BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Wednesday, August 29, 2007

Betang Panjang di Kota Pontianak



Betang Panjang atau Rumah Panjang atau disebut juga Rumah Betang adalah simbol keberadaan suku bangsa Dayak di pulau Borneo.
Di era globalisasi sekarang ini, rumah betang harus tetap terjaga kelestariannya. Sebab apabila rumah betang hilang atau punah, maka punah jugalah keberadaan suku bangsa Dayak itu sendiri. Sebab rumah betang adalah simbol kebudayaan Dayak. Disanalah Dayak tumbuh dan berkembang, hingga mereka menguasai teknologi seperti sekarang ini.


Ini adalah Betang Panjang yang terletak di Jalan Sutoyo Pontianak Selatan. Bila Anda ingin melihat langsung Betang Panjang, silakan berkunjung ke sana, terbuka untuk umum dan tidak dipunggut biaya alias gratis.

By Tanto Yakobus/Borneo Tribune
Foto By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Monday, August 20, 2007

Betang Panjang


By Tanto Yakobus

Betang panjang atau rumah betang suku Dayak Kalimantan diambang kepunahan. Kini rumah yang dikenal juga sebagai rumah adat itu sudah langka dan sulit ditemukan di perkempangungan Dayak.
Di Kalimantan Barat (Borneo Barat) betang panjang hanya bisa ditemui di sebagian kecil kampung lagi. Dari 13 kabupaten/kota se-Kalbar, hanya bebarapa kabupaten yang masih ada betangnya.


Bagi Anda yang kebetulan berkunjung ke Kabupaten Kapuas Hulu, agak mudah mencar betang panjang. Tapi bila Anda berkunjung ke kabupaten lain seperti Sanggau, Sintang, Melawi, Ketapang dan Sekadau hampir-hampir tidak ditemukan lagi betang panjang.
Zaman pemerintahan orde baru betang panjang banyak digusur alias dibongkar oleh pemerintah dengan alasan tidak memenuhi standar kesehatan bagi penghuninya.
Sebab selain pengap udara juga rentan kebakaran. Tapi ironinya di kota-kota justrus dibangun rumah petak atau ruko yang merupakan modifikasi dari betang panjang itu sendiri. Adilkah?
Setelah langka sekarang ini, pemerintah maupun masyarakat adat baru berlomba-lomba ingin mendirikan kembali betang panjang tersebut. Sebab generasi sekarang hanya bisa menyaksikan miniatur betang panjang yang dipajang di lokasi pameran atau kisah dari para orangtua mereka saja.
"Mengusur betang panjang sama saja dengan mencerabut akar budaya Dayak itu sendiri".

Foto: Borneo Tribune/Antara

Baca Selengkapnya..

"Banjir" Jalan Santai OSO di Sanggau


By Tanto Yakobus

OSO benar-benar magnet massa. Jalan santai OSO buktinya. Ribuan massa tumpah ruah di lapangan sepakbola Rawa Bhakti Sanggau, Minggu (19/8).
Sejak pagi sudah tampak berduyun-duyun massa yang berasal dari berbagai kecamatan se-Kabupaten Sanggau untuk mengikuti jalan santai OSO yang memperebutkan hadiah utama berupa dua buah sepeda motor serta beberapa hadiah hiburan lainnya.


Tepat pukul 07.00 WIB, Henri Usman, Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Kalimantan Barat membuka jalan santai yang disaksikan Oeman Sapta Odang (OSO), Ny Oesman Sapta, jajaran pengurus DPD Partai Demokrat, Tim Oeman Sapta Sukses (TOSS) dan tampak pula Koalisi MAS (Masyarakat Adil Sejahtera) serta ribuan peserta.
Jalan santai yang mengambil rute keliling jalan utama Kota Sanggau tersebut berakhir sekitar pukul 11.00. Massa lalu diarahkan ke lapangan sepakbola Rawa Bhakti menyaksikan pembagian hadiah dari sang pengagas, OSO.
Sebelum acara puncak, ribuan massa diajak bergoyang bersama artis dangdut ibukota. Peserta terhibur.
Menurut sumber di TOSS, jalan santai OSO yang telah dilaksanakan di Kota Pontianak, Sambas, Mempawah dan Sanggau selalu diserbu massa. “Bahkan di Kota Pontianak jalan santai OSO sampai digelar ulang.”
Memang kegiatan jalan santai OSO di Sanggau ini agak istimewa, selain dihadiri oleh keluarga besar, juga dihadiri kader dan simpatisan Partai Demokrat. Mencolok dengan berkibarnya bendera partai berlambang bintang mercy di sepanjang rute jalan santai OSO di Kota Sanggau.
Bahkan ada beberapa massa mengibarkan bendera partai yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu sambil bergoyang di lapangan mengikuti irama musik dangdut.
Setelah usai, rombongan OSO dan DPD Partai Demokrat dijamu makan siang oleh Wakil Bupati Sanggau, Setiman H Sudin. □

Versi cetak muat di Borneo Tribune, tanggal 20 Agustus 2007
Foto Lukas B Wijanarko

Baca Selengkapnya..

