BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Thursday, May 29, 2008

Kepemimpinan SBY di Mata Dino

Peresensi Budi Setiawanto/Antara


Presiden SBY menerima kunjungan Thaksin Shinawatra, mantan PM Thailand, di Kantor Presiden, Rabu (28/5) pagi. (foto: haryanto/presidensby.info)


WIMAR Witoelar pernah menulis buku "No Regret" berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid. Kini giliran Dino Patti Djalal menulis buku "Harus Bisa! Seni Memimpin a la SBY" juga berisi kesan-kesannya selaku Juru Bicara Presiden mengenai gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua buku itu mengungkap pencitraan figur Presiden dari kaca mata penulisnya.

Wimar menyebut Abdurrahman Wahid sebagai "the greatest man" (orang termasyhur), Dino menyebut SBY sebagai atasan, sahabat, dan mentor yang tidak ada bandingannya.
Bedanya, Wimar menulis tatkala Gus Dur alias Abdurrahman Wahid telah lengser, sedangkan Dino menulis buku itu saat SBY masih berkuasa. Buku Wimar ditulis dalam bahasa Inggris, buku Dino dalam bahasa Indonesia.
Buku Dino lebih detil dalam penulisan karena ditulis berdasar catatan harian selama mendampingi SBY meskipun tak bisa ditemui hal-hal yang berisi ketidaksetujuan penulis terhadap SBY apalagi kritik penulis terhadap kekurangan SBY.
Padahal SBY telah berpesan, "Dino, kalau engkau ingin menulis tentang apa yang saya pikir dan lakukan, tulislah secara obyektif. Ceritakan tentang kebenaran, say what I do, what I have done. Itu abadi, Din." Dino hanya mengatakan, "Buku ini saya tulis dengan hati nurani yang bersih."
Sebenarnya ada "ketidaksetujuan" Dino ketika SBY memutuskan akan langsung ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari Jayapura tatkala mendengar kabar terjadi gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004. Saat itu mereka dan rombongan sedang berada di Bumi Cenderawasih untuk menghadiri perayaan Natal.
Dino menyarankan SBY ke Jakarta terlebih dahulu dengan pertimbangan antara lain kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum jelas dan kedatangan di Jakarta bisa memberi waktu untuk mempersiapkan kunjungan ke Aceh yang lebih matang.
Namun Dino tak berani menunjukkan ketidaksetujuannya secara langsung ke SBY. Ia ungkapkan hal itu pada halaman 4 dengan kalimat "Jujurnya, malam itu saya masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan yang tepat."
Alhasil Dino berujar, "Keputusan Presiden SBY untuk segera `maju ke depan` dan tiba di Aceh pada hari kedua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan kebijakan pemerintah setelahnya." (halaman 6).
Sebaliknya Dino mengkritisi Amien Rais yang juga telah berada di Aceh tetapi tidak merespon tawaran SBY saat rapat darurat bersama di Pendopo Gubernur Aceh untuk memberi komentar, tambahan, atau usulan penanganan bencana dahsyat itu.
"Beliau justru memilih mengeluarkan kritik pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat bersama seluruh pejabat," tulis Dino tentang Amien Rais dalam buku yang diterbitkan oleh "Red & White Publishing" itu.
"Saya dulu kebetulan juga pengagum Amien Rais namun dari peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para pemimpin masa depan: ada masanya di mana semua pemimpin bangsa harus dapat melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis nasional."(halaman 8).
Buku setebal 437 halaman plus 18 halaman untuk lembar dedikasi, kata pengantar, dan daftar isi ini berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY.
Dalam Bab I bertajuk "Memimpin Dalam Krisis", dari bencana Aceh, Dino menyimpulkan kepemimpinan SBY sangat tepat karena dalam krisis selalu berada di depan dan mengubah krisis menjadi peluang tercipta perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dari kasus penculikan wartawan Metro TV oleh gerilyawan Irak, Dino menilai SBY merespon masalah secara "realtime" (seketika), ketika menaikkan harga BBM pada 2005 Dino menilai SBY pemimpin yang berani mengambil risiko, saat prihatin atas penculikan bocah berusia 5 tahun bernama Raisya, SBY dinilai Dino sebagai pemimpin yang melakukan hal tepat.
Bab II bertajuk "Memimpin Dalam Perubahan" berisi penilaian Dino tentang kepemimpinan SBY dalam birokrasi. Dino menilai SBY sebagai pendobrak birokrasi. "SBY tahu sekali bahwa birokrasi tidak akan mengubah dirinya sendiri kecuali mulai diubah oleh pimpinan politik," tulis Dino pada halaman 78.
SBY juga dinilai sebagai pemimpin yang bisa melakukan transformasi diri. Menurut Dino, sejak SBY dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2004 ada empat transformasi diri yang dilakukan yakni menjadi seorang ekonom, menjadi "crisis leader", mendudukkan diri di atas kepentingan golongan (above politics), dan menjadi negarawan internasional.
Pendek kata, menurut Dino, SBY telah memaksa diri dan dipaksa situasi untuk menggali kemampuan baru sekaligus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.

