban 21 orang. Tujuh orang tewas dan 14 lainnya luka parah. Dari 7 yang tewas itu 6 orang dari etnik Madura dan 1 orang dari suku Melayu.
Menurut Dr. J.K. Sinyor, Direktor Rumah Sakit Umum Soedarso (RSUS) Pontianak, semua korban yang terluka maupun yang tewas di bawa ke RSUS. Biaya perawatan mereka diambil dari dana JPS (Jaringan Pengaman Sosial) bidang kesehatan—untuk tahun anggaran ini tersedia Rp 1,82 miliar.
Kerusuhan antaretnik di Bumi Khatulistiwa itu—sama seperti kasus kerusuhan Sambas 1999 dan Sanggau Ledo 1997—berawal dari hal sepele.
Rabu 25 Oktober, sekitar pukul 08.45 WIB, seorang pengendara sepeda motor yang melintas turun di Jalan Tol Kapuas dan hendak masuk gang ujung jembatan tol mendadak disalib bus kota yang berhenti tidak jauh dari gang ujung jembatan itu.
Si pengendara sepeda motor yang kebetulan warga Melayu tak terima. Ia lalu memanggil kernet bus itu. Si kernet bersama sopirnya yang kebetulan warga Madura turun dari bus membawa gagang dongkrak mendatangi si pengendara motor yang parkir di mulut gang arah Tanjung Raya. Ketika bertemu, perang mulut pun tak terelakkan. Aparat polisi, yang berada di pos polisi sekitar 10 meter dari tempat kejadian, berhasil melerai perang mulut itu. Si sopir dan kernet pergi.
Tapi, perang mulut itu telanjur mengundang warga sekitar ramai berkumpul. Saat itu, melintas sebuah bus kota dari arah Batulayang menuju kota. Tak pelak, warga mencegat bus itu, lalu menyuruh penumpangnya turun. Si sopir dan kernetnya buru-buru lari berlindung ke pos polisi. Setelah bus itu kosong, massa yang sudah emosi lalu merusaknya dan kaca-kacanya ditimpuki dengan batu serta potingan kayu. Setelah itu, massa pun bubar.
Pukul 12.00 WIB, mendadak massa dari Siantan (daerah asal sopir) menyerang daerah sekitar tempat kejadian tadi. Warga yang terserang tentu saja tak terima. Tak ayal, konsentrasi massa dari kedua kubu pun saling berhadapan dengan jarak 50 meter.
Lempar batu antarmereka pun merebak. Senjata tajam pun diacung-acungkan ke langit. Polisi berupaya mencegah ketegangan dengan masuk ke tengah kedua kelompok yang berhadap-hdapan.
Tapi nahas, bentrok pecah dan enam korban jatuh di pihak penyerang: 5 korban luka parah akibat sabetan parang dan terkena tombak, sedangkan satu tewaas. Dua orang polisi pun terluka akibat melerai.
Saat genting, Wali Kota Pontianak, dr. Buchary A Rahman, bersama seluruh Muspida Pontianak tiba di lokasi kejadian. Lewat pengeras suara, wali kota melerai. Suasana pun reda. Tapi, massa tak bubar. Aparat keamanan lalu menyekat kedua kubu dengan pagar betis.
Menjelang senja, massa Madura kembali ke Siantan, sedangkan massa Melayu merangsek masuk ke dalam kota mencari becak dak kios rokok—milik warga Madura—di sepanjang kawasan perdagangan, yakni Jl. Pahlawan, Jl. Gajah Mada, Jl. Tanjungpura, dan Jl. Imam Bonjol.
Akibatnya, puluhan becak atau kios rokok yang ketemu mereka gulingkan ke tengah jalan lalu dibakar. Aksi rusuh ini berlangsung hingga pukul 04.00 dini hari.
Esoknya, kerusuhan meluas ke berbagai sudut pinggiran kota Pontianak, seperti Sui Jawi, Jeruju, Sui Raya, dan kawasan Jalan Adi Sucipto. Hari itu massa membakar 5 sepeda motor, 4 mobil, dua bus, serta lima rumah di Jeruju. Korban jiwa yang luka dan tewas pun berjatuhan. Akibatnya, sampai malam hari suasana kota Pontianak sangat mencekam dan bak kota mati.
Kedua etnik yang bertikai melakukan sweeping di daerah kantong masing-masing. Warga Madura yang berada di kantong Melayu terpaksa mengungsi ke Kodim 1207 Pontianak dan Pangkalan Lanal TNI AL Pontianak sebanyak 435 KK, sekitar 54 KK pulang ke Madura.
Hingga Jumat pagi, 27 Oktober, situasi masih sangat mencekam. Tak pelak, Kapolda Kalbar Brigjen Atok Rismanto, SH, meminta bantuan langsung ke Kapolri.
