BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Thursday, February 21, 2008

Ah Rileks Kejab…



KAMIS (21/2) siang kemarin aku bersama teman kantorku berkunjung ke sebuah mal terbesar di pusat Kota Pontianak. Tujuan kami bukan belanja atau nonton di bioskop ataupun hanya sekedar jalan-jalan. Tapi ke sebuah salon terkemuka di Indonesia yang buka cabang di Pontianak untuk pijat repleksi.

“Ah hitung-hitung rileks kejab,” pikirku. Itu bahasa orang Pontianak yang memang terkenal dengan dialek Melayunya—mirip bahasa Malaysia kan?
Hari itu adalah pertama kali aku mengunjungi dan melakukan pijat repleksi di tahun 2008 ini. Tapi tahun 2007 lalu atau tahun-tahun sebelumnya jangan ditanya, hampir sebulan dua kali aku melakukan pijat repleksi untuk mengendurkan urat-urat yang kaku setelah bekerja keras selama sepekan penuh.
Demi kebugaran dan kecerdasan berpikir, aku selalu mengunjungi tempat itu. Maka tak heran beberapa pegawai salon itu sudah akrab denganku. Termasuk ada langgananku. Mereka tahu kalau aku datang pasti pegawai yang satu itu yang memijatku.
Memang sebulan terakhir badan memang terasa penat dan mudah capek. Maklum demi mengembangkan perusahaan kami yang baru, aku dan teman-teman harus keluar masuk daerah, termasuk ke Uncak Kapuas—Kabupaten Kapuas Hulu.
Bahkan dua bulan terakhir, keluar masuk daerah sudah menjadi “kerjaanku”. Termasuk pekan lalu dalam sepekan dua kali aku ke luar kota. Wuh, badan terasa remuk. Belum lagi otak yang harus terkuras mengedit berita wartawan. Padahal aku hanya duduk di belakang sopir aja alias tidak menyetir. Tapi tetap saja capek.
Taulah kualitas wartawan, beritanya ada yang memang sudah jadi, tapi kebanyakanya berita setengah jadi dan tidak jadi sama sekali.
Nah bila berita yang hanya mencantumkan data dan tidak jadi berita itu cukup lelah menyempurnakannya.
Apalagi aku harus menangani empat halaman sekaligus yang beritanya perhalaman rata-rata empat hingga enam berita. Bila sudah begitu, yang ada di benakku hanya menghindari kesalahan ketik dan mencocokan atau meluruskan logika berita itu saja, soal kualitas berita ya tunggu dulu, yang penting kuantitas agar halaman penuh.
Nah kalau kondisi itu terus-menerus terjadi sampai kapan kualitas jurnalis kita bisa bagus?
Ya memang itu tanggung jawab redaktur atau editor memperbaiki mutu jurnalis dalam hal ini reporternya agar bisa membuat berita yang bagus dan berkualitas.
Nah, untuk menunjang agar redaktur bisa selalu semangat dan mempunyai vitalitas yang tinggi, tak salah sekali-kali mengunjungi tempat terapi atau salon untuk sekedar pijat repleksi. Memang setelah pijat repleksi badan terasa bugar, dan otak juga terasa segar.
Beda lho orang yang kerja pakai tenaga dengan orang yang kerja pakai otak. Bila bekerja pakai tenaga, kalau sudah capek tidur, setelah bangun badan langsung bugar. Tapi bila bekerja dengan otak, kalau sudah capek tidur berapa lama pun badan tetap tidak segar, rasanya ada yang tidak beres. Sebab lelah otak bugarnya lama sekali. Dia butuh represing yang banyak dan mengkonsumsi makanan yang bergizi.
Dan salahsatu upaya mengembalikan kebugaran tubuh dan otak itu, selain olahraga tentu dengan melakukan pijat repleksi. Sebab pijat repleksi bermanfaat untuk melenturkan otot-otot yang kaku maupun syaraf-syarat yang tegang. Karena prinsip kerjanya melancarkan aliran darah ke jantung untuk dipompa kembali ke seluruh tubuh.
Nah bila Anda kecapean setelah kerja seharian atau berpikir seharian, tidak salahnya mendatangkan tempat seperti ini. Tapi salon yang benar lho, jangan yang plus, plus dan plus.□

Baca Selengkapnya..

