BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Sunday, July 29, 2007

Prihatin Nasib Masyarakat Adat

Prof Dr YC Tambun Anyang, SH


Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Keprihatinan terhadap kondisi kehidupan masyarakat adat, terutama di Kalimantan Barat (Kalbar) diungkapkan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu hukum adat Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan). Banyak tanah adat (tanah rakyat) yang telah digunakan untuk perkebunan, terutama kelapa sawit. Tetapi, itu hanya bagi pengusaha. Rakyat pemilik tanah setempat menjadi kehilangan tanah. Pola seperti inilah yang menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang akhirnya dapat memicu konflik horizontal dan vertikal.
Pengukuhan Prof Dr Yohannes Cyprianus Thambun Anyang SH sebagai guru besar ke-22 di Untan Sabtu (9/3) tahun 2002 lalu terasa istimewa. Karena yang menyandang gelar itu seorang putra Dayak kelahiran Desa Sayut, Kecamatan Kedamin, Kapuas Hulu, 1948. Inilah putra masyarakat adat Dayak pertama yang menjadi guru besar ilmu hukum adat dengan gelar lengkap, profesor dan doktor.
Baginya, pengukuhan ini penghormatan tertinggi sebagai dosen. Ini juga cita-cita yang dipesan ayahnya. Sebelum meninggal, ayahnya, Chrishtopos Anyang Boek, sempat memberi pesan tertulis kepada tiga anaknya agar jangan berhenti bersekolah sampai yang paling tinggi. Pesan itu ia simpandalam benak sampai hari ini. “Bapak hanya peladang dan berpendidikan kelas tiga sekolah rakyat, tetapi bercita-cita sangat tinggi untuk anak-anaknya," kata suami Maria Herani itu.
Pesan itulah yang membuat Thambun bersemangat menuntut ilmu kendati dalam banyak keterbatasan. Thambun setamat SMP di Putussibau tahun 1965 melanjutkan ke SMA Santo Paulus di Pontianak. Ketika duduk di kelas tiga di SMA, ia mengajar sebagai guru SD Bruder di Pontianak. "Yayasan pendidikan SD itu mengalami kekurangan guru dan saya termasuk mendapat tawaran mengajar di sana," kenangnya.
Setamat SMA tahun 1968, Thambun kuliah di Fakultas Hukum Untan sambil mengajar di SMP XI Pontianak (1977-1979) dan guru di SMA Santo Paulus Pontianak 1978-1980. Ia menjadi dosen di Untan sejak 1978 sampai sekarang.