“Saya tak mau ambil resiko. Jadi, saya minta tambahan pasukan untuk back-up,” kata Atok kepada GAMMA.
Di lapangan, aparat yang bertugas hanya 2 SSK dari TNI AD dan 2 SSK dari Brimob. Ini memang sangat kurang. Maka, Jumat sore itu mendarat di Pontianak 1 Batalyon Brimob asal Mabes Brimob Kelapa Dua, Cimanggis, Bogor. Pasukan yang dibawa pesawat tempur Hercules C-130 itu merupakan pasukan yang baru seminggu tiba dari Aceh.
Lalu, malamnya, aparat melakukan sweeping senjata tajam dan senjata rakitan. Sampai Sabtu, 28 Oktober, aparat masih melakukan sweeping di kantong-kantong rawan kedua etnik. Dan, akhirnya, situasi pun normal.
Menurut, Atok, kerusuhan antaretnik ini, walau berasal dari luka lama, bisa cepat terkendali karena masyarakat sudah muak dengan segala tindakan anarkis, sehingga mereka cepat menyadarinya. Namun, walau sudah terkendali, kondisi ini masih terus diawasi aparat.
“Kedua belah pihak harus menyadari bahwa konflik itu tidak menguntungkan siapa pun,” kata Kapolda Atok.
Sosiolog Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alkadrie, M.Sc, melihat cepatnya kerusuhan ini mereda karena kesadaran masyarakat Pontianak sangat tinggi untuk meminimalkan kerusuhan. Masyarakat, pengamatan Syarif, sudah belajar dari pengalaman pahit selama ini: rusuh Madura-Dayak 9 kali, Madura-Melayu 2 kali. Melihat pengalaman pahit itu, tak dapat dipungkiri ada dendam seperti api dalam sekam.
“Untuk itu, para tokoh perlu instrospeksi, jangan memaksa kehendak, dan jangan ada pihak yang merasa dirinya paling jago,” ungkap Syarif kepada GAMMA.
Syarif mendukung sikap tegas aparat, terutama kapolda yang cepat minta bantuan pasukan ke Kapolri. Namun, tindakan tegas itu harus melalui prosedur. Pertama persuasive, lalu tembak ke udara. Kalau massa tidak mau bubar, tembak ke tengah. Lalu, kalau masih bertahan, baru ditembak kakinya.
Lalu, apa solusi agar mereka hidup rukun?
“Saya belum ada jawaban yang pasti,” kata Syarif.
Tapi, Syarif punya penelitian bersama 4 profesor UI atas permintaan Kapolri Rusmanhadi. Hasilnya sudah diserhkan ke Kapolri dan Pemda Kalbar. Problemnya? Rupanya pemda tak menyikapi penelitian itu.
“Saya pikir pemda kurang memahami hasil penelitian itu,” kata Syarif dengan nada kesal.
Padahal, dalam penelitian jelas disebutkan bahwa Dayak dan Melayu sangat menghargai orang lain. Keduanya menghargai istilah mali atau tabu. Juga ada sistem anak angkat.
“Maka, pendatang harus menghargai budaya itu. Bak kata pepatah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” katanya.
Tapi, orang Madura lebih tunduk kepada kiainya. Sayangnya, para kiai itu dalam mengajar lebih menekankan hablum minallah ketimbang hablum minannas—lebih lebih mementingkan hubungan dengan Tuhan ketimbang hubungan dengan sesama manusia.
“Harusnya keduanya berimbang,” kata Syarif.
Tapi, pengamat social Laode Ida menilai, luka konflik yang akut—sampai 12 kali—itu sudah sulit diobati.
“Dendam diantara mereka sudah sangat sulit dihapus,” kata Laode Ida kepada GAMMA.
Apalagi, dulu aparat ada yang terlibat dan memihak kepada etnik setempat.
Sementara itu, pertemuan Kekerabatan Masyarakat Pontianak di Hotel Mahkota, Minggu 29 Oktober, menuntut Kapolda Kalbar segera menangkap oknum provokator yang hingga kini masih berkeliaran.
“Polisi sudah tahu siapa oknum itu,” kata H. Mawardi Rivai, Datuk Petinggi Pemangku Adat Budaya Melayu, kepada GAMMA.
Menurut Mawardi Rivai, tokoh Melayu dan Madura sudah sepakat melakukan aksi penghakiman massa terhadap oknum provokator itu jika dalam sepekan ini aparat belum menangkapnya.
“Ada kesan figure oknum itu kebal hukum. Maka, aparat pilih mana: membiarkan peradilan rakyat atau menangkap oknum itu,” kata Mawardi.
Sayang, Mawardi enggan menyebut nama oknum tersebut.