"SBY Tidak"
Bab III bertajuk "Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan" menggambarkan kepemimpinan SBY yang merakyat dan penuh ketulusan hati.
Dino memperhatikan ada teknik SBY yang baik disimak oleh calon pemimpin.
Kalau SBY menjabat tangan seseorang maka untuk dua atau tiga detik itu perhatiannya akan terfokus hanya pada orang di depannya: tangannya diremas erat, matanya menatap bola mata orang itu, dan senyumnya diarahkan hanya pada orang itu.
SBY seolah-olah mengatakan kepada orang yang disapanya, "Di sini, detik ini, hanya ada saya dan kamu."
"Hal ini penting karena bagi saya tidak ada yang lebih menyebalkan daripada menjabat tangan seseorang yang matanya menerawang pada orang lain," tulis Dino pada halaman 153.
SBY juga digambarkan Dino sebagai pemimpin yang ingin langsung mendapat masukan dari rakyat untuk mewujudkan demokrasi langsung.
Contoh yang tampilkan adalah ketika dialog SBY dengan para petani di Waduk Jatiluhur pada 11 Juni 2005.
Pada acara itu SBY memberi nomor telepon genggamnya (0811109949, buku Dino tidak menyebutkan nomornya) yang bisa dihubungi 24 jam sehari.
Akibatnya, nomor telepon SBY itu mengalami gangguan karena tak mampu menampung banyaknya orang yang mengirim pesan melalui layanan pesan singkat (SMS).
Hal terpenting dalam Bab III itu adalah kesan Dino bahwa SBY merupakan pemimpin yang konsisten menjaga warna politiknya dan menjunjung tinggi etika politik.
"Yang lain bisa saja berpolitik kotor: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan isu bohong melalui SMS atau fitnah keji melalui media: SBY tidak. Yang lain bisa bermain politik uang: SBY tidak. Yang lain bisa kampanye hitam: SBY tidak. Yang lain bisa melancarkan politik penghancuran: SBY tidak. Yang lain bisa menyebarkan selebaran gelap: SBY tidak. Yang lain bisa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan: SBY tidak." (halaman 178).
Sejumlah penebar fitnah disebut seperti Eggi Sudjana dan Zaenal Ma`arif tetapi terhadap salah seorang mantan petinggi TNI Dino hanya berani menyebut "Jenderal X".
Dino pun menjadi tahu perilaku standar dari penebar fitnah. Pertama, mereka melontarkan fitnah biasanya dengan cara bombastis dan sikap penuh keyakinan. Kedua, mereka dengan keras kepala mengancam membeberkan bukti-bukti untuk mendukung fitnah itu. Ketiga, setelah proses hukum berjalan mereka meminta maaf dengan segala kerendahan hati kepada orang yang difitnah agar terhindar dari bui.
Dari kasus tersebut, Dino menggambarkan bahwa SBY merupakan pemimpin yang pemaaf, tiada dendam.
Surat balasan SBY atas permohonan maaf dari Zaenal Ma`arif pun tertera pada halaman 211-214 buku ini. Surat balasan itu ditulis sendiri oleh SBY dan orang yang membacanya akan melihat dengan jelas akhlak dari SBY, kata Dino.
Bab IV bertajuk "Memimpin Tim dan Membuat Keputusan" memaparkan gaya kepemimpinan SBY yang sangat mementingkan kekompakan kabinet karena banyak menteri yang berasal dari partai politik. SBY selalu menegaskan bahwa selama menjadi menteri maka loyalitas adalah kepada Presiden dan Pemerintah.
Namun kenyataan mencatat bahwa SBY beberapa kali merombak kabinet dengan beragam alasan yang intinya menunjukkan bahwa kekompakan kabinet merupakan salah satu kerikil pemerintahan SBY.
Pada bab ini pula digambarkan bahwa SBY membela juru bicara Andi Mallarangeng atas desakan pimpinan DPR agar jangan terlalu banyak berkomentar dan Dino yang disebut-sebut sebagai agen asing.
Atas tudingan sebagai agen asing, Dino pada halaman 225 menulis, "Saya sudah mengabdi untuk Republik selama 20 tahun lebih dan saya lahir dari keluarga Pegawai Negeri yang nasionalis. Jadi bisa anda bayangkan betapa gregetnya perasaan saya mendengar celotehan `edan` seperti itu."
Dalam pengambilan keputusan, Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas).
Dalam ilmu manajemen ada istilah "thinking on your feet" atau orang yang dapat berpikir sambil berdiri. Bagi Dino, SBY melakukan lebih dari itu: beliau bisa "deciding on the run" atau mengambil keputusan sambil berlari.
Judul buku ini diambil dari subbab bertajuk "Harus Bisa!" dalam Bab IV. Dalam menghadapi setiap situasi, SBY selalu mengatakan kepada pembantunya,"Harus Bisa!".
"Beliau paling tidak suka kalau ada pembantunya yang sudah kalah atau jatuh mental sebelum bertarung. Berkali-kali SBY menyatakan dalam pidato publiknya: Kita jangan menjadi bangsa yang cengeng dan manja," tulis Dino pada halaman 254.
Pada Bab V bertajuk "Memimpin Di Pentas Dunia", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis.
"Sebagai diplomat profesional, saya berpendapat bahwa SBY adalah salah satu `foreign policy President" terbaik selama ini," tulis Dino pada halaman 284-285. "Foreign policy President" merupakan istilah diplomasi tentang tipe Presiden yang mempunyai perhatian besar pada dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.
Selain sebagai sosok nasional dan internasionalis, pada bab ini Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menyentuh hati dan menyembuhkan luka, percaya diri dalam mengambil sikap, peka terhadap situasi, menanam dan memanfaatkan "political capital" dalam diplomasi, mengukir sejarah diplomasi, dan menggagas ide melahirkan inovasi.
Pada bab VI bertajuk "Memimpin Diri Sendiri", Dino menggambarkan SBY sebagai pemimpin yang menghormati ketepatan waktu, menjadi diri sendiri, pemimpin yang tidak mendewasakan kekuasaan, dan pemimpin bermental tangguh.
Bila Wimar tak ada penyesalan menjadi juru bicara Gus Dur, Dino tentu saja sangat bangga menjadi juru bicara seorang Presiden yang ia gambarkan sangat perfeksionis.
"Saya sering merasa seperti kuda lumping yang mengejar kuda balap," tulis Dino dalam epilog.
Banyak pernyataan SBY dan cerita menarik yang belum diberitakan sebelumnya dapat disimak dalam buku yang dihiasi parade ratusan foto kegiatan SBY.
Dalam pengabdian kepada SBY, Dino menulis bahwa yang ada hanyalah kehormatan dicampur kecemasan apakah telah memberikan yang terbaik kalau tiba masanya meninggalkan Istana.□Edisi cetak muat di Harian Borneo Tribune.

Baca Selengkapnya..

Wednesday, May 28, 2008

Elemen ke-10 Jurnalisme

Oleh Tanto Yakobus

SAYA baru dengar langsung dari Andreas Harsono, teman sekaligus guru saya ketika belajar menulis panjang dengan model narativ reporting atau istilah lain, jurnalisme sastrawi. Dia bilang buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang memuat sembilan elemen Jurnalisme sudah direvisi. “Jadi sekarang ada 10 elemen jurnalisme,” ujar AH—sebutan Andreas Harsono, dalam diskusi kecil kami membahas program kerja kami di rumah Pak Kristianus Atok, pekan lalu.

Buku yang membuka cakralawa wartawan dalam menulis itu, kata AH sudah direvisi. Jadi sekarang ada 10 elemen jurnalis yang erat kaitannya dengan dunia teknologi.
Sebelum dia menjelaskan petautan program kerja kami yang memang di bidang jurnalis, yakni memperbaiki mutu jurnalis di Indonesia, dia cukup panjang lebar menjelaskan elemen ke-10 dari gurunya, Bill Kovach.
Bila AH bertekat memperbaiki mutu jurnalis di Indonesia, kami cukup memperbaiki mutu jurnalis di tingkat kampung saja. Itu sudah cukup bearti. Sebab kami akan memulainya dari desa ke kota.
Tapi sayang, ketika itu AH belum bisa membawa buku revisi yang memuat elemen ke-10 karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel itu. “Nanti suatu saat saya kesik deh,” kata AH kepada kami malam itu.
Tapi sebelum mendapatkan bukunya, saya membuka situ www.pena.co.id yang memang sering saya patroli disana untuk mendapatkan info baru. Sebab tak jarang info yang ditampilkan di situs tersebut selain uptude juga banyak kaitannya dengan wartawan.
Karena banyak kebertautannnya itulah, maka saya juga sering mampir ke situs dimaksud. Dan Rabu (28/5) ketika saya patroli kembali ke situs tersebut, saya sungguh beruntung, ternyata ada penjelaskan yang cukup tentang elemen ke-10 tersebut yang dijelaskan secara gamblang oleh saudara Farid Gaban. Kebetulan Farid Gaban sudah mendapatkan buku tersebut sebagai oleh-oleh dari koleganya, Uly Siregar, Paul dan Alana Skiera dari Amerika Serikat.
Jadi saya termasuk orang yang beruntung menemukan resensi yang dibuat Farid Gaban, dan ini saya pikir semakin menambah pemahanan saya tentang ilmu jurnalistik yang dikembangkan oleh Bill Kovach—yang diteruskan oleh muridnya, AH kepada saya.
Ketika AH menyinggung elemen ke-10, saya sudah penasaran seperti apalagi bentuknya. Yang ada sekarang saja, hanya sedikit orang yang mampu memahaminya. Itu pulalah mengapa mutu jurnalis di Indonesia sangat-sangat buruk, tak lebih dari sekedar jurnalisme ludah yang sudah dikatakan oleh pratisi-pratisi jurnalis jauh sebelumnya.
Kasarnya, jurnalis di Indonesia tidak lebih dari sekedar memindahkan bibir orang ke koran atau majalah atau media elektronik saja. Dia minim investigasi yang mempu mengungkap fakta. Yang ada jurnalis yang berpihak kepada pejabat dan bila pejabat bersalah langsung menghakimi seperti hakim di pengadilan.
Itulah gambaran jurnalis kita, dia tidak pekan dan berpihak kepada kepentingan publik, kepentingan rakyat kecil. Dia hanya berpihak kepada pemilik modal dan model baru sekrang jurnalis malah lebih berpihak kepada investor atau pemilik media itu sendiri.
Walau Farid tidak membuat resensinya secara lengkap, tapi sudah cukup memberi pemahaman kepada saya.
Nah, berikut tulisan saudara Farid Gaban, saya posting secara langkap yang diambil dari situ www.pena.co.id.