Amoy Singkawang

Merry Tan alias Siu Can, asal Singkawang, Kalimantan Barat. Kini buka usaha warnet dan menetap di Medan.


Saat di Pantai


Saat di taman


Saat di Borobudur--Jagjakarta

Baca Selengkapnya..

Sunday, August 19, 2007

Warna Warni Agustusan









Beragam cara orang merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-62. Ada panjat pinang, tarik tambang, dan berbagai permainan rakyat lainnya. Termasuk para waria, mereka tak mau kalah dalam pesta kemerdekaan itu. Tapi ada pula yang bergulat dengan penderitaan di rumah sakit atau di emper-emper toko serta tempat pembuang akhir sampah. Dan tak sedikit pula yang menanggis merenungkan nasibnya yang masih terbelenggu kemiskinan. Merdeka baru milik sebagian orang saja.
By Tanto Yakobus
Foto Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Friday, August 17, 2007

Pegawai Bank Bikin Blog



Nah, sobat blogger. Gadis ini namanya Angelina Nini. Ia pegawai Bank Danamon di Pontianak. Kamis (16/8) malam ia bersama rekannya Heryanto seorang notaris beken di Pontianak bertandang ke Kantor Redaksi Borneo Tribune di Jalan Purnama Dalam No. 2 Pontianak Kota.
Nini--demikian panggilannya sudah lama mendengar cerita para blogger di harian Borneo Tribune dari Pak Heryanto. Bahkan jauh hari sebelumnya Nini sudah beberapa kali mengirim email ke Borneo Tribune, termasuk novel karyanya.
Diam-diam gadis jomblo ini punya bakat menulis novel. Rekan di redaksi menilai novel karya Nini tidak kalah dengan karya-karya novelis terkenal macam Dewi Lestari. Walau temanya remaja, tapi ceritanya sangat menyentuh dan mengena di kalangan remaja saat ini.
Nah, kesempatan bertandang tadi malam Nini memanfaatkan waktunya untuk membuat blog pribadinya. Saya yang kebetulan sedikit mengerti blog tidak keberatan membuat blog Nini dengan alamat http://angelina-nini.blogspot.com





by Tanto Yakobus

Baca Selengkapnya..

Thursday, August 16, 2007

Joget Balon



Memeriahkan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 DPD Partai Demokrat menggelar acara syukuran dan ramah tamah. Dalam acara tersebut selain diisi dengan berbagai sambutan dan hiburan dengan artis lokal, juga diadakan doorpreze. Tak ketinggalan joget dangdut.
Untuk joget dangdut saya dan Benni keluar sebagai juara dimana joget bergoyang dan balon tidak jatuh atau pecah.
Pasangan kami menyisihkan puluhan pasangan lainnya. Sedangkan untuk doorpreze, tersedia berbagai hadiah seperti kipas angin, termos, hand phone dan lain-lain.

by Tanto Yakobus

Baca Selengkapnya..

Buah Tengkawang






Ini sample buah tengkawang. Gambar atas buah tengkawang yang masih utuh sedangkan gambar bawah adalah buah tengkawang yang sudah melalui proses pengeringan (salai).
Umumnya tengkawang berbuah setahun sekali. Namun sangat tergantung cuaca atau musim, tapi kadang-kadang lima tahun sekali tengkawang berbuah.
Bila musim buah tengkawang tiba, masyarakat adat merasa terbantu dari segi ekonomi. Biasanya orang menganti perabot rumah, memperbaiki rumah atau kesempatan untuk menabung.

foto: www.google.com

Baca Selengkapnya..

Wednesday, August 15, 2007

Kebun Tengkawang



Nah inilah kebun Tengkawang, warisan dari kakekku. Tengkawang di kampungku di tanam secara tradisional dan diwariskan kepada anak cucu. Pohon ini bagi orang kampung selain batangnya dimanfaatkan untuk bahan baku rumah, buahnya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi sebagai bahan baku minyak goreng. Di Kalimantan Barat, ada perusahaan yang menampung buah Tengkawang yakni PT Vitamo yang menghasikan minyak gorang vitamo. Kini Tengkawang masuk kategori tanaman langkah dan di lindungi pemerintah.

Baca Selengkapnya..

Suasana Alam Kampungku



Orang kampungku menyebut tempat ini Gurung Mirong (Air terjun Mirong). Setiap ada kesempatan pulang ke kampung, aku selalu menyempatkan diri datang ke Gurung Mirong. Selain dekat rumah, juga enak untuk santai sambil mandi.
Mau coba? datang aja ke kampung ku sambil menikmati suasana alam nan asri.....

Baca Selengkapnya..

Tuesday, August 14, 2007

Aku Sudah Kembali

Halo sobat blogger. Aku sudah kembali kerja, setelah tiga hari meninggalkan tugas untuk melihat keadaan orang tuaku di kampung Landau Mentawa, Kecamatan Nanga Taman Kabupaten Sekadau, Borneo Barat.

Maaf aku belum sempat posting beberapa oleh-oleh yang aku jepret dari kampung. Banyak hal menarik dan lucu yang aku tangkap lewat kamera digital.