○Terbit di Majalah GAMMA No. 37 Tahun II 1-7 November 2000 hal 26.

Baca Selengkapnya..

Aksi Kampus Mirip FBI

Oleh Tanto Yakobus

Seorang pegawai Dinas Kehutanan Kalimantan Barat berbisik kepada Satrio. Mahasiswa Fisipol Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, ini dikenal sebagai Koordinator Front Mahasiswa Indonesia Kelimantan Barat (FMIK).
“Ada penyelundupan rutin berupa kayu olahan ke Singapura lewat kapal KM Clover malam ini,” kata si pembisik.

Tak syak, Satrio dan 20-an mahasiswa pun memasang strategi.
Diam-diam anak-anak FMIK itu melindap masuk kea real pelabuhan Dwikora Pontianak di Jalan Pak Kasih. Dari sela-sela peti kemas, mereka mengamati kegiatan bongkar muat peti kemas ke atas kapal yang berlangsung di bawah remang-remang lampu malam.
“Aneh, bongkar muatan kok lampunya remang-remang,” kata Satrio, belakangan, kepada GAMMA.
Mereka lalu mengepung kapal dan memerintahkan para buruh berhenti bekerja. Dadakan ini membuat tiga pemilik barang—seoirang diantaranya perempuan—yang semula memandori kegiatan bongkar muat menjadi panic, lalu buru-buru bubar. Satrio dan kawan-kawan menggeledah kapal. Ternyata benar, puluhan peti kemas berisi kayu olahan.
Ketika “barang haram” itu disampaikan ke arapat kepolisian yang bertugas di pelabuhan, polisi malah mengaku tak tahu menahu siapa pemilik barang.
Akhirnya Satrio memerintahkan menduduki kapal tersebut sampai pemilik barang dating. Ratusan rekan mereka yang menunggu di kampus Untan dikontak untuk bergabung. Sedangkan, buruh kapal disuruh bubar.
Aksi limaratusan mahasiswa FMIK, Senin pekan lalu itu, mirip gaya FBI dalam film Hollywood, dan membuat mata pejabat di Pontianak terbelalak. Bayangkan, mereka mampu membongkar sindikat penyelundupan kayu olahan, yang terkesan dibiarkan oleh para pejabat di Pontianak. Terutama, pejabat di Dinas Kehutanan, Dinas Perhubungan, dan Kanwil Bea dan Cukai Pontianak.
Borok busuk yang sudah rahasia umum itu pun menebar baunya.
Namun, esok paginya, sejumlah preman dari Pasar Tengah Pontianak secara mendadak menyerang dan memukuli para mahasiswa sampai banyak yang luka memar.
Anehnya, aksi preman itu seolah dibiarkan saja oleh aparat kepolisian yang bertugas di pelabuhan tersebut.
“Kami terpaksa mundur dan melaporkannya kepada pimpinan DPRD Kalimantan Barat,” kata Satrio.
Ia mensinyalir preman itu disuruh Gandi, Direktur Utama PT Sangkar Mas Pontianak, pemilik barang tersebut.
Dari kantor DPRD, ratusan mahasiswa FMIK itu kembali ke pelabuhan. Karena para preman tadi sudah bubar, mereka kembali menduduki kapal KM Clover.
Menjelang senja, sejumlah pegawai BC, Dinas Kehutanan, Pelindo II, dan Syahbandar, merayu mahasiswa seraya mengatakan kayu olahan itu lengkap dokumennya. Segepok dokumen disodorkan. Namun setelah dokumen itu diperiksa, isinya ternyata meragukan.
“Masa bisa keluar SPEB (surat pengangkutan ekspor barang) tapi tidak dilengkapi SAKO (surat angkut kayu olahan)? Tinta di dokumen yang dibikin buru-buru itu pun masih basah,” kata Satrio.
Mungkin, karena permohonan “lembut” tak mempan, akhirnya setelah seharian menduduki KM Clover, malamnya sejumlah preman kembali dikerahkan secara kasar mengusir para mahasiswa tersebut. Tak ayal para mahasiswa itu pontang panting mundur dan bertahan di kampus mereka.
“Kami memilih mengalah, karena ulah preman itu atas suruhan orang,” kata Satrio.
Lagi-lagi, aksi brutal preman itu dibiarkan saja oleh aparat kepolisian. Parahnya, walau sudah ketahuan bahwa kapal KM Clover itu bermasalah, tak ada tindakan apa pun yang dilakukan aparat terhadap kapal tersebut. Malah, kapal tersebut dengan tenang sandar di pelabuhan Pontianak dan melakukan kegiatan bongkar muat.
Mahasiswa tak hilang akal. Mereka memasang taktik baru: menculik pejabat yang diduga terlibat konspirasi dalam penyelundupan tersebut. Targetnya, dari “nyanyian” pejabat yang mereka culik, akan ketahuan peta konspirasi penyelundupan.
Scenario pun dibuat. Surat ketua DPRD Kalimantan Barat, H. Gusti Syamsumin, berisi undangan dialog Rabu pagi di kantor DPRD, menyusul adanya temuan FMIK disebarkan ke sejumlah pejabat.
Esok paginya, dua utusan Dinas Kehutanan, Ir. Soenarno dan Hapsono Raharjo, lalu Administratur Pelabuhan Pontianak, Salehudin, Kepala Kantor Syahbandar, Zainuddin, dan petugas keamanan pelabuhan laut dan penyeberangan (KPLP) Pontianak, A. Wahid tiba di kantor DPRD.