Tentang Elemen ke 10 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel

Oleh Farid Gaban
Saya baru membaca sebagian dari edisi revisi dari buku The Elements of Journalism (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel). Jadi, belum bisa menulis resensi yang lebih lengkap. Tapi berikut ini quick review.
[Terima kasih buat Uly Siregar, Paul dan Alana Skiera yang telah membawa oleh-oleh buku ini dari Amerika].
Dalam buku baru ini, Kovach dan Rosenstiel memasukkan elemen ke-10: "Citizens, too, have rights and responsibilities when it comes to the news."
Kovach dan Rosenstiel mengkaitkan elemen terbaru ini dengan
perkembangan teknologi informasi (internet khususnya) dalam beberapa tahun terakhir: munculnya blog dan online journalism serta maraknya jurnalisme warga (citizen journalism), community journalism dan media alternatif.
Ini elemen yang memang penting, sesuai dengan sub-judul buku asli
mereka: "What Newspeople Should Know and the Public Should Expect."
Teknologi informasi muatkhir memungkinkan orang, siapa saja,
memproduksi berita. Inilah era yang disebut oleh Alvin Toffler,
seorang futurolog pada 1980-an, sebagai era prosumsi (produksi dan konsumsi). Publik atau masyarakat bisa menjadi produsen dan konsumen sekaligus.
Munculnya blog, jurnalisme warga dan media alternatif sebenarnya
juga diilhami oleh kekecewaan publik terhadap media mainstream yang sekarang ada, sebagian besar karena kesalahan para wartawan dan pemilik media sendiri.
Tingkat kepercayaan publik terhadap media terus merosot. Di Amerika, misalnya, sebuah survai 1999 menunjukkan bahwa hanya 21% masyarakat yang menilai pers peduli pada rakyat, terjun bebas dari 41% pada 1987. Hanya 58% yang mengakui pers sebagai lembaga watchdog, turun dari 67% pada 1985. Kurang dari separo responden, 47%, yang percaya bahwa pers melindungi demokrasi.
Kecenderungan yang sama, kita bisa menduga, juga terjadi di Indonesia. Liberalisasi industri media setelah reformasi tidak serta merta meningkatkan pamor pers. Pengalaman pribadi saya justru menunjukkan bahwa masyarakat sekarang jauh lebih sinis terhadap media dan profesi kewartawanan, ketimbang 20 tahun lalu.
Liberalisasi itu sendiri menurut saya penting. Namun, nampaknya perlu diimbangi oleh peningkatan mutu karya jurnalistik serta ketaatan wartawan terhadap kaidah dan etika jurnalisme.
Kekritisan dan sinisme masyarakat terhadap media mainstream itu
penting dan bermanfaat. Masyarakat memang sebaiknya mamahami kaidah jurnalistik dan dengan begitu bisa mengontrol pers, yang pada gilirannya memacu wartawan dan pemilik media untuk kembali merenungkan eksistensinya sendiri: untuk apa sebenarnya jurnalisme ada?
Kovach dan Rosenstiel kembali mengingatkan kita para wartawan untuk mengkaji serta mengenali kembali prinsip-prinsip dasar jurnalisme agar kita tidak makin tersesat jauh dari publik. Dan khususnya dalam elemen ke-10, buku baru ini mengingatkan publik untuk ikut serta memperkaya jurnalisme dan mengontrol pers.
Jurnalisme terlalu penting untuk hanya dipercayakan kepada para
wartawan, atau mereka yang mengaku wartawan.*** (Farid Gaban]

Baca Selengkapnya..

Monday, May 26, 2008

"Putri Dayak" dari Paman Sam


Oleh Tanto Yakobus

ADA yang unik selama pagelaran Pekan Gawai Dayak yang berlangsung dari tanggal 18 hingga 24 Mei 2008 lalu di Pontianak. Seorang wanita cantik tampak menonjol dari kaum hawa lainnya di arena Pekan Gawai Dayak itu. Dara berkulit putih, hidung mancung, rambut pirang dan bermata biru itu berasal dari Amerika Serikat. Dia adalah Laura Steckman (31).