Thambun sebenarnya bukanlah orang baru dalam masalah hukum adat, terutama soal adat dan kebudayaan Dayak. Ia menulis buku berjudul "Kebudayaan dam Perubahan Daya Taman Kalimantan dalam Arus Modernisasi," yang diterbitkan Grasindo, Jakarta (1998). Buku ini mendapat penghargaan terbaik bidang humaniora dari Menteri Pendidikan Nasional tahun 1999.
Menurut dosen teladan tahun 1984 Fakultas Hukum Untan ini, sebetulnya di seluruh Indonesia hukum adat masih berlaku dengan baik. Alasannya, setiap ada masyarakat adat, dipastikan ada hukum adatnya. Pelaksanaan adat perkawinan misalnya, hampir semuanya masih kuat melaksanakannya.
Kalbar punya keunikan, katanya, karena hukum adat masih kuat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat ini ditandai dengan berlakunya peradilan adat. Peradilan adat menyelesaikan masalah jika ada perkara, terutama di masyarakat Dayak. Tidak sembarang orang menjatuhkan sanksi hukumnya. Setiap masyarakat adat ada fungsionaris adatnya dengan sebutannya masing-masing.
Sementara dari sisi perundang-undangan, hukum adat juga diakui keberadaannya, seperti terlihat dalam UUD 1945, Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV Tahun 1999, dan Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960 yang termasuk mengakui adanya hak ulayat.
Sayangnya, katanya, pengakuan hukum adat itu sampai sekarang masih terkesan hanya di atas kertas. Ini karena berbagai kebijakan dilakukan "para penguasa" banyak tidak sesuai dengan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Akibatnya, kata Thambun, yang terjadi bukan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya terjadi kegiatan eksploitasi terhadap masyarakat dan sumber daya alam. Bersamaan itu, terutama pada masa Orde Baru, peran lembaga adat beserta fungsionaris adat juga ditenggelamkan, yaitu ketika berlaku UU No 5/1979 mengenai Pemerintah Desa.
Dengan berlakunya UU No 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah, ada peluang lembaga adat tumbuh kembali. Bahkan, dalam dua tiga tahun terakhir, dewan adat banyak berdiri di Kalbar. Fenomena ini menunjukkan hukum adat masih kuat berlaku di masyarakat.
Menurut Thambun, agar tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaan hukum adat dan hukum nasional, maka harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ibarat bangunan piramid, maka hukum nasional itu berada di puncaknya, di bawahnya berupa hukum yang ada di daerah, dan pada lapisan paling bawah ditempati hukum yang ada di masyarakat dari semua etnis atau suku bangsa di Indonesia.
"Kalau dilihat secara terpisah, maka kesalahannya adalah karena tidak berangkat dari landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan idiil negara, Pancasila. Hukum yang baik salah satunya harus berakar dari budaya yang ada di dalam masyarakat kita yang majemuk. Jika ini dipahami, tidak terjadi pertentangan hukum," ucapnya.
Pelaksanaan hukum adat, tambahnya, kalau dilaksanakan oleh fungsionaris adat tidak akan serampangan. Sebab, sudah ada aturan-aturan yang baku seperti asas kepatutan, kerukunan, keselarasan, dan kehati-hatian. Yang menjabat fungsionaris adat sendiri adalah orang yang benar-benar berwibawa, jujur, dan tauladan di masyarakatnya.
"Kalau terjadi penyimpangan atau komersialisasi hukum adat, saya yakin itu pasti dilakukan bukan fungsionaris adat yang benar. Mereka ini seharusnya bisa diperkarakan karena telah melanggar hukum adat itu sendiri. Tetapi, sampai saat ini saya belum menerima adanya laporan soal perkara komersialisasi hukum adat itu. Kalau dari kabar mulut ke mulut, saya sudah dengar soal itu," ungkapnya.

Saat Thambun diterima sebagai dosen di Untan tahun 1978, secara bersamaan ia juga diterima di Pengadilan Tinggi di Kalbar. Namun, Dekan Fakultas Hukum Untan yang saat itu dijabat Prof Mahmud Akil, meminta dia membantu mengajar di fakultas tersebut. Profesi sebagai pengajar ini rupanya lebih menarik Thambun sehingga ia memilih menjadi dosen.
Ia juga beruntung karena boleh mengikuti pendidikan doktor (S3) di Nijmegen, Belanda, tahun 1991-1997, tanpa melalui jenjang pendidikan S2. Ini karena Thambun mendapat rekomendasi dari Prof Dr H Moh Koesno (almarhum) setelah beberapa bulan mengikuti penataran ilmu hukum dan hukum adat di Universitas Syiahkuala, Banda Aceh. Saat di Aceh, ia banyak menjalin komunikasi dengan ahli hukum dari Belanda, yakni Prof Dr AA Trouwborst dan Dr Herman Slaats. Keduanya merekomendasikan Thambun untuk mengikuti pendidikan doktor di Nijmegen. Pada pengukuhan itu kedua ahli hukum dari Belanda itu juga hadir. "Dorongan mereka inilah yang membuat saya bersemangat melanjutkan pendidikan ke Belanda," katanya.

(Buku pidato pengukuhan Guru Besar & TokohIndonesia DotCom/Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Baca Selengkapnya..