Usai menghadap pimpinan DPRD, sekitar pukul 10.00 WIB, ratusan mahasiswa FMIK yang sudah menunggu langsung membawa para pejabat itu sejauh 700 meter ke kampus mereka. Selanjutnya, di ruangan berukuran 14 meter persegi di lantai II Rektorat Untan, kelima pejabat itu mereka sekap dan diinterogasi.
Gawatnya, kendati kelima pejabat berada dalam “tangan” FMIK, eh kapal KM Clover justru berangkat berlayar menuju Singapura. Kabar ini membuat front mahasiswa dari berbagai universitas negeri dan swasta di Pontianak menjadi marah.
Menggunakan bus Untan, sekitar 50-an mahasiswa dipimpin coordinator lapangan FMIK, Budi Satria, berangkat menjemput Kepala BC Pontianak, Hengki J. Tamtelahitu dari kantornya di Jalan Pak Kasih Pontianak.
Tiba di kantor Hengki, mereka langsung ke ruangan Hengki di lantai II. Saat bersamaan, Hengki yang tak mereka kenal wajahnya juga turun ke lantai I. Untunglah, seorang pegawai disitu membisiki bahwa, “itulah Hengki yang mereka cari”.
Tak pelak, Hengki langsung diboyong puluhan mahasiswa itu ke dalam bus. Selanjutnya Hengki dijebloskan ke ruangan sekapan bergabung dengan lima pejabat sebelumnya.
Berbekal keenam pejabat yang disandera itu, FMIK lalu menuntut kapal KM Clover supaya ditarik kembali sandar di pelabuhan. Situasi pun genting. Keluarga para sandera cuma dibolehkan berkomunikasi lewat handphone pun cemas.
Ancaman itu ternyata manjur. Kapolda Kalimantan Barat, Brigjen Atok Rismanto memerintahkan Komandan Satuan Polisi Airud, Letkol John Hendri menarik kembali KM Clover.
Singkat cerita, berkat kontak radio kapl KM Clover yang sudah enam jam berlayar, berada 10 mil dari muara Jungkat, dengan haluan sudah mengarah ke Singapura, berhasil dihentikan dan ditarik pulang. Lalu, malam pukul 22.00 WIB, KM Clover disandarkan di dermaga pelabuhan pintu 04.
Di ruang Rektorat Untan, mahasiswa bersorak-sorai mendengar KM Clover kembali sandar di pelabuhan. Sekitar pukul 22.00—setelah selama sembilan jam disandera—para pejabat yang disekap itu diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.
Ada yang dijemput keluarganya, ada yang pulang sendiri. “Tak ada sandera yang kececer,” kata Kadispen Polda Kalbar, Mayor Suhadi SW, kepada GAMMA.
Mahasiswa kembali berunjukrasa pada Jumat pekan lalu. Nah, mereka menuntut 92 peti kemas muatan KM Clover agar diperiksa. Hasilnya, 42 peti kemas berisi kayu olahan—dan ternyata hanya tujuh peti kemas yang memiliki SAKO.
Peti kemas tak berdokumen diperkirakan bernilai Rp 12 miliar, tercatat milik CV Brata, yang ternyata milik yayasan Polri. Kemudian juga milik PT Sangkar Mas, PT Prestop Bumi Raya, CV Sinar Mulia, CV Indo Project, CV Serba Indah Export, PT Citra Keluarga Corporations, PT Voruna Tirta Prakarsa, dan PT Maju Karya Kita.
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat memeriksa Hengki pula pada Sabtu pekan silam. Tuduhannya pemalsuan dokumen ekspor, sebab jenis barang yang tertera dalam dokumen PEB (pengiriman ekspor barang) yang diterbitkan BC berbeda dengan barang yang ada dalam peti kemas. Jaksa juga memeriksa Kepala Kandor Syahbandar Zainuddin, Kepala Cabang PT Samudra Indonesia Pontianak, Arda Chandra selaku agen KM Clover.
“Kami hanya menyiapkan kapal dan container saja. Yang paling berhak memeriksa dan tahu apa isinya adalah bea cukai,” kata Arda.
Tapi, menurut Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, Untung Udji Santoso, SH, fokus penyelidikan masih sebatas pengumpulan data sejauhmana ada unsure KKN-nya. “Setelah itu baru ada tersangkanya,” kata Untung.
Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, bidang perhubungan dan pembangunan, Drs. Massardy Kaphat, selama ini kasus serupa kerap terjadi tapi tak jelas juntrungannya.
Ia meminta jaksa jangan mau disuap. Ketua PDI di Pontianak ini juga meminta agar Gandi yang diduga otak penyelundupan diperiksa.
“Kalau perlu, izin PT Sangkar Mas miliknya dicabut saja, karena aktivitasnya merugikan masyarakat,” kata Kaphat kepada GAMMA.
Gandi enggan berkomentar panjang. “Saya pusing, itu bukan urusan saya, tolong jangan ganggu saya,” katanya, seperti dikutip Equator, sebuah media lokal di Pontianak.
Polda membantah keterlibatan Polri. “PT Brata tak tahu menahu soal pengiriman kayu tersebut,” kata Suhadi.
Bila tak ada “main mata” antara petugas dan mereka yang terlibat, yang terbukti melanggar pasal 102 UU nomor 10 Tahun 1995 bisa diancam dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Jangan main tangkap-lepas, seperti selama ini, dong.