Rebung Tengkuyung


Oleh Tanto Yakobus

REBUNG Tengkuyung. Bagi orang kampung macam saya, dari dengar namanya saja sudah pasti paham apa bendanya. Tapi bagi Anda, terutama di luar Kalimantan, mungkin kata rebung tengkuyung itu benda asing.

Sebetulnya rebung dan tengkuyung adalah dua benda yang berbeda bahkan tidak ada hubungannya sama sekali. Yang satu hidup di darat dan yang satunya lagi hidup di air. Perbedaan lain, yang satu tumbuhan dan yang satunya lagi mahluk yang hidup di air.

Rebung adalah tunas atau anakan bambu. Kalau di kampaungku, rebung biasa diambil untuk sayur. Bahkan bila diolah, rebung bisa disimpan lama bahkan bertahun-tahun. Tentu bila ingin menyimpannya lebih lama, maka rebung muda atau pucuk bambu yang masih menyerupai umbut itu harus dicuci terlebih dahulu, lalau diiris sesuai kebutuhan atau bisa juga tidak diiris, lalu direbus hingga warnanya berubah. Setelah itu dikeringkan dan dijemur hingga betul-betul kering.
Bila sudah kering, biasanya di kampung di simpan untuk persiapan menunggal ladang atau pesta lainnya. Rebung kering ini lebih enak bila disajikan sebagai bahan campuran lauk dengan masakan lodeh atau santan.
Sedang kan bila rebung segar, tenkuyung atau siput sungai ini adalah teman akrabnya. Biasanya ibu-ibu dikampung mencampurkan rebung, tengkuyung dan daun melinjo muda dan dimasak santan. Alamak, itu makanan kesukaanku. Itu masakah tradisional yang selalu aku minta ketika pulang kampung.
Bila dicampur dengan tengkuyung yang masih bercangkang, rebung yang biasanya pahit berubah menjadi manis rasanya, ditambah lagi wangsian khas daun melinjo hutan. Apalagi kalau dimakan siang hari di tengah hutan atau ladang, uh enak banget.
Sedangkan tengkuyung adalah adalah sejenis siput yang banyak ditemukan di sungai-sungai di Kalimantan. Hampir setiap sungai ada tengkuyungnya. Sama halnya dengan siput atau kerang di laut. Tengkuyung juga ada beberapa macam. Ada yang bentuknya panjang seperti gambar ini, tapi ada pula yang bentuknya bulat seperti keong.
Bila rebung dijadikan sayur, maka tengkuyung adalah lauknya. Selain sebagai campuran “bumbu” rebung sekaligus lauk, daging tengkuyung bisa diolah menjadi beberapa macam masakan. Termasuk bisa digoreng atau disambal.
Bagi orang kampung, tengkuyung adalah lauk murah meriah. Murah karena hampir tidak ada harganya, meriah, karena tengkuyung mudah dicari. Asal betah turun ke sungai aja, pasti dapat tengkuyung.

RABU (6/2) pekan lalu, saya bersama enam rekan dari kantor pergi ke Kabupaten Landak dan Sanggau. Memang selain ada keperluan kantor, tujuan kami juga sekaligus rekreasi. Kebetulan keesokan (Kamis, 7/2) adalah Tahun Baru Cina 2559 Imlek. Koran tidak terbit. Mengisi waktu, rekan-rekan ngajak ke Landak jumpa Bupati Landak, Adrianus Asia sekaligus imlek ke Bupati Sanggau, Yansen Akun Effendi.
Dengan menggunakan mobil kantor, kami pun berangkat menuju daerah timur Kalbar. Usai berurusan di Landak, kami lanjutkan perjalanan ke Sanggau dan nginap di Vila Jerusalem milik seorang teman di Sanggau.
Suasana bukit di vila cukup membuat otak segar, maklum selama ini bergulat dengan berita dan koran, hehehe orang koran ceritanya.
Pas hari imlek, kami bertamu dengan Bupati Sanggau, pak Akun—yang juga keturunan Tionghoa yang terpilih menjadi bupati Sanggau oleh anggota DPRD Sanggau tahun 2003 silam.
Puas imlekan dan berbasa-basi sebentar, kami pun pamit dan menuju Ngabang Kabupaten Landak selanjutkan ke Pontianak.
Nah, dalam perjalanan ke Pontianak ketika melintasi gunung Sehak—yang jalurnya berkelak-kelok bagai ular itu hampir di sepanjang bukit menuju arag Pontianak berderet pondok-pondok kecil untuk penduduk setempat berjualan sayur-sayur alami.
Benar, semuanya produk alam lho, jadi jangan khawatir ada bahan kimianya. Semua dihasilkan oleh alam. Itu juga yang menjadi pedoman orang Dayak mengapa mereka tidak bisa jauh dari alam, sebab hampir semua kehidupan mereka tergantung alam. Tak heran mereka sangat arif menjaga alam.
Tapi belakangan juga mereka tersingkir oleh perusahaan dan transmigrasi yang masuk besar-besaran ke Kalimantan termasuk Kalbar—kehadiran mereka turut memusnahkan alam yang indah dan menyediakan semua keperluan masyarakat adat tersebut.
Dan sekarang pun kita bisa merasakan ketika alam murka dengan mengirim berbagai bencana bagi kita.