Ok, tunggu saja kalau ada waktu besok aku postingkan hasil jepretanku.

salam,
Tanto Yakobus

Baca Selengkapnya..

Thursday, August 9, 2007

Pulkam Lok….

Pagi tadi Kamis (9/8) aku menelpon boking bis ATS jurusan Pontianak-Nanga Mahap. Kring…kring…kring…kring…, “halo boking ATS selamat pagi”. Suara lembut wanita di ujung teleponku.
“Ada yang bisa dibantu?”
Ada bis ke Nanga Taman?
“Ada nomor empat pak, atas nama siapa ya? tanyanya”
Tanto, “oke, besok jam 06.30 WIB sudah di boking ya pak” baik, aku pun menutup gagang telepon.
Aku memesan tiket bis jurusan Pontianak-Nanga Mahap. Sebetulnya tujuanku bukanlah ke Nanga Mahap, aku ke Landau Mentawa Kecamatan Nanga Taman, dan bis yang aku tumpangi melintasi Kecamatan Nanga Taman.
Pulang kampung kali ini terasa istimewa, sebab sudah lama aku tidak pulang kampung (Pulkam), jadi rencananya, Jumat (10/8) pagi aku pulkam menjengguk kedua orang tua dan adikku di kampung.
Kangen juga dengan mereka, apalagi adik laki-lakiku sudah berkeluarga dan punya anak perempuan yang lagi lucu-lucunya.
Memang aku sendiri sudah punya dua anak, tapi punya ponakan juga asyik. Aku sudah membayangkan tiba di kampung, pasti dipanggil omba (itu panggilan paman tertua di kampungku).
Bagi bloggers, aku pamit pulkam dulu ya. Kalau mengunjungi blogku silakan tinggalkan pesan di buku tamu.
Salam,
--Tanto Yakobus--


Jalan ini namanya Jalan Rawak. Inilah satu-satunya jalan darat menuju ke kampungku. Jarak tempuhnya dari Kota Sekadau--ibukota Kabupaten Sekadau kurang lebih 48 kilometer baru sampai ke kampungku di Landau Mentawa Kecamatan Nanga Taman. Foto Aku ambil dari dalam bus jurusan Pontianak-Nanga Mahap yang aku tumpangi hari Jumat (10/8) pekan lalu.

Baca Selengkapnya..

Tuesday, August 7, 2007

Wartawan Dua Generasi



Inilah wajah wartawan dua generasi di Borneo Barat (West Borneo). Dari kiri ke kanan H Halim Ramli--mantan Pimred dan wartawan senior di Kalimantan Barat, H Selamat--Guru dan anggota yayasan penulis 66 Kalimantan Barat dan H Nur Iskandar--Pimred Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Edisi Perdana


By Tanto Yakobus

Inilah edisi perdana Borneo Tribune, suratkabar harian yang kami dirikan di Pontianak dan launching pada tanggal 19 Mei 2007. Koran ini sekmen pasarnya untuk menengah keatas dengan kupasan utama bidang pendidikan, politik, ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Kami juga memuaskan pembaca yang hobi bola dengan menyediakan berita seputar sepakbola dunia sebanyak dua halaman.
Bagi kalangan ekonomi menengah keatas, Borneo Tribune layak jadi referensi sebab pembacanya jelas orang berduit, terutama bagi para pemasang iklan maupun pelanggan.
Kami tidak akan memuat berita provokatif, prono aksi maupun pornografi. Termasuk berita yang berdarah-darah (Kriminalitas). Tapi kami juga tidak menampik berita seperti itu, namun kami kemas dalam bentuk humaniora (sisi kemanusiaannya).
Singkat kata, koran ini aman untuk koran keluarga. Sebab bahasa maupun gambar yang kami tampilkan tidak berbahaya bagi anak-anak maupun ibu rumah tangga.

Baca Selengkapnya..

Launching Borneo Tribune




By Tanto Yakobus
Nah, inilah tamu yang menghadiri acara launching harian Borneo Tribune yang kami dirikan di Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Sebelum launching pada tanggal 19 Mei 2007, kami melakukan riset pasar selama enam bulan. Dari riset tersebut, maka lahirlah koran yang diberinama "Borneo Tribune".

Baca Selengkapnya..