○Terbit di Majalah GAMMA nomor 12 Tahun II 10-16 Mei 2000, hal 34.

Baca Selengkapnya..

Terbelit Sarang Burung Walet

Oleh Tanto Yakobus

Nasib pengacara Djafar Oesman memang lagi apes. Tatkala sedang membesuk salah satu kliennya di Markas Kepolisian Resor Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sabtu pekan lalu, tiba-tiba dia dicokok polisi. Seraya menunjukkan surat perintah penangkapan yang diteken kepala polisi setempat, Letnan Kolonel Imam Supeno, pengacara yang sudah berusia 60 tahun ini langsung digelandang ke dalam tahanan.

Kesalahan yang dilakukan Djafar Oesman, kalaupun itu bisa dikategorikan sebagai kejahatan, memang masih sangat controversial. Dia ditahan, karena melaporkan kasus pelanggaran hukum yang dilakukan Letnan Satu Matheus, Kepala Polisi Sektor Putussibau.
Dalam surat laporan kepada Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat tertanggal 22 Januari 2000, Oesman memohon perlindungan hukum bagi kliennya dari tindakan Matheus yang telah berbuat di luar batas kewenangan.
Kasus ini berawal dari sebuah areal sarang burung wallet di Goa Sarai, Desa Semangut, Kecamatan Bunut Hulu, yang diwarisi Lokai dari orangtuanya.
Sesuai peraturan yang sudah disepakati, pada panen periode Desember 1999, goa yang dikelola oleh tujuh keluarga secara bergantian itu adalah jatah Lokai dan mantan suaminya, Lohap. Sayangnya, sebelum Lokai sempat meraup hasil, tiba-tiba muncul surat kuasa kepada Matheus untuk memanen sarang burung tersebut.
Dalam surat kuasa itu memang tidak ada tekanan Matheus sebagai si penerima kuasa. Yang lebih apes, begitu orang lain usai panen di lahan miliknya, tiba-tiba muncul surat perincian bahwa Lokai berutang kepada 18 orang. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, ratusan juta rupiah. Sebanyak 13 pucuk surat pengaduan lalu dimasukkan ke Polsek Putussibau.
Belakangan, diperoleh alas an Letnan Satu Matheus memanen sendiri adalah untuk memudahkan pengamanan, karena sarang burung wallet mudah sekali rusak. Disamping itu, Lokai juga diduga keras sedang menunggak utang.
“Jadi, ini jelas dalam sengketa, dan Lokai harus menyelesaikan dulu utangnya dengan pihak ketiga,” kata Matheus, seperti ditirukan sumber GAMMA.
Merasa tidak tahu asal muasal kasus utang piutang itu, apalagi Lokai pun belum memanen sarang burung wallet, atas saran keluarganya, janda ini lalu mengadukan ke pengacara.
Bagi Djafar Oesman, rupanya kasus ini dinilainya penuh dengan rekayasa. Karena menyangkut oknum polisi, maka surat pengaduan pun dilayangkan ke polda. Sayangnya, hal ini justru membawa malapetaka baginya.
Namun, menurut versi Polres Putussibau, alasan penangkapan Djafar Oesman, karena dia diduga keras telah melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan pencemaran nama baik polisi. Ini diatur dalam pasal 242 dan 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kendati begitu, Kepala Polda Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal Atok Rismanto, telah memerintahkan Kaditserse dan Irpolda untuk menindaklanjuti pengaduan Oesman.
Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Kalimantan Barat, Mayor Suhadi, SW., masalah ini sebenarnya adalah kasus perdata.
“Polisi turun tangan akibat jiwa Lokai terancam. Sebab, bisnis burung walet ini berbelit-belit, sehingga antarmereka yang menggelola saling mengancam,” katanya.
Sedangkan, mengenai pengacara Djafar Oesman, Mayor Suhadi mengatakan, tidak benar ditangkap polisi, tapi hanya dikonfirmasi untuk cek dan ricek data.
Menurut dia, pihaknya perlu meminta konfirmasi, karena adanya tuduhan polisi menjual sarang burung walet.
“Nah, di sini kita keberatan, dong. Siapa sih yang mau dituduh seperti itu, apalagi tertuduh kerjanya penegak hukum, kan udah nggak benar.”
Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kalimantan Barat, Tamsil Sjoekoer, sendiri menyatakan penangkapan itu tidak sah menurut hokum. Dia menilai polisi terlalu jauh mengurus masalah utang piutang yang sebenarnya bukan tugas penyidik.
Untuk penjualan suatu barang bukti, juga harus melalui proses penyitaan. Jika dikhawatirkan rusak, boleh dijual berdasarkan ijin pengadilan. Dan jika mau dilelang harus melalui kantor lelang.
“Jadi, tindakan oknum seperti itulah yang dilaporkan Djafar Oesman ke kapolda,” kata Tamsil.
Itu makanya, Senin lalu, pengurus Ikadin setempat membesuk rekannya di Kapuas Hulu.
“Apa pun alasannya, Djafar Oesman harus dilepas demi hukum, karena dia ditangkap dalam upaya membantu kepentingan kliennya. Jika penasihat hukum tidak bisa melayangkan surat seperti itu kepada kapolda, lalu bagaimana lagi cara penyelesaiannya,” kata Tamsil.
Setelah mendapatkan data yang lengkap, akan dibentuk tim untuk membela Djafar Oesman. Tim akan mendampinginya mempraperadilankan polisi, dan sekaligus mendaftarkan laporannya ke pengadilan.

○Terbit di Majalah GAMMA 23-29 Februari 2000 hal 59

Baca Selengkapnya..

Bahan Nuklir dari Sintang

Oleh Tanto Yakobus

Dua pertanyaan besar kini menggelantung di Kalimantan Barat (Kalbar): akan kaya raya atau malah tertimpa malapetaka? Pertanyaan itu mengemuka dan menghantui masyarakat Kalbar menyusul berita hendak dieksplorasinya tambang uranium di Desa Karangankora, Kecamatan Ella Hilir, Kabupaten Sintang. Uranium, bahan baku nuklir itu, merupakan asset strategis dan sumber energi masa depan. Tapi, kalau ceroboh, maut siap mengintai.