NAH salahsatu sayuran alam yang mereka pajangkan di pondok-pondok kecil pinggir jalan tersebut adalah rebung dan tengkuyung tadi.
Melihat itu, aku pun teringat dengan ibuku di kampung yang kerap memasakan rebung dan tengkuyung buatku. Maka langsung saja aku pesan rebung dan tengkuyung. Oh ternyata harganya cukup murah, 3 kg harganya hanya Rp5.000 saja. 3 kg itu sudah satu kantong plastik besar lho. Belum lagi rebung, ternyata murah juga harganya. Rekan-rekan kantorku juga membeli rebung dan sayur lainnya, tapi mereka tidak membeli tengkuyung. Maklum benda itu masih asing bagi mereka, hanya aku yang membeli tengkuyung, “sebab temannya pasti rebung,” pikirku.
Sore kami sampai di Pontianak. Kebetulanya ada adikku datang, ia paham bagaimana masak tengkuyung dengan rebung. Kalau istriku, jangan tanya, dia juga gak tahu benda yang disebut tengkuyung itu, ia hanya tahu rebung. Apalagi memasaknya, ah sudahlah.
Keesokan harinya, adikku masakan rebung dan tengkuyung secara tradisional seperti ibuku di kampung.
Rebung dicincang kecil-kecil, kemudian tengkuyung juga dibersihkan. Setelah itu direbus saja lalu ditambah bumbu santan dan kunyit serta daun melinjo dan sedikit daun salam.
Setelah masak, uh lumayan banyak, satu panci besar. Karena banyak aku panggil Akim dan Alex Mering ke rumahku untuk menyantapnya bersama.
Benar saja, kami bertiga menyantapnya sepuas-puasnya. “Ngomong-ngomong terasa di kampung,” ujar Alex yang nambah sampai tiga kali. Demikian juga dengan Akim nambah terus………

Baca Selengkapnya..

Tuesday, February 19, 2008

Pelabuhan Dwikora


Oleh: Tanto Yakobus

Peringatan badan meteorologi dan geofisikan (BMG) pusat, akan ada badai menyusul cuaca buruk akhir-akhir ini, membuat sejumlah pelabuhan di Pontianak lengang. Peringatan itu ditujukan kepada sejumlah aktivitas pelayaran antar daerah maupun antar pulau untuk mengantisipasi musibah di laut.

Sepinya aktivitas pelayaran membuat pelabuhan Dwikora Pontianak lengang. Satu-satunya pelabuhan bertarap internasional itu sejak sepekan terakhir tidak ada kapal yang sandar di sana.
Padahal hari-hari sebelumnya, pelabuhan tersebut tidak pernah sepi dari aktivitas pelayaran; mulai dari angkutan orang maupun barang. Kabarnya, kapal-kapal berukuran besar tujuan Pontianak banyak tertahan di pelabuhan Tanjung Periok Jakarta maupun pelabuhan Tanjung Perak Semarang.
Perigantan BGM pusat langsung diteruskan oleh Adminitrasi Pelabuhan (Adpel) Pontianak, kepada seluruh aktivitas pelayaran se-Kalbar.
“Dalam dua tiga hari ini sebaiknya tidak melakukan pelayaran baik antar daerah maupun antar pulau, mengingat tingginya gelombang mencapai 3-4 meter. Demi keselamatan sebaiknya pelayaran ditunda,” kata petugas Adpel Pontianak, Pieter N, Senin (18/2) lalu.
Menurut Pieter, kondisi cuaca saat ini berdasarkan prakiraan BMG Pontianak menyebutkan adanya kecenderungan yang bersifat variabel. Namun yang paling berbahaya terjadi di perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Jawa dengan ketinggian gelombang rata-rata dua sampai 3,5 meter.
“Itulah sebabnya, kita mengimbau kepada seluruh nakhoda kapal agar tetap waspada. Dan yang pasti untuk kondisi saat ini, kita lebih bagus menunda perizinan pemberangkatan kapal yang hendak bertolak dari Pelabuhan Pontianak menuju Pulau Jawa, dengan pertimbangan kondisi cuaca,” jelasnya.
Lebih jauh Pieter menyebut, penundaan itu juga sangat situasional dan berdasar pada jenis kapal yang akan berlayar. Rata-rata yang ditunda keberangkatannya adalah jenis Kapal Layar Motor (KLM) yang berbobot mati hanya 150 GT. “Itu memang tidak memungkinkan untuk berlayar dengan ketinggian gelombang di atas tiga meter,” tegasnya.□