Kandidat Doktor Univerty of Wisconsin Medison itu rajin mengunjungi stand-stand pameran selama berlangsungnya Pekan Gawai Dayak. Selain mengunjungi stand pameran, dia juga tampak serius menyimak setiap lagu maupun tarian yang ditampilkan oleh setiap sanggar yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) Kalimantan Barat.
Dia ramah menyapa setiap siapa saja yang dia temui. Senyumnya selalu merekah dari bibirnya titip sembari mengikuti pandangan matanya yang biru itu.
Walau baru tujuh bulan di Indonesia, dia sudah fasih sekali berbahasa Indonesia. Bahkan bahasa Indonesianya sempurna sekali baik dari aksen maupun tata bahasanya. Semuanya sudah beraturan menurut ejaan yang disempurnakan (EYD).
Ketika saya meminta mewawancaranya untuk blog, ia sangat antusias menyambutnya. “Oke saya senang sekali, nanti saya telepon mama saya di Amerika membaca blognya,” katanya ramah.
“Mama cukup khawatir dengan saya yang jauh dari dia, bila ada di blog mama bisa tahu saya di mana dan bakar saya tentu baik,” ujarnya.
Setelah berbasa-basi, Laura—demikian ia disapa, tak segan-segan mengatakan kekagumanannya tentang Indonesia. “Indonesia memang hebat, tidak ada duanya di dunia. Selain wilayah paling luas dengan ribuan pulau, juga masih banyak hutannya. Dan yang membuat saya tambah kagum, banyak sekali suku atau etnik yang ada di Indonesia,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Menurut Laura, pertama kali ia datang ke Indonesia, dia mendarat di Manado. Namun pertama dia kenal Indonesia, ia mengaku menyukai Indonesia tergantung hari. Ada hari yang menyenangkan namun ada pula hari yang menyebalkan.
Menyenangkan karena orang Indonesia umumnya ramah dan lingkungannya masih asri. Yang tidak menyenangkan manakala ada orang iseng dan mengodanya, mungkin juga punya nita jahat. Tapi yang jelas sambung Laura, persepsi orang tentang Indonesia selama ini memang salah. Ternyata setelah datang jauh beda dengan anggapan orang luar selama ini bahwa Indonesia tidak aman. “Buktinya saya aman-aman saja kok, walau sendirian,” katanya.
Yang lebih menyenangkan lagi, saya punya banyak teman, termasuk di Pontianak, Kalbar. Saya banyak teman dari Dayak, Tionghoa. Mereka sangat terbuka sekali dengan saya, Melayu juga ada.
Pontianak sungguh menyenangkan, sebab banyak tempat wisata. Terutama di daerah pedalaman Kalbar.
Laura juga mengaku dia tidak bermsalah dengan makanan. “Awalnya memang sulit, tapi bila orang bermasalah dengan makanan itu sudah masalah bersar,” katanya.
Di Kalbar, Laura mengaku sudah masuk ke daerah Pontianak dan sekitarnya, Sanggau dan Sintang. Sedangkan di Kalimantan Tengah, Laura pernah mengikuti Gawai Dayak di sebuah kampung di pedalaman Sungai Katingan. Kondisi alamnya sangat bagus. Dia mengaku sangat menyukai pedalaman Katingan, karena selain masyarakat ramah, juga aman bagi dirinya. Orang tidak mengganggap dirinya orang asing.
Kepada saya Laura menceritakan, dirinya bisa membedakan orang itu sukunya apa, dari wajah dan bahasanya. “Wajah dan bahasa yang dia gunakan sangat khas untuk membedakan suku di Indonesia,” jelas Laura yang sudah lima tahun belajar bahasa Indonesia di negaranya, Amerika Serikat atau Paman Sam itu.
Kepentingannya ke Kalbar, itu terkait dengan studinya di University of Wisconsin Medison. Untuk menyelesaikan Doktornya (S-3) ia memperdalami sejarah Dayak di Kalbar. Untuk keperluan itu, ia keluar masuk pedalaman dan rajin mengunjungi tokoh-tokoh adat dan masyarakat termasuk perpustakaan yang mendukung penelitiannya.□

Baca Selengkapnya..

Dua Naga Meliuk di Pembukaan Pekan Gawai Dayak



DUA Nara raksasa meliuk-liuk di acara pembukaan Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Selasa (20/5) lalu. Kehadiran dua naga sepanjang kurang lebih 500 meter tersebut menambah semarak acara Display Budaya Dayak yang dilepas Walikota Pontianak, H Buchary A Rahman.

Dispay budaya yang berbentuk karnaval keliling Kota Pontianak tersebut diikuti 36 sanggar yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) Kalimantan Barat. Selain sanggar kesenian Dayak, juga tampil berbagai budaya dari beragam etnis yang ada di Pontianak, seperti Melayu, Tionghoa, Bugis, Madura, Batak, Manado dan lain-lain.
“Kota Pontianak memang unik, karena dihuni oleh berbagai etnis dan budaya yang ada di nusantara ini. Keragaman itu justru membuat indahnya kesatuan dan kesatuan suku bangsanya yang membentuk Indonesia ini,” papar Gubernur Kalbar, Drs. Cornelis, MH saat memberikan sambutan pembukaan Pekan Gawai Dayak.
Pekan Gawai Dayak kali ini adalah yang ke-22 kalinya. Gawai ini merupakan repleksi ungkapan syukur masyarakat Dayak usai panen padi. Sebagai ungkapan terima kasih atas panen yang melimpah, masyarakat Dayak menggelar gawai sekaligus mengucap syukur kepada Tuhan atau dalam bahasa Dayaknya, Jubata, Penompa atau Petara.
Selaim mempersembahkan doa agar diberi kemudahan pada tahun berikutnya, juga dalam pesta gawai disuguh atau dihidangkan juga berbagai hasil panen mulai dari padi, jagung, dan sayur-sayuran termasuk buah-buahan.
Selain ungkapan syukur, makna gawai juga sebagai pemisah tahun padi bagi masyarakat Dayak. Biasanya, usai gawai ada waktu jeda dua atau tiga pekan. Setelah itu masyarakat Dayak kembali membuka lahan untuk berladang kembali.
Bila belum dilaksanakan gawai, masyarakat Dayak tidak diperkenankan membuka lahan atau menebas, sebab Tuhan atau Jubata akan murka karena manusia belum berterima kasih atas kemurahan Jubata atau Tuhan yang telah memberikan panen melimpah kepada manusia.
Namun di Kalimantan umumnya dan Kalbar khususnya, pesta panen padi atau gawai ini tidak serentak waktunya. Bahkan lamanya bisa berbulan-bulan. Untuk menyingkatkan waktu gawai tersebut, para tokoh masyarakat Dayak menyepakati membuat waktu gawai itu tetapkan setiap tanggal 20 Mei setiap tahunnya. Namun sebagai pedoman, bulan Mei adalah bulan gawai bagi masyarakat Dayak. Karena pada bulan Mei juga merupakan pemisahan tahun padi.

Anti Diskriminasi Budaya
Gawai Dayak tahun ini sangat bermakna bagi masyarakat Tionghao di Pontianak. Betapa tidak? Dalam merayakan Imlek dan Cap Go Meh 2559 yang jatuh tepat tanggal 7 Februari 2008 lalu, masyarakat Tionghoa khususnya di Pontianak tidak bisa merayakan imlek dengan menampilkan budaya leluhur mereka.
Lazimnya, setiap Imlek masyarakat Tionghoa selalu menampilkan budaya leluhur mereka dengan memainkan naga dan barongsai. Selain itu juga ada permainan petasan. Namun petasan dianggap barang berbahaya dan terganjal UU tentang bahan peledak.
Tapi soal budaya, walau sudah dijamin oleh UUD 1945, namun masih bisa dilarang lewat sebuah surat keputusan (SK) Walikota Pontianak.
Entah karena tekanan kelompok tertentu atau memang demi ketertiban dan kelancaran lalu lintas di Kota Pontianak, SK No. 127 Tahun 2008 tentang jual beli, pemasangan petasan dan pelaksanaan arakan naga, barongsai dalam wilayah Kota Pontianak, sungguh menyakitkan bagi warga Tionghoa.
Banyak kalangan mengecam SK tersebut. Selain sangat diskriminasi juga bertentangan dengan UUD 1945. Padahal sekarang sudah keluar UU anti diskriminasi terhadap salah satu suku bangsa yang ada di negeri ini.
Ada pula pihak-pihak yang menilai SK tersebut keluar kental nuansa politiknya, dimana dalam Pilkada Kalbar 15 November 2007 lalu, Melayu tidak berdaya melawan kekuatan koalisi Dayak dan Tionghoa sehingga tampillah Drs. Cornelis, MH dan Drs. Christiandy Sanyaja, SE, MM sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar.
Namun terlepas dari itu semua, event tahunan Pekan Gawai Dayak 2008 ini sungguh berarti bagi masyarakat Tionghoa. Berbulan-bulan mereka mempersiapkan membikin naga, namun pada saat perarakannya di hari Imlek justru dilarang dengan sebuah SK walikota. Tidak ada memang korban materi dari pelarang tersebut, tapi kita sudah kehilangan budaya yang diwariskan nenek moyang ratusan tahun silam.
Maka tak heran Display budaya Dayak yang dimulai sejak pukul 13.00 WIB itu berlangsung hingga pukul 17.00. Kota Pontianak macet total. Masyarakat semua tumpah ruah ke jalan, pun demikian dengan warga Tionghoa yang memang mayoritas di pusat Kota Pontianak, mereka menyeruak keluar rumah menyaksikan dua naga dan tentu saja Budaya Dayak yang rutin melintasi jalan-jalan protokol setiap tahunnya itu. Sungguh pemandangan yang mengasyikan dan memberi nilai dan pelajaran tersendiri bahwa budaya itu kaya dengan keindahan dan keharmonisan di dalamnya.
Semoga tidak ada lagi diskirminasi terhadap budaya-budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Kota Pontianak. Semoga.□Tanto Yakobus