Dorong Dosen Jadi Guru Besar

Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Sebagai salah satu universitas negeri di Republik ini, Universitas Tanjungpura (Untan) masih kalah pamor bila dibandingkan dengan universitas negeri lainnya di Indonesia. Apalagi bila disanding dengan UI, ITB, UGM yang banyak menelorkan guru besar, Untan belum ada apa-apanya.
Tetapi sebagai salahsatu perguruan tinggi di daerah Kalbar, kita mesti bangga dengan keberadaan Untan. Sebab cukup banyak birokrat, dosen maupun orang sukses yang terlahir dari Untan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, idealnya Untan memiliki banyak guru besar alias profesor. Coba banding dengan universitas negeri di Pulau Jawa misalnya, prosentase guru besar Untan masih jauh.
Di tingkat lokal--Kalbar saja, gaung Untan hampir-hampir tidak terangkat ke permukaan, bahkan hampir tengelam dengan aktivitas para dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, mereka lebih menonjol dalam hal penelitian dan menelorkan buku. Termasuk Rektor Untan Chairil Effendy harus menerbitkan bukunya di STAIN. Memang setakat ini STAIN belum memiliki guru besar, tapi dosennya yang kreatif cukup membuat nama STAIN diperhitungkan.
Di era kepemimpinan Dr. H. Chairil Effendy, M.S., kiranya Untan boleh memperhatikan ketertinggalan tersebut, terutama dalam hal menelorkan guru besar termasuk mendorong para dosennya untuk meningkatkan kualitasnya dengan meneruskan pendidikan S-2 dan S-3 (doktor).
Dalam sebuah kesempatan sebelum Chairil Effendy dilantik oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo, sebagai Rektor Untan periode 2007-2011 menggantikan Prof. Hj. Asniar Ismail, SE. MM., pada 13 April 2007 di Jakarta lalu, kepada saya beliau pernah mengatakan, akan berusaha memajukan dan mensejajarkan Untan dengan perguruan tinggi lain di Indonesia.
“Salahsatu caranya, Untan harus banyak mendorong dosennya untuk melanjutkan pendidikan S-2 dan S-3, termasuk mengorbitkan guru besar,” ujarnya kala itu.
Sejauh ini kata Chairil lagi, Untan baru memiliki 22 guru besar (profesor). Bila dibanding dengan usia Untan yang sudah 48 tahun sekarang ini, harusnya sudah banyak profesor yang lahir dari Untan.
Chairil pun mengatakan, dalam kepemimpinan dirinya kelak--akan mengupayakan bagaimana agar para dosen berlomba-lomba membuat penelitian sebagai syarat meraih guru besarnya. “Kalau tidak kita dorong, maka Untan akan tetap seperti ini,” ujar Chairil usai terpilih sebagai rektor beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan lain, setelah dilantik, Chairil kembali menegaskan kebijakannya mendorong dosen menempuh pendidikan S-2/S-3 dan guru besar. “Itu sejalan dengan amanah Mendiknas, Bambang Sudibyo bahwa pilar kedua Renstra 2005-2009, adalah peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan,” jelasnya.
Untuk itu, para rektor diharapkan segera memprioritaskan program-program yang mengarah pada pencapaian World Class University, dan yang telah mengarah kepada status itu baru UI, ITB, UGM, Undip dan UT yang telah memperoleh akreditasi dari ICDE.
Target Mendiknas pada akhir 2009 dosen berpendidikan S-2 dan S-3 pada perguruan tinggi negeri mencapai 85% pada penguruan tinggi swasta 55% dan guru besar pada perguruan tinggi negeri 10%. Karena itu, perlu kerjasama antar perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri.□

Baca Selengkapnya..

Friday, July 27, 2007

Si Sandal Jepit

Aku terbuang dan terlupakan,
Aku dikucilkan
Aku tak berarti
Aku ada didekatmu
Aku selalu menemani tuan kemanapun melangkah,
panas, kotor dan berbatu tetap kujaga
jangan sampai tuanku kesakitan,
Aku siap kapanpun tuan siap melangkah,
Aku akan selalu melekat dengan tuanku,
sampai tuanku meninggalkanku
Aku rela menemenin kemana saja tuanku melangkah,
Aku bahagia tuan mengenakanku
Aku lah si sandal jepit
Ku berdoa semoga Tuhan selalu memberiku waktu
untuk selalu dekat dengan Tuanku,
sampai aku putus.


Gun/www.wartakasih.org

Baca Selengkapnya..