Baca Selengkapnya..

Saturday, February 16, 2008

Kisah Para Istri Tahanan

Tiap Hari Berurai Air Mata


Waktu masih menunjukan pukul 12.10 waktu Indonesia barat (wib), saat sekitar enam orang wanita dan beberapa anak kecil serta dua orang pria paruh baya duduk di pos penjagaan pintu masuk markas polisi resor (Mapolres) Sintang. Mereka adalah keluarga para tahanan yang mendekam di sel Polres Sintang.

Mereka harus menunggu hingga jam besuk tiba yaitu pukul 14.30. Namun Kaur Bin Ops Polres Sintang, T. Saragih yang mengantarkan saya berbaik hati dengan mengizinkan mereka langsung menjenguk anggota keluarga yang ditahan. Namun dengan cara bergilir, setiap 2 orang mendapatkan kesempatan untuk menemui anggota keluarganya yang ditahan selama 15 menit.
”Kami mau besuk suami, sekalian mengantarkan makanan. Anak-anak juga sudah rindu ingin ketemu ayah mereka, ” ujar Gusmayani, istri Alfred kepada saya yang menemuinya, Jumat lalu.
Wanita berkulit kuning langsat ini tengah mengawasi anak-anaknya yang bermain batu di depana pos penjagaan. Selanjutnya kepada saya, enam orang ibu ini berkenan membagi cerita duka yang selama 26 hari ini menghantui mereka siang dan malam.
”Tiap hari kami hanya bisa menangis dan bersedih. Kami tak tahu bagaimana nasib suami dan kami sendiri. Apalagi di kampung kami telah meninggalkan hutang yang banyak,” tambah Dayang Kumang yang juga ingin membesuk suaminya.
Dayang membawa satu anak perempuannya yang berumur kurang lebih 5 tahun. Kepada saya, ia mengaku mengumpulkan uang untuk bisa menjenguk suami di Polres ini. “Kami tadi bepupu (mengumpul) uang dapatlah berenam kami pergi ke sini,” katanya.
Saat ini kapal yang menjadi tempat berteduh mereka ditambatkan di pelabuhan SDF di Sungai Durian Sintang. Untuk pergi ke Polres mereka harus naik oplet dengan membayar Rp2.000 per orang.
Saat ditanya bagaimana dengan kebutuhan hidup mereka sehari-hari, Dayang mengatakan bahwa bekal yang mereka bawa dari Kapuas Hulu dulu hanya bisa auntuk bertahan seminggu kedepan. Selanjutnya ia tak tahu, dari mana akan memberi makan anak-anak mereka. Di dalam tiga kapal yang mendorong 800 batang kayu tersebut menurutnya ada belasan ibu-ibu dan anak keluarga para tahanan.
“Kami heran, kenapa baru kali ini kami ditahan. Padahal menjual kayu sudah kami lakukan turun-temurun,” ujarnya.
Dengan polos Dayang juga bercerita bahwa hampir di setiap pos penjagaan sampai ke Sintang ini mereka selalu memberikan sopoi (uang sogokan) kepada petugas keamanan. Namun, baru kali ini petugas keamanan yang menahan mereka. Dan di Sintang tidak mau diberikan sopoi.
”Kami tidak tahu mengapa kayu-kayu kami di tahan. Padahal biasanya kalau sudah di kasik uang kami bisa melanjutnya perjalanan. Tapi sekarang ini mereka tidak mau. Entah kurang banyak atau karena apa,” ujarnya seraya menitikan air mata.
Hal yang sama juga diungkapkana oleh Biyata, istri Anyuk yang datang menjenguk sang suami. ”Saya sudah mintakan izin anak saya untuk tidak masuk sekolah selama 2 bulan, tapi ini sudah hampir sebulan kami belum juga sampai ke Pontianak dan bisa menjual kayu-kayu itu,” katanya.