10 Akademia Tribune Institute

Istilah kami, para reporter Borneo Tribune adalah para akademia. Kenapa para akademia, karena skill atau keterampilan jurnalistik adalah applied science (ilmu terapan). Karena ilmu terapan, berarti taat azas akan teori-teori jurnalistik atau bahkan kampus jurnalistik. Untuk kampus jurnalistik Borneo Tribune kami beri nama Tribune Institute.
Siapa saja para akademia yang bertugas mencari, mengolah dan mempresentasikan berita ke haribaan pembaca? Mereka adalah muda-mudi potensial dan bekerja atas daya nalar. Berdasarkan abjad nama berada di nomor urut satu adalah Andry. Dia punya talenta di bidang politik, namun digadang-gadang pula ke hukum. Demikian karena politik dan hukum punya pertalian kisah yang erat. Bukankah tak jarang masalah-masalah politik yang pelik selalu bertalian dengan hukum, hukum dan hukum. Andry sendiri adalah sarjana ekonomi jebolan Universitas Panca Bhakti. Dia berpengalaman sebagai leader mahasiswa di kampus kuning UPB. Tepatnya sebagai Presiden Mahasiswa. Ia mantan aktivis kampus dan kini sedang menjadi akademia yang mentasbihkan dirinya sebagai aktivis pers seutuhnya di Kalbar. Ia di awal bulannya bekerja sudah harus menjejakkan kaki hingga Bumi Uncak Kapuas.
Nomor urut dua Arthurio Oktavianus. Ketika melamar di “The Next Newspaper need” (istilah yang kami gunakan dalam pariwara rekruetment calon reporter, red) dia sudah menunjukkan talenta yang tajam pada tulisan bergaya. Maksud kami narrative reporting. Ketika itu populer dalam pembicaraan para redaktur tulisannya berjudul Teh Poci.
Pada tulisan Teh Poci itu nadanya mengalir dengan santai. Kita yang membaca seolah larut dalam Teh Poci. Teh Poci yang dijual di salah satu sudut pinggiran Kota Yogyakarta. Kota tempat di mana putra kelahiran Toho ini menyelesaikan sarjana strata satunya.
Bahasa Inggris Arthur yang lancar amat sangat menolong prestasi akademisnya. Wajar jika dia harus meliput di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Ketiga, Agus. Nama lengkapnya Herkulanus Agus. Putra kelahiran Pancaroba ini sungguh nekat menjadi akademia Borneo Tribune dan “kuliah” di Tribune Institute. Dia bela-bela datang dari Sungai Ambawang distrik di mana dia kini menetap. “Bekal pengalaman kerja sebagai jurnalis beberapa waktu yang lalu ingin saya perdalam di sini. Abang-abang menjadi soko guru kami,” ungkapnya dalam testing calon reporter di Hotel Peony Maret silam. Kini Agus sudah melanglang buana dalam liputannya. Tak hanya di rubrik pendidikan, alumnus Fakultas Hukum Untan ini juga sudah menjejal ke Bengkayang.
Keempat, Budi Rahman. Orangnya kocak. Postur tubuhnya tinggi sehingga jadi andalan Borneo Tribune untuk berbagai hal. Mulai dari olahraga di lapangan futzal hingga tentu saja menjolok buah. Baik buah rambutan—jika lagi musim—maupun memetik buah pikiran.
Budi Rahman potensial dalam hal berpikir kreatif. Kawah candradimuka itu telah dia rasakan sejak menjadi Ketua Umum HMI Cabang Pontianak dan menyelesaikan kuliah formalnya di Fisipol Untan. Budaya diskusi dan baca menjadi peradabannya.
Dengan talenta dan posturnya yang mendukung, Budi Rahman menempati posko utama di Pemprov Kalbar. Dia juga mesti keliling kabupaten sehingga dalam tempo 1,5 bulan wilayah Utara, Timur dan Selatan telah disisirnya.
Kelima, Endang Kusmiyati. Dalam hal praktek jurnalistik dia sudah cukup banyak makan asam garam. Selain aktivis pers kampus wanita berkerudung ini juga sudah pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana di sebuah media lokal Kalbar.
Alumni Fakultas Pertanian Untan ini menempati posko ekonomi. Namun karena kemampuannya bekerja cepat dia juga dipercayakan mengawal event besar seperti Indonesian Product Expo 2007 yang menjadi debutan Bakomapin Pemprov Kalbar.
Keenam, Hanoto. Dari penampilannya yang berkacamata wajah gantengnya kian kentara. Wajarlah dalam waktu super singkat alumni Fisipol ini sudah menjadi idola banyak akademia. Barangkali berkat modal ini pulalah dia mudah mengembangkan jejaring informasi sehingga mendukung posko liputannya.
Hanoto yang keluarganya tergolong aktivis akademis adalah tipikal pekerja keras. Saking kerasnya, memanjat pohon pun dia lakukan demi Borneo Tribune. Tepatnya ketika Borneo Tribune jor-joran pasang spanduk menjelang launching awal Mei lalu.
Ketujuh, Johan Wahyudi. Alumnus Universitas Muhammadiyah Pontianak ini semula adalah guru. Dia berkeluh-kesah menjadi guru yang hanya berhadapan dengan 40-an siswa di dalam kelas. Dia rupanya ingin menjadi guru yang lebih besar. Koran adalah tempat yang tepat menurutnya.
Johan Wahyudi yang memang nama atlet pebulutangkis gaek di bawah eranya Liem Swie King mengasah talentanya di bidang keolahragaan. Tapi dasar mau menjadi guru yang lebih luas, putra kelahiran Pinyuh ini pun selalu kreatif menulis lepas. Lepas dari pakem olahraga seperti humaniora dan politika.
Kedelapan, Maulisa. Sapaan si kecil mungil ini Icha. Tulisannya amat bergaya sastra. Aklamasilah dewan redaksi menempatkan alumnus Fakultas Pertanian Untan ini ke penulisan panjang Filantropi. Tak urung tulisan-tulisannya segera mendapatkan respon dari pembaca. Salah satu cerpennya yang ditanggapi secara akademis oleh Doktor Sastra, Dedi Ari Asfar adalah Bidadari.
Kesembilan, Mujidi. Sejak di kampus STAIN jurusan KPI, pendidikan formal jurnalistik memang pilihannya. Ia merasa ilmu tak berguna jika tidak dipraktikkan, maka salah seorang pengasuh pondok pesantren ini memilih Borneo Tribune untuk menjadi akademia Tribune Institue. Karirnya pun meroket. Setelah mengobok-obok Kota Pontianak dia membawa pengalamannya ke Kota Singkawang.
Kesepuluh, Yulan Mirza. Putra kelahiran Jakarta yang menamatkan pendidikannya di Fisipol Untan ini gandrung pada liputan-liputan kriminal. Cuma sayang, di Borneo Tribune tak mengakomodir kekerasan atau brutalisme untuk diekspose. Tulisan-tulisan faktual kriminalitas lebih diarahkan pada sentuhan rasa kemanusiaan.
Kami sepakat liputan itu dinobatkan sebagai humaniora. Borneo Tribune dengan Tribune Institutenya hendak menjadi media pendidikan yang humanis. Sebab hidup itu memang manis. Kadang-kadang seperti lirik lagu Slank, “Terlalu manis...untuk dilupakan.”
Akhir kata, ingin kami sampaikan bahwa memberitakan 10 akademia di atas bukanlah untuk narsis, melainkan agar narasumber atau mitra Borneo Tribune dapat mengenal mereka secara jelas. Mereka juga dalam menjalankan tugas jurnalistik dibekali identitas yang jelas. Sejauh ini ada oknum tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan Borneo Tribune. Kami akan sangat senang jika oknum seperti itu dilaporkan saja ke polisi. □