Dewan Redaksi Borneo Tribune

Sudah dua pekan berlalu kami perkenalkan akademia Tribune Institute yang bergerak di reportase lapangan, lay out dan percetakan. Kini kami perkenalkan Dewan Redaksi sebagai bentuk silaturhmi kepada pembaca di mana kami menyelami benar makna pribahasa: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka...dan seterusnya dan sebagainya.
Silaturahmi menurut petatah-petitih orang tua nan bijak menyebabkan kita jadi panjang umur dan murah rizki. Sebaliknya, jika memutus hubungan silaturahmi hidup menjadi sempit ibarat penjara. Kemana-mana saja berasa sempit.
Kami tak mau sempit. Kami mau tumbuh dalam kontek silaturahmi yang sebaik-baiknya.
Kami harus mengenalkan diri agar publik mudah “berhubungan” dengan kami terkait pemberitaan. Terkait apa saja mengenai Borneo Tribune atau lembaga pendidikan pers dan komunikasinya yang berlabel Tribune Institute.
Tentu perlu digarisbawahi di sini bahwa tujuan kami mengenalkan diri bukan untuk “terkenal” karena itu kami sadari bermula dari kepercayaan diri yang terlalu narsis. Itu tak baik. Nanti yang terjadi adalah riyak. Riyak adalah penyakit hati yang mesti dicuci dengan eling lan waspada.
Esensi dari perkenalan diri kami sesungguhnya juga adalah agar kita saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran agar kita tidak merugi. Bukannya kenapa, kami memang sudah dirugikan akibat adanya oknum-oknum yang mengatasnamakan reporter atau redaktur Borneo Tribune. Mereka datang ke pejabat-pejabat tertentu dan merugikan nama baik Borneo Tribune dengan aksi-aksi mereka yang tidak terpuji.
Sekali lagi, yang bukan nama dan wajahnya terpampang di Dewan Redaksi ini, mereka bukanlah Dewan Redaksi Borneo Tribune. Di Borneo Tribune reporter dan redakturnya dibekali ID-Card yang jelas. Sementara jika ada oknum mengatasnamakan Borneo Tribune dan tak ada identitas diri yang akurat, sebaiknya kontak ke redaksi atau jangan sungkan melapor ke aparat berwajib. Tangkap dan adili saja mereka. Bukankah negara kita adalah negara hukum?
Duduk di jajaran Dewan Redaksi berdasarkan abjad: Asriyadi Alexander Mering, Hairul Mikrad, Muhlis Suhaeri, Nur Iskandar, Safitri Rayuni, Stefanus Akim, Tanto Yakobus dan Yusriadi.
Asriyadi Alexander Mering semula adalah penulis cerpen yang andal. Karya-karyanya sejak muda di bangku kuliah sudah menembus media-media lokal dan nasional. Karya-karya sastranya juga menghiasi negeri Jiran, Malaysia. Tak urung beberapa kali Mering—sapaannya—menjadi pembicara sastra di Malaysia.
Alumni Fakultas Hukum Untan yang tak suka dengan sekat etnis dan agama ini pun lebih suka menyebut dirinya pasca Dayak, bahkan sudah pasca Indonesia. “Terbungkus sekat primordial menyebabkan kita jadi kerdil,” urainya.
Hairul Mikrad kelahiran Sungai Pinyuh. Talentanya di bidang jurnalistik tertempa di bangku kuliah saat dia menjadi aktivis di Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Untan. Di masa kepemimpinannya Menhut Djamaluddin berhasil didatangkannya. Bahkan menanam pohon pula di Arboretum.
Pria berkacamata dan bertubuh bongsor ini terampil menembus sumber-sumber penting. Katanya, talenta diplomasi itu telah terasah sejak dini di mana ia aktif di kepramukaan. “Berorganisasi memang penting,” katanya.
Kalau Mering melanglang buana hingga ke Malaysia, Hairul Mikrad yang akrab disapa dengan Dek atau Dedek “terbang” hingga ke Meulaboh-Aceh, Brunei Darussalam maupun lembaga-lembaga tinggi negara di Jakarta. Meliput di medan konflik menurutnya amat berkesan.
Muhlis Suhaeri sebelum bergabung di Tribune adalah penulis yang aktif di sejumlah media nasional. Gatra, Pantau bahkan Playboy sudah dijejalnya. Karya-karyanya yang kental bergaya narasi tak jarang dapat pujian. Pujian itu disampaikan langsung oleh Lembaga Pendidikan Pers Soetomo ketika menggelar pelatihan bagi para redaktur se-Kalbar di Grand Mahkota beberapa bulan silam.
Muhlis gemar membaca dan menulis. Ia sudah membukukan karya jurnalistiknya dengan menulis biografi tokoh film kesohor kelahiran Betawi, Benyamin S. Buku ini diterbitkan di Jakarta dan dapat diperoleh di toko-toko buku terkenal seperti Gramedia maupun Karisma.