Sayangnya, justru kekhawatiran akan munculnya bencana besar yang sedang menyergap warga Kalbar. Pasalnya, kegiatan pengeboran yang sudah melampaui tahap eksplorasi itu berlangsung sangat tertutup.
Penggalian deposit sejak 1963 yang dimotori Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) itu praktis tidak terendus oleh instansi setempat, apalagi oleh warga. Maklum, lokasinya agak terpencil dan terisolir. Bahkan, ada radius terlarang yang kabarnya dijaga pasukan Kopassus.
Aktivitas ini baru terbuka setelah Advokasi Tambang Adat (ATA), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kalbar, bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), melansir tambang di atas lahan seluas 20 kilometer persegi itu.
Dua LSM ini mendesak Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) agar bisa blak-blakan membeberkan kegiatan tersebut kepada masyarakat Kalbar. Transparansi dinilai penting, agar antisipasi dini bisa disiapkan, mengingat pengetahuan warga sekitar, juga kalangan akademisi, terhadap dampak tambang uranium sangat minim.
Menurut Janting, Direktur ATA, setelah 6 tahun melakukan penggalian rintisan, Batan menindaklanjuti dengan melakukan kontrak kerja sama dengan French Atomic Energy (CEA), Prancis, pada 3 Agustus 1969.
Kolaborasi CEA-Batan akhirnya menemukan cebakan uranium di Karangankora tadi. Kerja sama berakhir pada 1979, dan Batan meneruskan pengalian dengan ongkos dari pemerintah.
Penggalian dimulai dengan membangun terowongan tembus dan silang sepanjang 760 meter. Dengan tingkat ketelitian terukur, dilakukan pengeboran hingga kedalaman 24.800 meter.
Setelah dilakukan penelitian komprehensif hasilnya, di daerah tersebut ditemukan cadangan uranium ditaksir mencapai lebih 10.000 ton. Anehnya, Pemda Kalbar, terutama Kanwil Deptamben, seolah ditelikung, sehingga tidak banyak tahu eksplorasi ini.
Menurut Nanang Suryana, Kepala Kanwil Deptamben Kalbar, ia sebetulnya tahu proses eksplorasi itu.
“Tapi, mekanisme kerja Batan sulit dimengerti,” kata Nanang.
Yang diketahui Nanang, Batan belum memberi laporan rinci ke Deptamben Jakarta. Padahal, mestinya izin berakhir pada 22 April 1995, setelah tiga tahun dieksplorasi.
Kabarnya, Batan memperpanjang izin. Tetapi, Mentamben belum menyetujui, karena laporan hasil eksplorasi belum rampung. Seandainya sudah dikeluarkan, kata Nanang, pasti ia mendapatkan tembusan.
Atas dasar itu, Nanang yakin tidak akan ada eksploitasi dalam waktu dekat. Kalau hendak dieksploitasi, Batan tidak bisa melakukannya sendiri, melainkan harus ditunjuk perusahaan melalui tender. Perusahaan pemenang tender tidak bisa langsung nyelonong, tanpa berunding secara teknis dengan Pemda Kalbar, menyangkut studi kelayakan, analisis dampak lingkungan, hingga materi bagi hasil.
Ketertutupan aktivitas eksplorasi itulah yang membuat ATA mencak-mencak. Dari pengalaman Negara lain, kata Janting, pertambangan uranium sangat rentan menyebarkan radiasi, yang setiap saat mengintai keselamatan warga sekitar. Karena itu, ATA menuntut sosialisasi mendalam sebelum proses eksploitasi dilakukan.
“Kalau tidak, kami bersama LSM lain akan mendemo Mentamben,” ancam Janting.
Ia tidak ingin kasus tambang emas di Timika dan Freeport terulang di Kalbar. Pihak DPRD Kalbar juga berencana menemui Mentamben Susilo Bambang Yudhoyono.
Di dunia, dikenal dua jenis uranium, yakni 235 dan 238. Uranium 235 usianya lebih tua dan kandungannya murni, sehingga bisa digunakan membuat bom atom dahsyat, seperti yang dipakai untuk mengebom kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada Perang Dunia II. Sedangkan uranium 238 usianya lebih muda dan kadar pakainya sekitar 99%. Uranium ini bisa digunakan reactor pembangkit listrik.
Menurut Muhammad Bakau Darimin, ahli fisika terapan, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak, pertambangan uranium sebetulnya tidak berbahaya, sehingga masyarakat perlu arif menyikapinya. Karena, bila Karangankora mengandung uranium 235, itu pasti akan mengundang sorotan dunia. Masyarakat internasional sangat berkepentingan agar Indonesia tidak membangun reaktor nuklir.
“Kehadiran reaktor nuklir menyangkut harga diri bangsa, karena bisa dipakai untuk sarana tawar menawar dalam kancah politik,” kata Bakau.
Harga diri bangsa memang perlu, tapi nasib rakyat lokal jauh lebih penting.

○Terbit di Majalah GAMMA No. 50 Tahun II 9-15 Februari 2000 hal 54.

Baca Selengkapnya..