Satu pemadangan yang sangat menyentuh hati saat itu adalah seorang wanita yang rambutnya telah berwarna putih mengenakan kaos duduk bersimpuh di lantai pos. Di mulutnya masih terlihat potongan daun sirih yang terus di kunyahnya. Sri (80), sengaja ikut rombongan penjual kayu tersebut dimana ada dua anaknya karena ingin melihat Pontianak. Namun ia tidak tahu mengapa harus berhenti lama di Sintang. Dia juga tidak mengerti rakit kayu mereka telah ditahan aparat berwenang.
Saat mendapat giliran untuk menjenguk anggota keluaraga yang ditahan, Sri harus digandeng penjenguk yang lain. Karena Sri sudah lemah dan tidak bisa berjalan dengan cepat. Kepada saya ia juga mengaku sering pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Bahkan menurutnya ia pernah tersungkur jatuh.
Pemandangan lain yang sangat menyentuh hati saat itu adalah saat melihat Eka Julianti Pina (13). Putri salah satau tahanan ini badannya sangat kurus, matanya cekung. Sehingga tulang pipi dan tulang tangannya terlihat menonjol. Menurut pengakuan sang ibu yang masih mengendong balita berumur 8 bulan, Pina sudah 3 hari ini muntah-muntah dan tak bisa makan. Namun Pina tidak juga dibawa untuk berobat.
”Bagaimana mau pergi berobat, untuk makan saja kami susah,” ujar ibu ini lirih.
Siaran TV swasta nasional yang ada di dalam pos penjagaan menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Mata mereka tetap memancarkan kebahagiaan. Mereka tidak tahu jika kesedihan sedang bergelayut manja di hati para orang tua mereka. Saat sejumlah anggota polisi yang ada di pos penjagaan menikmati ransum makan siang, anak-anak kecil ini dengan pandangan lugu menyaksikannya. Bahkan kemudian salah satu dari mereka ada yang bercerita kalau sudah besar nanti ingin menjadi polisi.
Namun, tiba-tiba anak perempuan Dayang Kumang menangis, melihat anak Biyata menyuruput aqua gelas yang dibeli sang ibu. Dengan menangis ia meminta agar ibunya membelikan air yang sama juga. Tak kurang akal, Dayang memintakan air yang disediakan dengan dispenser kepada salah satu anggota polisi. Satu gelas plastik air putih itu pun akhirnya dinikmati oleh sejumlah anak yang ikut sang ibu menjenguk ayahnya.
Ditambahkan lagi oleh Gusmayani yang mengaku berasal dari Tayan Hilir, bahwa untuk melakukan perjalanan sampai ke Pontianak di perlukan kurang lebih dua drum solar sebagai bahan bakar kapal. Untuk di daerah Kapuas Hulu, per drum solar dijual dengan harga Rp1,5 juta. ”Ini pun masih utang, entah kapan kami bisa membayaranya,” ujaranya.□Endang Kusmiyati, Tanto Yakobus/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Sisi Lain Manusia “Tenda Biru”

Alfred: Semua ini Terdorong Persoalan Perut


AKHIR Januari lalu, ratusan warga dari sejumlah kecamatan dari Kabupaten Kapuas Hulu tiba-tiba mendatangi markas kepolisian resor Sintang di kawasan Jalan Dr Wahidin Sintang. Kedatangan ratusan warga Uncak Kapuas ini bukan tanpa sebab. Dari pekikan suara mereka terdengar jelas, bahwa mereka ingin agar ratusan batang kayu cempedak hutan yang kini ditahan pihak Polres Sintang dibebaskan.