Baca Selengkapnya..

Tribune Institute dan Akademia Jurusan Pracetak - Mesin

Harian Borneo Tribune yang terbit perdana—19 Mei—pada sehari menjelang Hari Kebangkitan Nasional—20 Mei—memang sadar sesadar-sadarnya bahwa pendidikan itu penting. Saking pentingnya sejak semula berdiri sebagai harian dengan 24 halaman plus full colour di dua section halaman muka dari tiga section yang dimilikinya telah mendirikan sebuah lembaga nirlaba bernama Tribune Institute.
Tribune Institute adalah kampus jurnalistik Harian Borneo Tribune di mana para “pengajarnya” adalah mereka yang punya keterampilan di bidang jurnalistik serta mau berbagi kepada siapa saja yang mau belajar.
Pada edisi Minggu, 1 Juli yang lalu telah kami perkenalkan kepada pembaca 10 orang akademia Tribune Institute yang terlibat di reportase lapangan. Mereka—berdasarkan abjad—adalah Andry, Arthurio Oktavianus, Agus, Budi Rahman, Endang Kusmiyati, Hanoto, Johan Wahyudi, Maulisa, Mujidi, dan Yulan Mirza. Kini di edisi Minggu 8 Juli kali ini ingin kami perkenalkan akademia jurusan Pracetak maupun Mesin sebagai semangat silaturahmi di mana kata pepatah: tak kenal maka tak sayang; tak sayang maka tak cinta. Siapa saja mereka? Berdasarkan urutan abjad mereka yang berkecimpung di Pracetak adalah Atika Ramadhani, Fachmi Ichwan, Iskandar, Iwan Siswanto, Sam Abu Bakar dan Ukan Dinata.
Atika Ramadhani adalah alumni Fakultas Ekonomi Untan yang gemar kutak-katik komputer khususnya program gambar/foto, tata wajah dan cetak. Jauh hari sebelum memilih Borneo Tribune cewek manis berjilbab satu ini juga punya usaha kecil-kecilan di bidang sablon dan cetakan. Usaha ini sekarang lebih banyak diteruskan adik-adiknya. Tika—sapaan akrabnya—memilih bekerja profesional di Borneo Tribune karena satu visi-misi yakni ingin mewujudkan idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
Fachmi Ichwan sudah tak asing lagi di kalangan aktivis pers kampus khususnya di Universitas Tanjungpura. Pemilik gelar sarjana kehutanan ini sudah terampil menata wajah media terutama Tabloid Mimbar Untan sehingga dia “lenggang kangkung” bekerja di media cetak profesional seperti Borneo Tribune.
Iskandar satu jalur dengan Fachmi. Dia merupakan aktivis pers kampus yang sudah malang melintang di bagian perwajahan Tabloid Mimbar Untan. Akademia termuda di jajaran Pracetak ini kini masih magang. Dia lulus seleksi layouter tahap satu untuk kemudian magang dari sejumlah pemilik tangan terampil untuk bergabung di Borneo Tribune. Iskandar masih mengeduk ilmu pertanian di Universitas Tanjungpura.
Iwan Siswanto tak hanya malang melintang di bidang lay-out media cetak profesional. Alumni Fakultas Teknik Untan ini juga memiliki home industri yang aktif. Riwayat pekerjaan profesionalnya di media cetak pro sudah terhitung belasan tahun.
Iwan Siswanto searah pendidikan akademis serta hobinya di bidang kelistrikan juga menguasai Information Technology (IT). Wajar jika Iwan pula yang dipercaya merancang berbagai sistem IT di Borneo Tribune.
Sam Abubakar tipikal pria pendiam dan pekerja, namun jika sudah kenal dia adalah sahabat yang baik dengan bertutur apa adanya. Sikapnya yang pendiam bukan berarti dia tak membaca situasi di sekitarnya, terbukti dengan kreativitas maupun karya-karyanya. Hasil olah tangan Sam—panggilan sehari-harinya—sangat atraktif. Karya yang atraktif serta dinamis mencerminkan kebebasan pemikiran maupun jiwanya. Kebebasan jiwa dan pemikiran memang sejalan dengan idealisme, keberagaman dan kebersamaan yang menjadi visi-misi Borneo Tribune maupun Tribune Institutenya. Kondisi “bebas” seperti ini yang kondusif bagi lahirnya karya-karya yang indah.