Baca Selengkapnya..

PGD Topang Tahun Kunjungan Wisata Kalbar 2010

Perlu Multy Culture Center



EVENT budaya Pekan Gawai Dayak (PGD) memiliki peluang untuk menopang tahun kunjungan wisata Kalbar 2010 yang berbasiskan budaya etnis. Untuk itu diperlukan evaluasi yang mendalam terhadap manajemen penyelenggaraannya yaitu dengan mempertahankan yang sudah baik dan meningkatkan segala sesuatu yang masih dirasakan kurang. Demikian sambutan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, yang diwakili oleh Kepala Dinas Pariwisata, Drs. Rihat Nasir Silalahi, M.Si, di Gedung Olahraga Pangsuma, Sabtu (24/5) malam.

Menurutnya, acara PGD yang telah dilaksanakan oleh Panitia, sebagai wujud dari rasa tanggung jawab komunitas etnis Dayak untuk senantiasa memelihara, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya positif yang telah diwariskan oleh para leluhur. Nilai-nilai yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat Dayak tambahnya, hakekatnya merupakan perwujudan dan refleksi warisan budaya yang sudah tertanam sejak lama.

“Sebagai bagian integral dari budaya nasional saya berharap masyarakat Dayak dapat memberikan konstribusi positif dalam pembentukan karakter dan pekerti bangsa yang tangguh, ulet, jujur, adil dan bersikap terbuka dengan etnis yang lainnya di Kalbar.”

Karena dengan sikap membuka diri terhadap budaya etnis lainnya menurutnya dapat menjalin persatuan dan kesatuan antarsesama komunitas. Hal ini sejalan dengan perjuangan dr. Wahidin Sudirohosudo pada satu abad yang lalu dalam upaya menumbuhkan semangat nasionalise yang menjadi kekuatan dasar untuk merebut kemerdekaan dan hingga saat ini masih sangat relefan untuk mengisi pembangunan.

Lebih lanjut dia meyebutkan, salah satu upaya untuk menciptakan persatuan dan kesatuan itu dapat diciptakan melalui pagelaran seni budaya. “Oleh karena itu tema yang diusung dalam penyelenggraraan PGD XXII 2008 ini yaitu menjadikan seni budaya sebagai media perekat persatuan dan kesatuan, saya nilai sangat tepat,” paparnya memuji.

Dia menjelaskan persatuan dan kesatuan bangsa hanya mungkin terlaksana apabila setiap komunitas mampu menempatkan budaya etnis dalam kontek multikulturalisme bangsa yang mengedepankan kebersamaan dan mengapresiasi perbedaan dalam kesederajatan.

Heterogenitas masyarakat Kalbar yang terdiri dari berbagai etnis merupakan aset yang tidak ternilai harganya apabila mampu dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.

Dengan keanekaragaman suku bangsa yang ada, Kalbar berpotensi besar untuk menjadikan dirinya sebagai the truely Indonesia. Artinya untuk melihat seni budaya Indonesia para wisataman cukup hanya dengan mengunjungi Kalbar. “Untuk itu diperlukan pembinaan yang terarah dan sistematis terhadap seni budaya yang berbasis etnisitas serta ditunjang oleh wadah semacam Multy Culture Center yang memungkinkan pementasan atraksi seni budaya daerah secara rutin,” pintanya.
“Dengan cara demikian saya yakin dan percaya pada saatnya nanti PGD dapat menjadi daya tarik tersendiri dalam meningkatkan arus kunjungan wisatawan ke Kalbar,” katanya.

Sementara menurut ketua panitia Drs. Paulus Denggol, PGD XXII 2008 yang diawali dengan ritual “Ngampar Bide” dari Dayak Kendayan yang dibuka secara resmi oleh Gubernur Kalbar Drs. Cornelis, MH tanggal 20 Mei 2008.

Menurutnya pagelaran PGD tahun ini ternyata mendapat sambutan yang hangat dari seluruh masyarakat Kalbar baik yang berasal dari suku Dayak itu sendiri maupun yang bukan dari suku Dayak. Hal ini menunjukkkan kehidupam berbangsa dan bernegara di Kalbar dalam keadaan rukun dan damai. “Pekan Gawai Dayak XXII 2008 telah berlangsung sukses dan meriah,” katanya.□Naskah dan Foto: Hartono/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Gubernur Buka Pekan Gawai Dayak

Jangan Jadi Bangsa yang Manja


GUBERNUR Kalimantan Barat, Drs Cornelis, MH meminta rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah seiring tingginya harga minyak mentah di pasar dunia tidak selalu diikuti aksi unjuk rasa.
"Jangan jadi bangsa yang manja. Baru naik sedikit saja (harga BBM) sudah berdemo," kata Cornelis di pembukaan Pekan Gawai Dayak ke-XXII di Rumah Betang Pontianak, Selasa, (20/5) siang.