Tidak hanya itu, mereka juga ingin agar 33 rekan mereka yang tengah di tahan di Polres Sintang juga dibebaskan. Namun, teriakan tinggal teriakan. Karena hukum tidak mungkin berubah hanya karena teriakan, apalagi teriakan masyarakat kecil seperti mereka. Walau ada pameo yang mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, namun hal itu tidak berlaku pada kasus yang disebut sebagai illegal logging.
”Kami bukan pelaku illegal logging. Karena kayu itu kami ambil di ladang kami sendiri, di wilayah adat kami sendiri. Kami tidak mau disebut pelaku illegal logging,” ungkap Abdurahman dengan tegas.
Ungkapan ini diamini oleh sebagian besar masyarakat yang turun ke Sintang akhir Januari lalu. Tegasnya, masyarakat enggan disebut jika mereka adalah pelaku illegal logging. Alasannya cukup logis, karena kayu-kayu itu mereka ambil di wilayah mereka sendiri dan tidak diperdagangan ke luar daerah.
Selain itu kayu-kayu tersebut adalah jenis kayu yang boleh dikatakan tidak berkelas sama sekali. Hanya kayu cempedak air dan renggas dan sejenisnya yang hidupnya tidak jauh dari pesisir pantai Sungai Kapuas yang diangkut dengan tetesan keringat. Tanpa menggunakan alat berat namun hanya memanfaatkan tingginya muka air yang menggenangi ladang mereka. Yang lebih utama lagi, menebang dan menjual kayu itu memang telah menjadi aktivitas turun-temurun warga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tegasnya ini adalah persoalana perut.
Sudah sekitar 26 hari, 33 pria yang rata-rata telah berkeluarga mendekam dalam sel di kantor Polres Sintang. Mereka tidak tahu kapan mereka akan bebas, kembali ke kampung mereka dan beraktivitas seperti biasa.
Anyuk (40), pria berbadan kurus ini mengaku dirinya hanyalah korban dari penangkapan kayu tersebut. Pasalnya tak sebatangpun dari sekitar 800 batang kayu yang ditahan pihak keamanan menjadi miliknya. Ia hanyalah seorang petani kampung yang memiliki sebuah motor air. Karena didesak oleh sejumlah rekannya maka ia pun bersedia jika kapalnya menjadi salah satu kapal yang mendorong kayu-kayu log tersebut untuk dibawa ke Pontianak.
Awalnya ia mengaku menolak diajak rekan-rekannya untuk ikut menjual kayu ke Pontianak. Namun karena alasan bahwa kayu-kayu yang akan dijual tersebut telah dilengkapi dengan dokumen, ia pun akhirnya memutuskan untuk ikut. Istri dan satu orang anaknya yang masih berumur 4 tahun pun dibawanya serta. Sementara anak tertuanya yang masih duduk di bangku kelas 1 SD di tinggalkannya di kampungnya.
Keseharian aktivitas warga Kampung Kepala Pintas Kecamatan Ambalau Hilir ini adalah bertani. Dengan kebun karet seluas kurang lebih 1 Ha, ia berusaha mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Kadang bila air tidak sedang pasang atau banjir ia berladang. Menaman padi dan beberapa jenis sayuran. Namun, karena ladang miliknya tak jauh dari tepi pantai Sungai Kapuas, maka saat air pasang, seluruh tanaman padinya mati terendam air.
Ia pun gagal panen, padahal tanaman padinya saat itu telah berumur 3 bulan dan telah dalam masa ngampar. Tidak hanya gagal panen, rendaman air juga membuatnya dan warga lain tak bisa menoreh getah di pohon karet mereka. Pada kondisi seperti inilah, ia dan warga desa lainnya akan mencari alternatif untuk pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, disaat musim hujan dan banjir selama bulan Desember-Januari.
Getah karet pun yang ditoreh satu haripun menurut Anyuk tidak bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Dalam satu hari menurutnya ia bisa mendapatkan sekitar 6 kg getah. Di kampungnya sendiri satu kg getah dihargai Rp6.000. Dengan uang Rp36 ribu tersebut ia harus membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya yang harganya terus meningkat. Jika ia tidak dapat menoreh karena hari hujan atau sebab lain, maka ia pun terpaksa berhutang di warung tetangganya tersebut. Selanjutnya saat ia menjual getah karet, maka akan dipotong dengan hutang sebelumnya. Begitulah selalu urutan kehidupan masyarakat di desanya.
”Saya sering mendesak mereka di dalam sel, kalau memanag ada cukong di belakang ini semua, tolong disebut saja. Kita yang sakit, tapi dia hanya enak-enak saja. Anak dan istri kami jadi terlantar, tapi dia tetap bisa berkumpul dengan anak dan istrinya,” paparnya.