Nur Iskandar. Dia anak ketiga dari lima bersaudara pasangan H Hasan Har dan Hj Halijah HMS. Jurnalistik adalah pilihan hidupnya setelah malang melintang sebagai aktivis pers kampus.
Di jajaran pers nasional nama Nuris—sapaannya—sudah dikenal karena dia merupakan Presidium Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Wilayah Kalimantan. Dia juga peraih beasiswa ke Amerika Serikat masing-masing tahun 2001 dan 2004 untuk program investigative reporting dan religious, pluralism and democratism. Kedua program tersebut didanai Departemen Luar Negeri AS.
Sejumlah buku juga sudah ditulisnya bersama sejumlah sahabat antara lain Biografi H Mawardi Dja’far, ontologi DPRD Kalbar, dan Dua Periode Kepemimpinan H Aspar Aswin.
Safitri Rayuni merupakan anggota Dewan Redaksi yang putri satu-satunya. Dia pun mengasah bakat kepenulisannya sejak kuliah di kampus hijau Universitas Tanjungpura.
Sebelum meraih gelar Sarjana Pertanian, Ifit—panggilannya—sempat berguru dengan guru besar narative reporting yang diampu Prof Janet Steel. Ifit adalah peserta terbaik dan mendapat promosi beasiswa ke Negeri Kangguru pada September mendatang.
Stefanus Akim baru saja pulang dari pendidikan jurnalisme bergaya sastra di Jakarta dua minggu di pertengahan Juni. Dia berguru dengan peraih Newman Fellowship Harvard University, Andreas Harsono dan Prof Janet Steel.
Kemampuan Akim—julukannya—dalam hal menulis juga dimulai dari bangku sekolah. Dia terus mengasahnya di Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan. Selanjutnya dia sudah berpengalaman liputan di seantero Kota Singkawang, Kabupaten Pontianak yang beribukota Mempawah maupun Kota Pontianak kendati Akim sesungguhnya kelahiran Sungai Ambawang. “Pengalaman keliling membuat saya mengerti arti kehidupan,” simpulnya.
Tanto Yakobus memulai karir jurnalistiknya dari majalah Gamma. Dia sempat menjadi kepala biro di Singkawang dan mengantor di Hotel Mahkota. “Ini pengalaman unik,” timpalnya.
Tanto sebelum Borneo Tribune terbit sudah lebih dahulu mengenyam pendidikan khusus di Pantau Foundation. Sepulang pendidikan di Jakarta itu dia begitu bergiat menulis. “Ilmu terdahulu bagi saya belum ada apa-apanya. Sekarang saya semakin mengerti,” jelasnya.
Yusriadi. Dari segi indeks nama dia tampil di belakang, tapi dari sisi pemikiran dia selalu tampil terdepan. Hal itu wajar karena secara akademis pun, Yusriadi yang kerap disapa Bang Yus adalah yang tertinggi. Dia sudah S3 dan bergelar doktor di bidang bahasa. Dia meraih predikat cemerlang dari Universiti Kebangsaan Malaysia di bawah bimbingan Prof James Collins—seorang pakar Borneo.
Baru-baru ini Yusriadi diundang tampil sebagai pembicara di sebuah seminar di UKM. Tulisan-tulisannya dapat diikuti secara bersambung di Harian Borneo Tribune sejak Senin 2 Juli lalu.
Di jajaran Dewan Redaksi Borneo Tribune juga ada fotografer dan ilustrator andalan. Mereka adalah Lukas B Wijanarko dan Zoel MS.
Lukas lahir di Pontianak, namun menyelesaikan pendidikan fotografinya di Jakarta. Hasil-hasil jepretannya telah bertebaran di mana-mana. Dia pun tak urung membuat pameran tunggal atas hasil seni fotografinya itu.
Zoel MS tumbuh sebagai ilustrator, pelukis dan juga terampil kalau memegang kamera. Ini semua dikuasai Zoel karena ditopang hobi serta kemampuan akademisnya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
Kalau Lukas sebagai fotografer profesional tak jarang diminta memotret peristiwa-peristiwa khusus, Zoel juga begitu. Tak jarang dia “dikontrak” lembaga-lembaga internasional seperti World Wide Foundation atau WWF untuk memotret alam, membuat ilustrasi hingga lukisan. Zoel pun sama dengan Lukas sudah tak terhitung membuat pameran-pameran seni.
Para pemuda Kalbar di atas terus berpikir dan berkarya. Mereka berbuat di Borneo Tribune dan karya itu dipersembahkan kepada pembaca. Respon pembaca pun amat dibutuhkan sebagai feedback sehingga Kalbar beroleh bacaan yang punya harkat dan martabat di mana kala membacanya berasa lebih, bahkan lebih berasa. □