Menurut dia, pemerintah akan kesulitan membiayai pembangunan kalau harga BBM tidak disesuaikan. "Untuk mengharapkan pajak saja pemerintah kesulitan karena nilainya masih kecil," kata Cornelis.
Ia mengatakan, dibanding negara lain, harga BBM di Indonesia termasuk murah. Ia mencontohkan di Malaysia harga premium per liter mencapai Rp15 ribu. Di beberapa negara Eropa bahkan harga per liternya Rp 25 ribu.
Cornelis juga mengimbau masyarakat melakukan penghematan pemakaian BBM seperti tidak menggunakan sepeda motor untuk jarak tempuh yang dekat. "Kalau mandi ke sungai, jangan pakai motor. Berjalan saja," kata Cornelis dalam bahasa daerah.
Sebagian masyarakat Kalbar terutama di daerah bukan perkotaan masih mengandalkan sungai untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus. "Kecuali kalau sungainya jauh, sepuluh kilometer," kata mantan Bupati Landak itu.
Sementara untuk ketahanan pangan, ia mengharapkan masyarakat tidak malu dengan profesi sebagai petani. "Menjadi petani bukan pekerja hina, justru mulia. Tanpa petani, kita tidak akan makan nasi," katanya.
Masa tanam padi khususnya untuk masyarakat Dayak yang umumnya hanya satu kali setahun, perlu ditingkatkan menjadi dua kali. Keluarga petani yang membiarkan lahannya terlantar juga harus menanam kembali. "Ini untuk memenuhi kebutuhan pangan karena negara-negara pengekspor sudah menaikkan harga beras," kata Cornelis.
Wakil Ketua DPRD Kalbar, Arya Tanjungpura juga mengingatkan warga yang merayakan Gawai untuk tidak menimbulkan kesan pesta-pora. "Negara sedang dalam keadaan susah. Jangan sampai ada kesan seperti itu," kata Arya Tanjungpura.
Bagi masyarakat Dayak, Gawai menjadi sarana untuk mewujudkan rasa syukur ke pencipta atas hasil yang diperoleh saat musim tanam padi.
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar, Thadeus Yus mengatakan, padi erat kaitannya dengan religiusitas masyarakat Dayak. "Kehancuran alam akan menjadi faktor serius yang mengancam kelangsungan kehidupan sosial masyarakat Dayak," kata Thadeus Yus
Pekan Gawai Dayak (PGD) Kalimantan Barat XXII yang diselenggarakan 20-24 Mei 2008 di Rumah Betang dan dibuka secara resmi Gubernur Kalimantan Barat Drs. Cornelis, MH.
PGD ini lahir seiring dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1986. Gawai ini sendiri merupakan pesta panen padi bagi masyarakat Dayak dan telah ditetapkan Gubernur Kadarusno pada tahun 1976 melalui SK pada tahun 1976 dan SK tersebut adalah untuk menyatukan keberanekaragam gawai yang ada di Kalbar ini.
Berbagai adat budaya tradisional yang merupakan warisan leluhur nenek moyang akan disajikan, seperti Balenggang atau Bari’, Nyangahat’t Balale, Nyumpit dan lain sebagainya, dengan harapan seni dan budaya yang belum tergali secara maksimal dapat dikenal secara luas oleh masyarakat Kalbar.
Seni dan budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat Dayak merupakan sumber daya tarik wisata dan modal yang besar, artinya bagi pengembangan kepariwisataan. Untuk itu, perlu diupayakan agar seni dan budaya Dayak yang selama ini hanya dikenal pada kalangan tertentu dapat ditampilkan dalam acara khusus sehingga masyarakat luas dapat menikmatinya.
Ketua panitia Drs. Paulus Lukas Denggol mengatakan PGD Kalbar yang sudah menjadi event tetap kalender Pariwisata Nasional ini merupakan sarana untuk mengembangkan seni dan budaya Dayak sehingga menjadi atraksi yang memikat dan dapat dinikmati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Dengan demikian menurutnya, seni budaya Dayak diharapkan dapat terus berkembang sehingga mampu meningkatkan pendapatan daerah, pendapatan masyarakat dan peluang usaha.
Dalam sambutan singkatnya Ketua DAD Kalbar, Thadeus Yus mengatakan tujuan dilaksanakannya PGD ini untuk memperkuat sendi-sendi kehidupan budaya daerah dalam memperkaya kebudayaan nasional, menyukseskan program pemerintah dalam bidang kebudayaan seni dan budaya pariwisata,
Selain itu menurutnya, untuk menjaga kemurnian nilai-nilai kearifan budaya Dayak dari pengaruh budaya asing sebagai akibat konsekuensi logis dari arus globalisasi dan modernisasi dan mewujudkan visi misi Dayak bersatu, Dayak maju dan Dayak sejahtera sebagaimana yang sudah diamanahkan dalam Musyawarah Nasional II DAD Se-Kalimantan.
PGD tahun ini terlihat meriah. Dimana sebanyak tiga puluh delapan sanggar ikut ambil bagian. Mereka akan melibatkan diri dalam berbagai macam perlombaan. Mulai dari melukis perisai, menyumpit, memasak tradisional dan lain sebagainya.
Pembukaan PGDXXII dihadiri Kapolda Kalbar R. Nata Kesuma, Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Rihat Natsir Silalahi, Bupati Landak Andrianus Asia Sidot, Sekda Kab. Sanggau F. Andeng Suseno, Walikota Pontianak Buchary Abdurrachman, Ketua TP PKK Kota Pontianak Sri Astuti Buchary, Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak Hartono Azas, Ketua Bhakti Suci Lindra Lie, MABM, IKBM, MABT.□ Naskah dan Foto: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Pekan Gawai Dayak Siap di Gelar


SEKITAR 23 acara akan digelar pada Pekan Gawai Dayak Tahun 2008, 20 Mei besok. Beragam perlombaan, permainan rakyat, pemilihan Bujang dan Dare Dayak 2008. Persiapan acara sudah 90 persen rampung.

Rencananya acara dibuka secara resmi oleh Gubernur Kalbar. Upacara adat dari Kabupaten Sanggau akan mengisi acara seremonial tersebut yang dipusatkan di Rumah Betang. Penutupan dilakukan 24 Mei 2008 pukul 19 00 di GOR Pangsuma Pontianak.
“Penutupan merupakan puncak dari seluruh rangkaian acara,” ungkap Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak Tahun 2008 Paulus.L. Denggol di Rumah Betang Sabtu(17/5).
Sementara itu menurut Tarsisius Ifan Sabandap selaku penanggungjawab kegiatan dalam Kepanitiaan Gawai Dayak 2008 mengatakan selain pembukaan juga akan ada pagelaran budaya yang melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti MABT, MABM, Kerabat, Patimura dan yang lainnya.
Hal ini dilakukan agar budaya bisa mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dan rencananya dibuka Wali Kota Pontianak H Buchary Abdurrahman.
Tarsisius juga mengimbau kepada seluruh sanggar agar bersungguh-sungguh dalam mengikuti kegiatan Gawai Dayak. Selain itu ucapan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Kalbar karena eEven ini merupakan kalender tetap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten atas kerja samanya, dan juga semua pihak yang telah membantu untuk kelancaran acara ini.
Sekjen Dewan Adat Dayak Kalbar Makarius Sintong mengatakan Gawai Dayak merupakan wujud nyata dari masyarakat adat Dayak dalam upaya untuk menggali,dan melestarikan nilai-nilai seni budaya adat istiadat masyarakat Dayak.
Pekan Gawai Dayak di Pontianak dilaksanakan oleh Sekberkesda. DAD Kalbar juga mendorong seluruh DAD Kabupaten dan Kota se Kalbar untuk melaksanakan Gawai Dayak di daerahnya masing-masing, dan mudah-mudahan pada tahun 2008 dapat terlaksana di daerahnya masing-masing.
“Setiap tahun penyelenggaraan Gawai selalu ada peningkatan, dengan muatan materi untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas seni budaya Dayak. Setiap tahun kita berharap selalu ada improvisasi yang dinamis sehingga bukan hanya menjadi konsumsi masyarakat adat Dayak semata, tetapi menjadi konsumsi masyarakat Indonesia” ujar Makarius Sintong.
Selain itu menurut Floor Surya Darma dari Betang Center mengatakan peserta Gawai sendiri bukan hanya dari Kota Pontianak saja tetapi pada tahun ini kita membuka diri untuk seluruh Kabupaten dan Kota di Kalbar agar dapat berpartisipasi dalam acara ini, dan untuk penentuan peserta kita menyerahkan langsung ke DAD di daerahnya masing-masing.
“Saat ini sudah sekitar 80 persen peserta dari seluruh kabupaten dan kota telah mendaftar untuk mengikuti acara ini seperti Melawi, Sanggau, Landak, Sintang, Sekadau,dan kota Singkawang. Selain itu saat ini juga telah hadir di Pontianak Asosiasi Sarawak Dayak Iban yang akan ikut meramaikan Pekan Gawai Dayak ke-22 ini,” katanya.