Penusukan Beraroma Konspirasi

Oleh Tanto Yakobus

Diiringi tangisan ribuan pelayat, jenazah Dokter Mian Libertus Simanjuntak diterbangkan ke Medan dari Bandara Supadio, Pontianak, Rabu siang pekan lalu. Selanjutnya, di kota itulah lelaku kelahiran Balige, Tapanuli Utara 1950 itu dimakamkan.

Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Aspar Aswin, para bupati, tokoh agama dan tokoh masyarakat di Bumi Khatulistiwa itu silih berganti memberikan penghormatan terakhir.
“Atas nama pemerintah daerah, kami menyatakan dukacita sedalam-dalamnya,” kata Gubernur Aswin.
Malamnya, pengurus Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kalbar menghadap Kapolda Kalbar Brigjen Atok Rismanto di kediamannya di Jalan A. Yani, Pontianak. Mereka mendesak aparat kepolisian serius menangani kasus pembunuhan dokter spesialis penyakit dalam (internis) ini. Sebab, selain almarhum tokoh agama dan pegawai Departeman Kesehatan dengan pangkat terakhir Dokter Pembina Madya IV/a, ia adalah juga Ketua Umum PIKI Kalbar.
Peristiwa tragis yang menewaskan ayah empat anak itu terjadi di halaman parkir Apotek Kimia Farma di Jalan Tanjungpura, Pontianak, Senin 24 Januari lalu.
Usai merayakan ulang tahunnya yang ke-50 dengan keluarga dan kerabat dekatnya, sekitar pukul 19.30 WIB, dokter spesialis penyakit dalam ini—bersama dua anak angkatnya, Yunus (sopir) dan Efendi—tiba di apotek tersebut untuk buka praktik. Yunus turun lebih dulu, dan langsung membawa alat-alat praktik menuju ruang praktik di dalam apotek.
Setelah agak lama menunggu majikannya yang tak kunjung menyusul, Yunus pun keluar. Dari jarak 9 meter, Yunus terkejut melihat Mian menutup perut bagian bawah dengan sapu tangan, lalu minta diantar ke rumah sakit Antonius.
Menurut Yunus, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, ia hanya melihat Mian berdoa. Tiba di rumah sakit, tim dokter langsung melarikan Mian ke ruang bedah untuk dioperasi. Lalu, darah O untuk keperlu operasi, dalam waktu singkat terkumpul 13 liter dari 42 donor spontan para dokter, perawat, dan masyarakat.
Operasi berlangsung 6 jam, mulai pukul 21.00 hingga pukul 02.00 dini hari. Dalam keadaan koma, Mian dipindahkan ke ruang ICU. Namun, pendarahan tak kunjung berhenti. Sebab, banyak pembuluh darah (arteri dan vena) terluka dan putus. Luka tusukan itu pun ternyata menembus pinggang (ginjal) sampai liver (hati).
Akhirnya, Selasa 25 Januari, pukul 10.50 WIB, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 1976 ini mengembuskan napas terakhir.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Pontianak mengutuk tindakan biadab tersebut. Sebagai sikap solidaritas sesama dokter, Ketua IDI Pontianak, Dr. Suhatman Emha, didampingi sejumlah pengurus dan anggota IDI, sepakat untuk mogok praktik selama dua hari.
“Kami juga menuntut polisi segera menangkap pelakunya. Ini penting untuk memberi rasa aman kami para dokter yang hendak berpraktik,” katanya.
Sejauh ini, belum jelas apa motif penusukan itu. Sebab, sampai Senin lalu, polisi belum berhasil menangkap pelaku penusukan. Empat saksi telah dimintai keterangan, yakni dua petugas parkir di apotek tersebut dan dua anak angkat Mian. Namun, polisi belum mendapat gambaran.
“Pihak kepolisisan terrus berusaha keras untuk menangkap pelakunya. Mohon masyarakat bersabar. Ini peristiwa kriminal biasa,” kata Kepala Dinas Penerangan Polda Kalbar, Mayor Suhadi, SW kepada GAMMA.
Tapi, menurut Ketua Partai Bhineka Tunggal Ika Kalbar, Dr. Hubertus Tekwaan Oevang Oeray, penusukan itu berbau konspirasi politik. Alasannya, selama ini dr. Mian, selaku Ketua PIKI Kalbar, getol memperjuangkan—baik langsung atau pun tidak langsung—orang Dayak untuk duduk di posisi strategis pemerintahan.
Hasilnya, tiga (dari 7 bupati) orang PIKI kini menjadi bupati di Kalbar, yakni Bupati Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, dan Mempawah. Dan sebulan terakhir, tatkala PIKI serius menggolkan kembali “jagonya” untuk meraih jabatan Bupati Sintang, berbagai teror melalui telepon ke rumah Mian, juga sopirnya, muncul. Bahkan, teror itu juga menghantui sejumlah pengurus dan penasehat PIKI Kalbar. Apakah ini penyebabnya?
Sulit menang, apalagi pelakunya belum tertangkap. Untuk itulah, Gubernur Aswin meminta masyarakat, siapapun, agar tidak melakukan analisis atau kesimpulan yang tak sesuai dengan kenyataan.
“Dikhawatirkan, kesimpulan atau analisis itu bisa menimbulkan efek lain dan sangat luas. Percayakan saja kepada polisi untuk menangkapnya,” katanya kepada GAMMA.

○Terbit di Majalah GAMMA No. 49 Tahun I 2-8 Februari 2000 hal 42.