Ukan Dinata adalah nama yang sudah terkenal di mana-mana di seantero Kalbar. Karya-karya gravisnya telah mengukir sejarah media di daerah ini.
Di Borneo Tribune, Ukan yang dekat disapa dengan panggilan Fakun adalah yang paling senior. Ilmu dan pengalamanya juga paling senior. Dia sudah berkeliling Eropa untuk ilmu permesinan. Dia juga Art Designer “murid” dari Georgia Scott dari New York Times.
Jika Iwan Siswanto sudah bekerja di publikasi pro selama belasan tahun, Fakun sudah terjun sejak puluhan tahun yang lalu. Wajar jika di pundaknyalah tersematkan tugas serta tanggung jawab developmental bidang Pracetak hingga Percetakan. Sejak layout hingga mesin cetak.
Di jurusan Mesin di bawah pengawasan Fakun terdapat sejumlah akademia. Mereka adalah Alis, Andre, Poi dan Rustam. Keempat pemuda yang “ganteng-ganteng” ini pun sudah berpengalaman di bidangnya.
Alis yang bernama lengkap Nurhalis sudah mengecap pendidikan mesin offset di Jakarta. Dia sudah terampil menggerakkan mesin cetak offset di Romeo Grafika milik familinya di Kota Pontianak. Tapi Alis tak mau statis. Dia mau belajar prihal mesin koran yang berbeda dari mesin offset biasa. Maka dia memilih bergabung dengan Borneo Tribune.
Andre adalah yang paling jangkung di antara rekan-rekannya di “jurusan” mesin. Fisik jasmaninya mendukung keterampilannya di bidang kelistrikan mesin cetak. Jika ada hambatan-hambatan electricity maka dialah yang menjadi Dubes—duta besar yang kerap pula diplesetkan dengan dukun besar. Kerewelan-kerewelan berbagai unit bisa “dijinakkannya”. Tentu dalam satu kesatuan team. “The dream team”.
Poi adalah akademia yang paling unik di jurusan mesin yang dimiliki keluarga besar Tribune. Suaranya khas. Jika dia memberikan instruksi, suara mesin pun kalah. Sambil bercanda kawan-kawan mengatakan bahwa tubuh mungil Poi tak mau kalah dengan raksasanya mesin Goss Community. Pemilik nama asli Supriyanto ini tak jarang berteriak-teriak dari puncak mesin agar hasil cetakannya bagus. Hasil cetak yang bagus tentu sebagai bagian dari pelayanan kepada konsumen Borneo Tribune. Poi paling sewot jika hasil cetakan jelek. Dia terus berpikir bagaimana caranya agar gambar-gambar yang terbit di Tribune kinclong.
Rustam kebalikan dari Poi. Kalau Poi suaranya keras sementara tubuhnya mungil, Rustam tubuhnya gempal tapi suaranya tak terdengar karena dia pendiam. Urusannya lebih banyak kutak-katik mesin membantu rekan-rekannya tanpa banyak bicara.
Kendati Rustam pendiam bukanlah berarti dia anak bawang. Dia punya bakat permesinan yang ulet sejak masih remaja. Wajar jika dia sudah terampil utak-atik mesin motor, mobil hingga kini ke mesin cetak.
Sejak Rustam hingga siapapun di Borneo Tribune memang punya cerita serta semangat bekerja yang tinggi. Semua akademia memang punya semangat belajar bahkan mengajarkannya lewat Tribune Institute. Soal semangat, apa sih yang bisa mengalahkan semangat?
Kami sadar bahwa Republik ini pun bisa merdeka karena adanya semangat. Semangat kebangkitan nasional yang ditopang pendidikan di dalamnya. Jika ada semangat kebersamaan—kata lain dari persatuan dan kesatuan—apa sih yang tak bisa? Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Inilah sunnatullah, natural of law atau hukum alam yang berlaku di mana-mana. □

Baca Selengkapnya..