Dalam Pekan Gawai Dayak yang dipusatkan di Rumah Betang ini, sedikitnya ada 23 stand termasuk posko. Pada 18 Mei hari ini, acara Adat Ngampar Bide dan gladi bersih.
“Dalam Pekan Gawai Dayak kali ini sengaja saat penutupan kita pilih di GOR karena keterbatasan tempat di Rumah Betang dan untuk kenyamanan pengunjung termasuk penobatan Bujang dan Dare 2008, dan khusus untuk juara Bujang dan Dara Dayak tahun 2008 ini, lebih kita arahkan agar dapat mensosialisasikan nilai-nilai seni dan tradisi Dayak”, ujar Sekjen Dewan Adat Dayak Kalbar Makarius Sintong.□Foto: Tanto Yakobus, Naskah: Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Saturday, May 10, 2008

Satu Tahun Borneo Tribune


TAK terasa sudah setahun Borneo Tribune hadir di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat. Kesibukan dan rutinitas kerja di harian yang mengusung motto Idealisme, Keberagaman dan Kebersamaan ini membuat waktu setahun berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin kami launching media yang digawang 100 per sen anak muda ini. Nah, inilah kru Borneo Tribune saat launching perdana pada 19 Mei 2007 lalu. Selamat ulang tahun! Kami selalu bersama Anda.



Baca Selengkapnya..

Wednesday, May 7, 2008

Ketika Keselamatan Profesor Terancam


Oleh: Tanto Yakobus

FORUM Solidaritas Masyarakat Untuk Keadilan dan Kedamaian Kalbar (FSMUKK), meminta kepada pihak kepolisian dalam hal ini Kapolda Kalbar dan Rektor Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, untuk menangkap oknum mahasiswa yang melakukan teror dan mengancam keselamatan Pembantu Rektor II Untan, Prof. Dr. Tambun Anyang, SH.

Permintaan itu ditegaskan oleh Yakobus Kumis, Penggagas FSMUKK saat konferensi pers dengan sejumlah wartawan di Rumah Betang Jalan Sutoyo, Pontianak, Rabu (7/5), sore kemarin. Dalam pertemuan yang dikemas cukup sederhana itu, dihadiri sebanyak 43 orang, termasuk anggota FSMUKK, tokoh masyarakat Dayak, dan beberapa elemen mahasiswa.
“Kami meminta aparat keamanan lebih intens mencari para pelaku teror yang dilakukan oleh oknum mahasiswa terhadap Prof. Dr. Tambun Anyang dan keluarga,” tegasnya.
Aksi teror tersebut bermula dari demo mahasiswa Untan yang dilaksanakan pada 2 Mei lalu. Demo tersebut dilakukan guna menyikapi rancangan UU BHP, namun kata Yakobus, demo adalah hak setiap orang, termasuk mahasiswa, tapi harus dengan sikap wajar dan positif sebagai bentuk keprihatinan terhadap tingginya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa.
Tapi yang dilakukan oknum mahasiswa, bukannya tuntutan mereka yang ditonjolkan, malah mencaci maki dan mengeluarkan perkataan yang tidak sepantasnya untuk seorang guru besar. “Dimana letak ciri mahasiswa sebagai agen intelektual,” sela Martinus Sudarno yang turut memberikan keterangan dalam jumpa pers tersebut.
Yakobus menambahkan, yang perlu diingat oleh mahasiswa, bahwa kehadiran Prof. Dr. Tambun Anyang, SH yang menjabat sebagai Pembantu Rektor II Universitas saat itu, mewakili rektor, karena perintah langsung dari Rekor Univebrsitas Tanjungpura, Dr. Chairil Efendi, MS, bukan secara pribadi. Selain itu, yang berwenang membahas dan memutuskan rancanngan UU BHP adalah DPRI-RI dan Pemerintah Pusat, bukan kewenangan Rektor atau Pembantu Rektor.
Lebih lanjut dia menyebutkan, adanya tindakan intimidasi dan ancaman yang ditujukan melalui telepon seluler yang dilakukan oknum mahasiswa dengan mengancam akan membunuh Bapak Prof. DR. Tambun Anyang, SH, dikuatirkan dapat memicu situasi yang tidak kondusif di lingkungan Untan khususnya dan Kalimantan Barat umumnya.
“Kepada mahasiswa supaya mengedepankan etika, moral dan intelektualitas dalam menyampaikan aspirasi sehingga tidak keluar dari koridor dan tujuan yang diinginkan,” jelas Yakobus mengingatkan.
Oleh karena itu tambah Yakobus, demi menjaga keselamatan salah seorang petinggi di Untan serta keluarganya, dengan ini kami membuat pernyataan sikap sebagai berikut:
Meminta kepada pihak Kepolisian dalam hal ini Kapolda Kalbar untuk menangkap oknum mahaiswa yang melakukan teror dan mengancam keselamatan Pembantu Rektor II Untan Prof. Dr. Tambun Anyang, SH. Dan keluarganya yang sengaja mengadu domba dan membuat resah masyarakat di Kalbar.
Meminta pertanggungjawaban Rektor Untan untuk segera menuntaskan tindakan perbuatan yang tidak menyenangkan dan mengancam keselamatan jiwa Prof. Dr. Tambun Anyang, SH dan keluarga, yang disinyalir dilakukan oleh oknum mahasiswa. Sebab kehadiran Prof. Dr. Tambun Anyang, SH saat menerima demo mahasiswa sebagai perwakilan dari Rektor Untan.
Meminta oknum yang melakukan teror dan pengancaman untuk segera menghentikan tindakan yang meresahkan, dan apabila terulang sehingga menyebabkan terancamnya keselamatan jiwa Prof. Dr. Tambun Anyang, SH akan berhadapan dengan masyarakat yang cinta keadilan dan kedamaian.
Terakhir mereka juga meminta kepada mahasiswa agar megedepankan etika, moral dan intelektual dalam menyampaikan aspirasi tidak keluar dari koridor hukum dan tujuan yang diiginkan.
Pernyataan sikap juga datang dari Ikatan Pemuda Dayak Kabupaten Kapuas Hulu. Ada dua poin penting dalam pernyataan sikap Ikatan Pemuda Dayak Kapuas Hulu yang ditandatangani oleh Yasintus Gunung Agung tersebut. Pertama, mereka menyayangkan sikap oknum mahasiswa yang tidak perpuji dalam melakukan demo. Apalagi menyebut hal-hal yang tak sepantasnya yang ditujukan kepada Prof. Dr YC.Tambun Anyang, SH. Padahal demo adalah biasa dilakukan mahasiswa sebagai wujud kepedulian mahasiswa sebagai warga negara yang juga kelompok intelektual.
Kedua mereka minta Rektor Untan mengambil langkah kinkrit terhadap oknum mahasiswa yang tidak mencerminkan sikap intelektualnya itu. Dan melaporkan ke pihak Kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa tersebut. Bila itu tidak dilakukan, maka Ikatan Pemuda Dayak Kapuas Hulu akan melakukan mobilisasi massa yang lebih besar menuntut oknum mahasiswa bersangkutan ditindak tegas.
Pernyataan sikap yang sama datang dari Lembaga Benua Raa (Lembara) Provinsi Kalbar. Mereka juga mengecap ucapan-ucapan yang tidak terpuji dari oknum mahasiwa yang justru sebagai kaum intelektual. Apalagi ada ancaman untuk membunuh beliau. Itu jelas sudah mengarah kepada hal pribadi dan harkat martabat seseorang. Karenanya, Lembara minta Rektor Untan menindak tegas oknum dimaksud dan melaporkannya kepada pihak kepolisian untuk diproses susuai hukum yang berlaku. Sebab Prof. Tambun Anyang selain jabatannya sebagai Purek II juga sebagai aset daerah Kalbar khususnya dari kalangan masyarakat Dayak. Demikian pernyataan Lembara yang ditandatangani ketua umumnya, A. Imennuah, SE, MM.□Hartono/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Tuesday, May 6, 2008