Selanjutnya Alfred (37), mempunyai 3 anak dan merupakan Kades Desa Kiri Nangka Kecamatan Putusibau Utara. Kepada saya saat ditemui di ruang Kaur Bin Ops Polres Sintang, T. Saragih. Ia mengaku hanya memiliki sekitar 80 batang kayu log. Itupun ia kongsi dengan dua saudaranya. Jika dihitung-hitung, Kades ini memiliki sekitar 40 meter kubik kayu. Jika per kubik kayunya miliknya dihargai sekitar Rp120 ribu, maka ia akan mengantongi uang sekitar Rp4,8 juta. Jika dihitung secara ekonomi, uang hasil penjualan kayunya ini tidaklah seberapa. Karena sebelum berangkat ia telah mengaku meminjam sejumlah uang kepada pemilik warung yang ada di kampungnya.
Karena meminjamnya setengah memaksa maka ia dan 18 warga desanya harus membayar bunga pinjaman sebesar 30 persen tiap bulannya. Selain pinjaman uang, ia juga mengaku mengambil sejumlah kebutuhan pokok sebagai bekal selama melakukan perjalanan ke Pontianak, pun dengan hutang juga. Artinya saat ia pulang ke kampungnya nanti, maka ia harus membayar hutang-hutangnya tersebut.
Alfred sendiri baru diangkat menjadi kepala desa belum lengkap setahun, karena desanya merupakan desa hasil pemekaran. Saat disinggung tidakkah ia menggunakan dana ADD yang diterimanya untuk kebutuhan operasionalnya. ”Dana itu kan untuk pembangunan, bukan untuk kepala desa saja. Desa kami juga belum mendapatkan ADD, karena baru dimekarkan 2007 lalu,” paparnya.
Lebih lanjut pria yang mengenakan kaos oblong putih dan tamat SMA ini mengatakan bahwa dirinya tidak tahu banyak tentang illegal logging. Tentang istilah tersebut, ia hanya tahu bahwa yang disebut illegal logging adalah bila mengambil kayu dari hutan dengan menggunakan alat dan dilakukan oleh perusahaan. Ia pun berjanji apa yang dialaminya selama dalam bui di Polres Sintang akan dijadikannya pelajaran dan disampaikan kepada maysrakatnya jumlahnya sekitar 153 KK. ”Ini yang pertama dan yang terakhir kali buat saya mbak,” tegasnya.
Alfred juga menegaskan bahwa 100 persen warga desanya adalah petani, yaitu berladang dan menoreh. Namun saat musim banjir tiba, bekerja kayu selalu menjadi alternatif utama. Jika tidak begitu maka bisa-bisa masyarakat di desanya akan kelaparan. Kalaupun tidak pilihan lainnya adalah menumpuk utang di warung.
Sama halnya seperti yang disampaikan oleh Anyuk, menurutnya kayu-kayu yang dibawanya dari Kapuas Hulu dan sampai ke Sintang setelah memakan perjalanan selama 5 hari 5 malam memang tidak dipesan oleh siapapun. Sehingga menurutnya tidak benar jika ada cukong kayu yang memback up mereka. Ia sendiri berani ikut menjual kayu lantaran tahu salah satu rekannya dengan lolos sampai ke Pontianak. Padahal jenis kayu dan surat yang dimilikinya sama.
Walau ia juga tahu bahwa di setiap pos penjagaan yang dilaluinya, ia dan rekan-rekannya harus mengeluarkan jutaan uang sebagai sopoi. Informasi yang saya terima, untuk sampai ke Sintang telah ada 7 pos penjagaan yang dilewati partai kayu milik mereka ini. Dan di 7 pos penjaagaan tersebut, dana yang mereka keluarkana telah mencapai Rp30 juta untuk sopoi saja.
Selasa (12/2) lalu, Wakil Bupati Kapuas Hulu, Drs Y Alexander M.Si didampingi stafnya dari dinas kehutanan, Jantau, S.Sos dan anggota DPRD A.Mayu datang mengunjungi 33 masyarakat Kapuas Hulu yang tengah di tahan di Polres Sintang tersebut. Menurut Alfred wakil bupati memintanya untuk bersabar. Namun ia tak tahu bersabar seperti yang harus mereka miliki. ”Kami sangat berharap bisa keluar dari tahanan ini. Kalau pun kami harus di sel, kenapa kami tidak ditahan di Kapuas Hulu saja. Karena kami kan warga sana,” ujarnya.
Dengan ditahannya mereka di Sintang, menurutnya banyak masalah dan kesulitan yang ditemui. Mereka tahu bagaimana nasib anak istri mereka yang kini berada di atas kapal yang tertambat di Sungai Kapuas sana. Walau diakui Alfred, Anyuk dan juga Sabinus, saat membesuk Selasa lalu, wakil bupati memberikan bantuan dana sebesar Rp2 juta.
”Uang itu kami bagi sama rata dan kami berikan kepada istri-istri kami yang ada di kapal sana. Kami tidak tahu dari mana anak dan istri kami memperoleh makanan,” ujarnya sedih.
Keinginan Alfred yang juga menjadi keinginan 32 tahanan yang lainnya untuk dipindahkan ke Kapuas Hulu agar istri dan anak mereka tetap bisa bekerja di desanya. Selain itu anak-anak yang telah sekolah juga dapat tetep bersekolah. ”Dengan kejadian ini saya berharap nantinya masyarakat seperti ini bisa mendapatkan penyuluhan tentang hukum khususnya tentang illegal logging ini. Karena kami tidak mau hal ini terulang kepada masyarakat yang lain,” pinta Alfred seraya mengatakan semua ini terdorong oleh persoalan perut.