Monday, August 6, 2007

All Person is Marketing "Borneo Tribune"

Tak terasa umur Borneo Tribune sudah genap dua bulan. Dari sisi eksistensi, koran 24 halaman dengan tampil berwarna ini telah tersebar di seantero Kalimantan Barat. Jejaringnya tumbuh sangat pesat.
Jujur saja, dilihat dari sisi tiras pertumbuhan Borneo Tribune begitu mengesankan. Dalam dua bulan Borneo Tribune sudah menyejajarkan dirinya bersama media-media yang lebih dulu terbit. Hal ini karena penerimaan masyarakat luas terhadap koran yang dimiliki oleh putra-putra daerah Kalbar “asli” ini begitu signifikan. Terlebih Borneo Tribune juga memiliki mesin cetak sendiri, gedung sendiri dan jejaring pemberitaan sendiri.
Pasar Borneo Tribune kami sadari sangat besar. Terlebih kami menggarap bidang pendidikan secara serius dan tampil pun serius. Demikian karena aspirasi yang masuk ke Borneo Tribune adalah sebagai koran pendidikan.
Kami pun setuju untuk itu karena riset kami senada seirama. Kami sejak awal sudah mentasbihkan diri tak mau terlibat dalam pemberitaan kriminal, sadisme, berdarah-darah, pornografi, pornoaksi maupun berbual-bual. Kendati ada unsur pendidikan di dalamnya kami sadari manfaatnya kecil. Mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Tak urung “kekerasan” di layar TV pun jadi sorotan karena berdampak negatif bagi publik. Artinya kurang mendidik.
Hal kecil yang edukatif dari kriminal kami seduh dengan olahan tersendiri sehingga bernilai edukatif tinggi. Kami menyentuhnya dengan sudut pandang humaniora sehingga menambah nilai atau value added. Nilai rasa kemanusiaan lebih kami tonjolkan sehingga coverage kami lengkap/mencakup. Borneo Tribune menjadi tak ketinggalan isu di wilayah manapun karena bisa meneropongnya lewat kacamata pendidikan.
Melalui angle pendidikan Borneo Tribune lebih punya harkat dan martabat. Siapapun merasa aman membawa, membaca dan menjadikannya referensi di mana saja. Ia aman masuk ke ruang tamu, teras rumah, kantor-kantor, toko-toko, warung kopi, apalagi perpustakaan, sekolah-sekolah maupun kampus-kampus.
Karena sudut pandang pendidikan itulah kami juga punya lembaga pendidikan yang bernama Tribune Institute. Para pengelolanya adalah seluruh crew di Borneo Tribune. Mereka punya semangat belajar maupun mengajar.
Seorang sahabat mengatakan, dengan pola belajar-mengajar seperti itu semua orang adalah guru dan murid. All personel is teacher. All person is student.
Dari sudut pandang marketing totalitas way of life atau pandangan hidup seperti itu jadinya menguntungkan. Demikian karena setiap orang juga menjadi pemasar yang baik. All person is marketing.
Lalu siapa saja akademia yang terlibat langsung di bidang marketing ini selain para reporter, layouter, machiner, maupun editor? Mereka Ashley Raiza, Zulkifli HZ, Zainuddin, Hesty Yosana, Julianty, Erika Sudiardjo, Hendrika Rika dan Jumi Erlina Sari.
Ashley Rayza sebelum bergabung di Borneo Tribune berpengalaman sebagai marketing di Yogyakarta. Dia juga sempat mengenyam kerja di perbankan. “Kejar target sudah biasa bagi saya,” ujar pria yang menyandang gelar magister manajemen ini.
Zulkifli HZ punya talenta di bidang seni, fotografi dan desain grafis. Kerangka teoritis dikuasainya. “Dulu saya orang ruangan, sekarang saya belajar keluar ruang,” ujarnya untuk menghadapi pasar Borneo Tribune yang tumbuh pesat.
Zainuddin kerap disapa Bang UL. UL singkatan dari Udin Labu. Entah apa latar belakangnya, tapi Zainuddin suka dengan gelar tersebut. “Labu banyak manfaatnya,” kata pria yang suka mendatangkan artis-artis ibukota buat even di seantero Kalbar ini.
Hesty Yosana sebelum bergabung di Borneo Tribune adalah marketing di sebuah perusahaan andal. “Saya dipromosikan ke Kaltim, tapi saya tak bisa meninggalkan orang tua di Pontianak. Saya pun menerima tantangan membesarkan Borneo Tribune yang punya visi idealisme, keberagaman dan kebersamaan,” jawabnya ketika test wawancara di Hotel Peony Maret lalu.
Julianty merupakan alumni Fakultas Ekonomi Untan yang tak diragukan kemampuan hitung-berhitungnya. “Kalau perusahaan media sudah punya mesin cetak sendiri, itu bukan main-main,” katanya.
Erika Sudiardjo punya latar belakang pendidikan ekonomi dan keuangan. Tepatnya di Widya Dharma. Ia kini menjadi staf keuangan di bawah kepemimpinan Julianty.
Hendrika Rika adalah yang termuda di jajaran staf administrasi marketing. Dia begitu tamat kuliah langsung memilih Borneo Tribune.
Jumi Erlina Sari semula bercita-cita ingin jadi Polwan. Hal itu wajar karena ayahnya adalah polisi. Tapi perjalanan hidup membawanya ke bidang keadministrasian. Hal itu wajar juga karena dia alumni dari sekolah yang berlatar kesekretariatan.
Tak lengkap rasanya jika tidak menyebut all person is marketing dengan sudut pandang pendidikan di atas jika tak menyebut nama lawyer Borneo Tribune, Dwi Syafriyanti. Cewek manis yang sudah malang melintang di W Suwito Associate ini begitu haus akan ilmu. “Saya semula kurang peduli dengan pers, tapi karena berteman dengan insan-insan pers yang punya idealisme saya jadi kepincut rasa ingin tahu. Saya terus belajar lewat kasus-kasus atau delik pers. Ternyata menarik. Menarik sekali dunia jurnalistik yang berfungsi sebagai obor penerang itu,” ujarnya.
Dwi kini sedang mengeduk pendidikan di magister hukum Universitas Tanjungpura. Ia tak jarang menjadi icon pemasaran Borneo Tribune baik secara langsung maupun tidak langsung. Utamanya di Kampus Hukum.
Pembaca, kami sadar bahwa pada dasarnya sikap dan tindak tanduk kita adalah pemasaran yang efektif pula bagi kita maupun lembaga kita. Sikap pun kami sadari adalah buah dari pendidikan. Oleh karena itulah Borneo Tribune menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang paling tinggi. Dengan ilmu derajat hidup jadi lebih mulia. Dengan ilmu hidup menjadi lebih mudah. □