Baca Selengkapnya..

Friday, July 20, 2007

Mengasihi Sesama


KASIH adalah LEM yang merekatkan KELUARGA

"Hendaklah kamu seia sekata,
seperasaan, mengasihi saudara-saudara
dengan hati yang lembut dan rendah hati."
( 1 Petrus 3 : 8 TLB)

Kunjungan Play Group Agustin ke Panti Asuhan Teresa Bhakti, Batulayang Pontianak
Foto: Dokumentasi Keluarga

Baca Selengkapnya..

Upah yang Besar



"Ada yang menyebar harta,
tetapi bertambah kaya,
ada yang menghembat secara luar biasa,
namun selalu kekurangan.
Siapa yang banyak memberi berkat,
diberi kelimpahan,
siapa memberi minum,
ia sendiri akan diberi minum."


Tanpak gambar Vivi memberi mainan kepada salah seorang anak penghuni Panti Asuhan Teresa Bhakti, Batulayang Pontianak.

Foto: Dokumen keluarga

Baca Selengkapnya..

Tuesday, July 17, 2007

CU sebagai Penyangga Ekonomi Keluarga

Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak.

Perlahan tapi pasti, kita mulai bangkit dan melepaskan diri dari belenggu krisis ekonomi yang melanda Republik tercinta ini. Hampir sepuluh tahun yang lalu, kita mengalami krisis yang begitu hadsyat. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terjun bebas.
Kondisi itu membuat banyak orang putus asa dan jatuh. Tidak sedikit perusahaan yang tutup. Konsekuensinya banyak karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran meningkat tajam. Jangankan perusahaan swasta, pemerintah saja “bangkrut”, sehingga banyak perusahaan milik negara tergadai gara-gara tidak mampu menutupi biaya operasional.
Itu baru yang dirasakan perusahaan besar maupun negara. Lalu bagaimana dengan rakyat kecil kala itu? Banyak keluarga berantakan gara-gara tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Jangankan untuk usaha, makan saja susah. “Negeri saja susah, apalagi rakyatnya?” keluhan seperti itu terdengar di mana-mana, bahkan hampir tidak mengenal ruang dan waktu lagi. “Yang kaya jadi miskin dan yang miskin semakin tambah miskin”.
Tapi bagi mereka yang sudah menumpuk dollar di negara tetangga, jelas semakin kaya. Sebab mereka bisa dipastikan kaya mendadak bila dollarnya ditukar rupiah.
Tapi dibalik kesusahan itu, ternyata tidak berpengaruh bagi keluarga yang kebetulan yang sudah mengenal dan menjadi anggota Credit Union (CU). Kehadiran CU betul-betul dewa penolong saat krisis menghantam negeri ini.
Sementara banyak sektor lain macet, tapi keluarga yang mempercayakan CU sebagai tempat menabung, ternyata krisis ekonomi yang melanda negeri ini tidak banyak berpengaruh. Bahkan mereka yang punya usaha maupun yang belum, bisa mengembangkan usahanya berkat CU.
CU punya prinsip kerja yang unik. Modalnya cuma kepercayaan, sementara semangatnya adalah pendidikan. Jadi hanya bermodalkan kepercayaan dan tekun mengikuti pendidikan yang diselenggarakan CU, selaku anggota, pasti bisa mengembangkan diri maupun usahanya.
Catatan saya selalu sesama anggota CU, selama masa krisis, tidak sedikit keluarga yang menyandarkan hidup dan pengembangan usahanya pada CU. Mereka bisa memastikan modal yang mereka tabung tidak akan hilang, sementara usaha yang mereka kembangkan bertambah maju.
Contoh kecil begini: bila Anda mempunyai uang Rp 2 juta dan ingin membuka usaha es cendol. Logikanya, yang tersebut sudah cukup untuk buka usaha es cendol. Mulai dari biaya bikin gerobak dan mungkin bahan bakunya. Tapi uang Anda dijamin habis hanya untuk modal saja. Sementara untuk pengembangannnya, Anda sudah mengalami kesulitan karena tidak punya uang lagi.