Baca Selengkapnya..

Bom Waktu di Pontianak

Oleh Tanto Yakobus

Kota Pontianak yang dibelah Sungai Kapuas kembali tenang. Pencegatan di wilayah Wajok, belasan kilometer di luar kota yang dilakukan ratusan warga Madura—pengungsi asal Sambas—terhadap warga Melayu Sambas yang mudik Lebaran, dan menelan korban enam luka ringan dan empat luka parah, tinggal kenangan.

Dialog hati ke hati para tokoh masyarakat, agama, dan adapt dari berbagai etnis (Melayu, Dayak, Madura, Tionghoa) pada 10 Januari 2000 yang diprakarsai Gubernur Kalimantan Barat, Aspar Aswin, ternyata ampuh meredam bentrokan missal.
Dalam dialog itu, para pengungsi (sekitar 15.000 orang) korban kerusuhan Sambas yang sudah setahun ditampung di Pontianak berterus terang. Aksi pencegatan itu dilakukan tak lain karena kesal akibat dua bulan ini mereka ditelantarkan.
Misalnya, tak lagi mendapat jatah dari pemerintah daerah. Nasib mereka selanjutnya pun tak pasti, apakah direlokasi atau kembali ke daerah asal di Sambas.
Mendengar inilah Aspar luluh hatinya. Ia meminta 30 warga Madura yang ditangkap karena membawa senjata tajam sewaktu pencegatan, dilepaskan aparat.
Namun, sikap lunak itu dikecam M Akil Mochtar SH. Menurut Anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar ini, sikap kompromistis itu merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum, mengingat situasi social di sana sangat rentan terhadap konflik antaretnik. Sebab, persoalan sepele antarpribadi kerap merembet menjadi berbau SARA.
“Jadi, penegakan supremasi hukum tak bisa ditawar-tawar,” kata Akil Mochtar kepada GAMMA.
Pengamat politik dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. AB Tangdililing, MA, pun melihat penanganan kasus antaretnik oleh aparat keamanan cenderung membingungkan.
Sikap kompromistis itu bisa menimbulkan rasa curiga di segala lapisan masyarakat. Akibatnya, berbagai persoalan yang ada tetap merupakan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meletus.
“Kalau meledak, lebih parah dari kasus Ambon,” kata Tangdililing kepada GAMMA.
Dalam amatan Tangdililing, selain “bom waktu” konflik antaretnik Melayu-Madura dan konflik Dayak-Madura yang hingga kini tak kunjung tuntas, tak kalah hebatnya jika meledak konflik antaretnik penduduk asli, yakni Dayak-Melayu.
Akhir-akhir ini, hubungan Dayak-Melayu seperti api dalam sekam. Dayak diidentikkan dengan Kristen, sedangkan Melayu dengan Islam. Entah siapa yang meniupkan isu itu.
Padahal, hubungan yang kurang mesra antara Dayak dan Melayu itu lebih karena persoalan politik strategis di pemerintahan. Sejak tumbangnya YC. Oevaang Oeray, Gubernur pertama Kalimantan Barat dari suku Dayak pada 1967, mereka tak lagi eksis di pemerintahan. Sejak itu—sampai tumbangnya Orde Baru—kehidupan dan peran politik strategis di tubuh pemerintahan dipegang Melayu.
“Pejabat, baik provinsi dan kabupaten, dari asisten, kepala bagian sampai ke bawahnya, tak ada dari suku Dayak,” kata sebuah sumber.
Maka, ketika angin reformasi berembus, orang Dayak dengan berbagai cara berhasil menguasai kembali strata kehidupan politis.
Misalnya, dari tujuh bupati di sana, lima diantaranya berasal dari suku Dayak. Juga beberapa jabatan strategis di provinsi dan kabupaten kini sudah banyak diduduki orang Dayak. Diam-diam, hal ini membuat orang Melayu merasa tersisih, dan hubungan kedua etnik itu pun menjadi seperti api dalam sekam.
Bentrokan pertama Dayak dengan Melayu terjadi tatkala berlangsung pemilihan anggota MPR Utusan Daerah di DPRD awal Oktober lalu. Ketika itu, massa Dayak tidak puas dengan hasil pemilihan. Mereka lantas melakukan perusakan gedung DPRD. Aksi ini mendapat perlawanan dari Melayu. Sejak itu, bentrok-bentrok kecil Dayak-Melayu sering terjadi.
Etnik Melayu pun membentuk Lembaga Adat Budaya Melayu (Lembayu). Lalu, diangkat pula para panglima perang dan pendekar Melayu, yang bertugas melindungi warga Melayu. Tapi, tuduhan ini dibantah oleh Syarif Toto Alkadrie.
“Lembayu tidak berpolitik, hanya mempertahankan dan menggali adat istiadat dan budaya Melayu,” kata ketua Lembayu itu kepada GAMMA.
Meliaht tajamnya konflik Dayak-Melayu itu, Tangdililing mengimbau berbagai etnik yang ada di sana agar berpikir jauh, dan dapat hidup bersama dalam suasana sejuk.
“Inilah harapan saya,” ujar Tangdiling.

○Terbit di Majalah GAMMA No. 47 Tahun I. 19-25 Januari 2000. hal 37.

Baca Selengkapnya..