Jadi Penonton
Satu hal yang membuat Alfred terusik tentang nasib buruk yang menimpanya dan 32 rekannya yang lain. Tak jauh dari desanya selama 4 tahun ini telah beroperasi perusahaan kayu yaitu PT. Bumi Raya. Perusahaan ini menurutnya mengambil kayu-kayu dari hutan yang ada di sekitar desanya. Namun, ia dan masyarakatnya hanya menjadi penonton saja atas beroperasinya perusahaan tersebut.
Alfred mengaku pernah beberapa kali mengajukan permohonan bantuan kepada perusahaan tersebut, tapi tak sepeserpun bantuan yang diterimanya. Padahal ia berharapa keberadaan perusahaan yang tak jauh dari desanya itu bisa memberikan kontribusi bagi desanya. Bahkan tak satu pun dari warga desanya yang ikut bekerja di perusahaan tersebut. ”Kami hanya jadi penonton saat alat-alat berat perusahaan itu membawa kayu dari hutan kami. Padahal jarak tempat beroperasinya perusahaan dengan desa kami hanya sekitar 4 KM,” katanya.
Saat ditanya jenis dokumen yang melengkapi kayu-ayu tenda biru tersebut, Alfred mengatakan bahwa sebagai Kades ia hanya memberikan surat keterangan bahwa kayu tersebut adalah benar-benar milik masyarakat. Surat tersebut juga diperkuat dengan tanda tangan ketua adat setempat.
Menjadi tahanan polisi, siapapun pasti tak menginginkannya. Karena imej yang diberikana masyarakat terhadap bekas tahanan tentu sangat tidak baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi Alfred dan rekan-rekannya. ”Kami tidak malu kalau bebas dan pulang kampung nanti. Karena masyarakat tahu kami ini benar. Kami tidak mencuri atau melakukan kejahatan. Justru warga kampung mendukung perjuangan kami. Kenapa kita tidak bisa menikmati hasil dari tanah kita sendiri?” tegasnya setengah tanya.
Satu lagi warga Kapuas Hulu yang ditahan di Polres Sintang yang saya temui adalah Sabinus (19). Pria lajang berambut cepak ini mengaku hanya tamat SMP. Selanjutnya ia pulang ke desanya Tanjung Beruang Kecamatan Putussibau Utara untuk membantu orang tuanya. Anak ke 5 dari 8 bersaudara ini mengaku bahwa kegiatan yang dilakukannya setiap hari hanya menoreh karet dan kemudian mencari ikan. Dalam satu hari terkadang ia bisa mendapatkan 2-3 kg ikan, lalu dijualnya dengan harga Rp5 ribu per kilonya. Semua hasil kerjanya itu ia berikan kepada orang tuanya. Dengan uang hasil pancingannya tadi, orang tuanya biasanya membelikan beras yang perkilonya mencapai Rp7 ribu dan minyak goreng seharga Rp12 ribu per kilo.
Dengan ikut bekerja kayu, Sabinus berharap bisa memberikan uang yang lebih banyak kepada orang tua. Namun, kini ia merasa bingung dan sedih karena dia dan abangnya sama-sama di tahan di Polres Sintang. ”Kasihan saya meninggalkan orang tua saya di kampung. Pasti tidak ada lagi yang membantu mereka. Karena adek-adek saya masih kecil-kecil,” ujarnya kebinggungan.□Endang Kusmiyati, editor:Tanto Yakobus/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..