Tapi bila Anda anggota CU; Anda punya uang sama Rp 2 juta dan disimpan di CU. Lalu Anda pinjam modal dari CU Rp 2 juta juga. Mungkin untuk biaya pengadaan gerobak dan bahan bakunya sama nilainya dengan contoh pertama. Tapi karena Anda anggota CU, Anda bisa berusaha dengan tenang, sebab uang Anda di CU tidak hilang, tetap Rp 2 juta. Anda tinggal mengembalikan modal Rp 2 juta tadi. Tidak hanya itu, uang Anda justru bertambah sebab selain mengembalikan modal, uang Anda yang disimpan itu berbunga demikian juga dengan pinjaman Anda juga berbunga. “Jadi di CU itu ada istilah bunga berbunga,” kata AR Mecer dedengkot CU kepada saya pada suatu ketika.
Dengan sistem kerja seperti ini, maka tak heran manakala orang pusing tujuh keliling kehilangan pekerjaan, harga barang naik sementara kemampuan tidak ada, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap mereka yang sudah menjadi anggota CU.
Jadi CU betul-betul penyangga ekonomi keluarga. Contoh kongkit dirasakan para orang tua yang menyekolahkan anak mereka di Pontianak. Mereka sangat terbantu dengan CU. Sebab CU sudah mempunyai jaringan hampir di seluruh daerah pedalaman Kalbar.
Bahkan kini CU tumbuh dimana-mana.
Munaldus dalam laporannya di majalah Kalimantan Review menuliskan, saat ini CU ada di mana-mana, kepadatannya cukup tinggi di Kalbar. Ini artinya peran CU sangat tinggi dalam menunjang perekonomian keluarga baik di kota maupun di kampung-kampung.
Kini kondisi ekonomi kita semakin baik. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan gembira menyaksikan koperasi di Indonesia mulai bangkit kembali sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional.
"Terus terang saya gembira mendengar inisiatif koperasi turut mendorong bergeraknya roda ekonomi di Indonesia," kata Presiden Yudhoyono pada acara puncak Peringatan Hari Koperasi Nasional ke-60 di Nusa Dua, Bali, Kamis lalu.
Presiden menyatakan, koperasi merupakan perkumpulan orang-orang yang melakukan kegiatan usaha dengan tujuan mulia yaitu tidak saja berpartisipasi meningkatkan taraf hidup para anggotanya sekaligus meningkatkan ekonomi bangsa.
"Kelompok masyarakat dalam koperasi telah bangkit. Jika dulu pemerintah pusat yang aktif mendorong kegiatan koperasi, namun saat ini Pemda baik Provinsi, Kabupaten/ kota dengan semangat otonomi daerah juga aktif mendorong koperasi," ujar Presiden.
Presiden menambahkan, dengan sumberdaya yang dimilikinya koperasi sudah menuju tahapan demokrasi ekonomi yang semakin sehat dan itu ditandai makin besarnya partisipasi koperasi dalam mendorong komunitas lokal pada setiap aktivitas ekonomi.
Kiranya, amanat presiden tersebut menurut saya secara kontinyu telah dijalankan oleh CU sebagai penggerak ekonomi keluarga, terutama bagi keluarga yang tidak mampu alias tidak bermodal. Mengapa saya katakan tidak bermodal, Sebab modalnya cukup saling percaya dan pendidikan. Dengan memahami CU melalui pendidikan internal di CU, anggota diharapkan memahami aturan main. Jadi kepercayaan yang dikembangkan di CU berangkat dari pendidikan internal tersebut. Anda tak percaya? Silakan coba.□

Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune, tanggal 15 Juli 2007

Baca Selengkapnya..

Monday, July 9, 2007

Koran Bisnis

Walau terbilang baru, Borneo Tribune sudah dikenal di kalangan pebisnis. Bila Anda berkunjung ke pusat perbelanjaan terbesar di Pontianak, Ayani Megamal, Anda sudah dapat membeli atau sekedar membaca Borneo Tribune di kounter buku yang tersedia di sana.


Tak hanya itu, di bagian manajemen juga sudah familiar dengan Borneo Tribune. Ketika ada acara pameran produk sepeda motor teranyar, wartawan kami tidak kesulitan masuk ke sana.

“Pameran ini merupakan agenda pameran tematik yang berkelanjutan terus setiap tahunnya,” kata Promotion Megamal, Uray Tessy kepada Hanoto dari Borneo Tribune.


Uray Tessy asyik membaca Borneo Tribune.