Baca Selengkapnya..

Saturday, August 4, 2007

Kantong Semar



By Tanto Yakobus

Genus Nepenthes (kantong semar), yang dalam bahasa Inggris disebut juga Tropical pitcher plant, termasuk dalam familia monotypic. Ia terdiri dari 80-100 spesies atau jenis, baik yang alami maupun hibrida.
Genus ini merupakan tumbuhan karnivora di kawasan tropis. Tumbuhan ini kini dijumpai di sejumlah Negara yang ada hutan tropisnya seperti Indonesia ( ada 55 spesies, 85%), Tiongkok bagian selatan, Malaysia, Filipina, Madagaskar, Seychelles, Australia, Kaledonia Baru, India, dan Sri Lanka.
Di Indonesia sendiri, habitat dengan spesies terbanyak terdapat di pulau Borneo (Kalimantan) dan Sumatra.
Tumbuhan ini dapat mencapai tinggi 15-20 meter dengan cara memanjat tanaman lainnya. Pada ujung daun terdapat sulur yang dapat termodifikasi membentuk kantong, yaitu alat perangkap yang digunakan untuk memakan mangsanya (misalnya serangga, pacet, anak kodok dan lain-lain) yang masuk ke dalam kantong semar tersebut.
Kamis (2/8) lalu, kantong semar dengan berbagai spesies di pamerkan di area parker Matahati Mall Pontianak. Pameran tanaman hias yang bertajuk “Borneo Orchid” itu cukup mendapat antusiasme warga Kota Pontianak dan sekitarnya yang memang suka dengan tanaman hias, terutama para kolektor tanaman langka yang memang banyak ditemukan di pulau Borneo ini.

foto-foto by Lukas BW dan Mering

Baca Selengkapnya..

Friday, August 3, 2007

Borneo Orchid



Kamis (2/8) dua hari lalu, saat melintasi Jalan Jendral Urip, mata saya tiba-tiba tertuju ke halaman parkir Matahari Mall Pontianak. Maklum hari itu mendadak terjadi keramaian di area parkir salahsatu pusat perbelanjaan itu.
Tenda terpasang 50 meter. Di dalam tenda itu berderet sejumlah meja di atasnya tertata rapi beraneka tanaman hias. Salah satu yang menarik pertahian saya adalah tanaman anggrek.
Tumbuhan itu bentuknya sangat sederhana. Aslinya, ada yang mereyap di tanah, hinggap di pohon, namun tak sedikit pula yang dikembangbiakan oleh para kolektor.
Karena bunganya yang indah, maka ia menjadi tanaman koleksi para kolektor anggrek. Kini tumbuhan itu banyak dikembangbiakan sebagai tanaman hias dan ada pula yang menjadikannya sumber pendapatan (bisnis).
Berbagai jenis anggrek termasuk yang langka di dunia sekalipun seperti anggrek hitam, semuanya ada di Kalimantan Barat (West Borneo).
Selain anggrek hitam yang langka itu, juga ada species anggrek bulan yang sangat terkenal di Indonesia.
Karena keindahan bunganya, anggrek sering dipergunakan sebagai simbol dari rasa cinta, kemewahan, dan keindahan selama berabad-abad. Bangsa Yunani menggunakan anggrek sebagai simbol maskulinitas, sementara bangsa Tiongkok mempercayai anggrek sebagai tanaman yang mengeluarkan aroma harum dari tubuh Kaisar Tiongkok (pada zaman itu).
Macam-macam anggrek itu bisa Anda jumpai pada pameran yang bertajuk ”Borneo Orchid” yang digelar di parkiran Matahari Mall Pontianak.
Pameran anggrek itu cukup mendapat sambutan warga, terutama kaum hawa.

Foto-foto: By Lukas BW dan Mering

Baca Selengkapnya..