FOTO: Hanoto/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Thursday, July 5, 2007

Wajah Borneo Tribune


Nah inilah wajah Borneo Tribune yang kami bidani dan kami lahirkan pada tanggal 19 Mei 2007 lalu. Kelahiran Borneo Tribune tidak terlepas dari kerja keras dan kekompakan kami berlima, yakni Nur Iskandar, Hairul Mikrad, Asriyadi Alexander Mering, Yusriadi dan aku Tanto Yakobus.

Sebelum lahir, kami telah melakukan riset baik mengenai nama, wajah maupun isi yang bakal disajikan kelak. Kurang lebih enam bulan kami melakukan riset maupun memperdebatkan visi misi Borneo Tribune.

Akhirnya di sepakatilah Borneo Tribune mengusung Idealisma, Keberagaman dan Kebersamaan. Dan itu sesuai dengan ragam suku bangsa besar di Kalbar (Borneo Barat) ini.


Foto: By AA Mering

Baca Selengkapnya..

Wednesday, July 4, 2007

Almamaterku

Inilah Auditorium Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak. Tahun 1993 adalah tahun pertama aku masuk universitas yang sudah tiga kali ganti nama itu. Nama pertama Universitas Daya Nasional, nama kedua Universitas Dwikora Pontianak dan nama terakhir adalah Universritas Tanjungpura yang bertahan hingga sekarang.
Di universitas ini, aku mengambil jurusan Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tahun 1997 aku selesai dan wisuda tanggal 11 Januari 1998.
Kini Untan semakin berkembang, baik fakultas maupun jurusannya. Bahkan terakhir dibuka Fakultas Kedokteran. Tapi sayang, orang mengenal Untan lebih sebagai satu-satunya universitas negeri di Pontianak, ketimbang karya-karya ilmiah yang lahir dari kampus ini. Tapi bagaimana pun, aku harus bangga dengan almamaterku.

Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Tuesday, July 3, 2007

Pandangan Pertama Begitu Menggoda


Banyak ragam komentar masyarakat tentang kehadiran Borneo Tribune di bumi Khatulistiwa ini. Tak mau narsis sih, tapi itulah faktanya. “Borneo Tribune tampilannya bagus, tak kalah dengan koran nasional”. “Borneo Tribune tampilannya lembut dan terkesan koren intelek. Dan banyak lagi ragam komentar yang bagus-bagus, namun ada juga yang mencela. Dan itu tantangan bagi kami untuk terus maju.
Sudah satu bulan lebih ini, kami mengelola koran yang lahir atas dasar idealisme ini. Dalam waktu yang relatif singkat itu, banyak tanggapan positif dari pembaca soal tampilan maupun isi yang "disajikan" Borneo Tribune.
Kami terbebani dengan berbagai pujia dan nama besar “Tribune”. Tak ada jalan lain, kami harus memperbaiki diri mulai dari isi hingga tampilannya yang enak bukan hanya dipandang, tapi juga dibaca.
Kehadiran Borneo Tribune juga membawa nuansa baru dalam dunia jurnalistik, kami menyampaikan berita dengan gaya bercerita. Jadi beda dengan pakem yang lazim di pakai selama ini. Lihat saja buktinya; pandangan pertama begitu menggoda dan penasaran untuk selalu membacanya.

Foto: By Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Sunday, July 1, 2007

Mahasiswa ISI Yogyakarta dan Borneo Tribune


Sabtu (30/6) sore, langit Kota Pontianak agak mendung, namun cuacanya panas banget. Ditambah lagi ac di kantorku tidak bisa dipakai, lantaran daya listrik tak cukup, komplitlah penderitaan karena panas itu.

Tapi beruntunglah, dalam suasana Kota Khatulistiwa yang panas, kami kedatangan tamu istimewa. Tamu 10 orang itu adalah mahasiswa ISI Yogyakarta yang sudi mampir ke kantor ku di Jalan Purnama Dalam No. 2, sore kemarin.

Mahasiswa jurusan photografer ini ingin memotret keindahan alam Kalbar. Mereka sengaja mampir ke kantor redaksi kami ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang Kalimantan Barat, sekaligus bersua sama dua seniornya yang kini bekerja bersama kami di Borneo Tribune, Lukas B Wijanarko (photografer) dan Zul MS (ilustrator/photografer).


Foto: By Lukas B Wijanarko

Baca Selengkapnya..