Welcome Party


Oleh: Tanto Yakobus

DUTA Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr Leopoldo Girelli, bersama Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, MH, yang dijadwalkan meresmikan tempat wisata rohani, Gua Maria Bukit Kelam, Sabtu (3/5), dijamu Bupati Sintang, Drs. Milton Croby, M.Si, Jumat (2/5) malam.

Acara yang bertajuk Welcome Party itu selain dihadiri Gubernur Kalbar dan Duta Besar Vatikan, juga dihadiri sejumlah pejabat termasuk Bupati Bengkayang, Drs. Jacobus Luna, Bupati Melawi, Drs. Suman Kurik, MM dan Bupati Sekadau, Simon Petrus, S.Sos, M.Si.
Dari kalangan rohaniwan Katolik, Uskup Agung Pontianak, Mgr. Hieonymus Bumbun, OFM.Cap, Uskup Ketapang, Mgr. Blaisius Pujoharajo, Uskup Sanggau, Mgr. Julius Mencucini, Cp, dan Uskup Sintang, Mgr. Agustinus Agus, Pr. Hadir pula sejumlah pastor, suster dan umat di Keuskupan Sintang.
Gubernur Cornelis dalam sambutannya, sempat menjelaskan ke masyarakat Sintang terkait rencana pemekaran Provinsi Kapuas Raya, dimana lima kabupaten yang bakal bergabung di calon provinsi tersebut.
Namun hingga kini, aspirasi dan perjuangan membentuk provinsi di wilayah timur Kalbar itu belum menunjukan hasil yang diharapkan. Kesempatan itu dimanfaatkan Cornelis bahwa posisinya tidak pernah mencabut rekomendasi yang dibuat gubernur terdahulu (Usman Ja’far) tentang dukung pemerintah provinsi soal pembentukan Kapuas Raya, tapi karena pemerintah pusat, yaitu Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menangguhkan pembentukan Provinsi Kapuas Raya.
Aspirasi rakyat hingga ke Senayan sangat normal. Namun kabupaten-kabupaten yang ada ini masih perlu pembinaan. “Soal pembentukan provinsi bukan gubernur tidak mau, tapi itu memang urusan pemerintah pusat,” tegas Cornelis.
Kata Cornelis, Presiden SBY melalui Menteri Dalam Negeri meminta untuk melakukan pembinaan dahulu kepada kabupaten-kabupaten yang sudah ada.
“Pada saat pertemuan di Kalsel Kabupaten Tanah Bumbu Kecamatan Batu Licin kemarin hal ini sempat kami rapatkan mulai dari Bupati Bengkayang, Bupati Sekadau, Bupati Melawi yang ikut hadir bersama Gubernur,” kata Cornelis.
“Nah, jadi bukan saya yang tidak setuju, tetapi kalau Pemerintah Pusat mengatakan jangan dulu, Gubernur harus patuh. Antara Presiden hingga ketua RT adalah satu hirarki pemerintahan. Oleh karena itu sebagai aparatur pemerintah, kita harus patuh kepada pimpinan tertinggi di dalam struktur pemerintahan RI yaitu Presiden,” ujar Cornelis.
Cornelis dalam sambutannya juga menyampaikan pesan dari Presiden RI dalam sidang Kabinet Indonesia Bersatu yang pada awal bulan April kemarin dilakukan, yakni untuk mewaspadai krisis pangan. “Kita diminta, salah satunya melalui Gereja Katolik untuk memanfaatkan alam dengan menanam kebutuhan pokok seperti padi. Kemudian kita diminta juga untuk menghemat segala bentuk energi, mulai dari listrik, bahan bakar minyak dan mewaspadai flu burung, serta masalah gizi buruk.”
Dalam agama Katolik memang sedikit berbeda, kalau duta besar ia mengurusi kepentingan rakyatnya di negara lain, tetapi Duta Besar Vatikan ini mengurusi rakyat Indonesia yang beragama Katolik yang lebih menekankan kepada pembinaan umat agar imannya semakin baik.
Dalam sambutannya Duta Besar Vatikan Mgr Leopoldo Girelli menyatakan kekagumannya untuk Kalbar, yang antara umat beragama hingga kini bisa hidup berdampingan, dan mengimbau kepada umat Katolik agar bisa mempertahankan dan selalu menjaganya.■FOTO Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune.

Baca Selengkapnya..

Monday, May 5, 2008

Gubernur Resmikan Gua Maria Bukit Kelam

*Duta Vatikan Pimpin Misa Pemberkatan



Oleh: Tanto Yakobus

GUBERNUR Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, MH meresmikan Taman Wisata Rohani Bukit Kelam Kabupaten Sintang, Sabtu (3/5). Selain gubernur, hadir pula Wakil Gubernur Kalbar, Drs. Christiandy Sanjaya, SE, MM, Bupati Sintang, Drs. Milton Crosby, MM, Bupati Bengkayang, Drs, Jabobus Luna, Bupati Melawi, Drs. Suman Kurik, MM dan Bupati Sekadau, Simon Petrus, S.Sos, M.Si serta sejumlah pejabat baik pemprov maupun kabupaten.

Sedangkan dari kalangan pemimpin Gereja Katolik, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli, Uskup Agung Pontianak, Mgr. Hieronymus Bumbun, OFM.Cap, Uskup Sintang, Mgr. Agustinus Agus, Pr, Uskup Ketapang, Mgr. Blaisius Pujorahajo, Pr, Uskup Sanggau, Mgr. Julius Mencucini, Cp dan sejumlah pastor, bruder, suster maupun frater. Tampak puluhan ribu umat menghadiri misa pemberkatan sekaligus peresmian Gua Maria Bukit Kelam tersebut.
Cornelis dalam sambutannya menyampaikan pesan dari Presiden RI dalam sidang Kabinet Indonesia Bersatu yang pada awal bulan April kemarin dilakukan, yakni untuk mewaspadai krisis pangan. “Kita diminta, salah satunya melalui Gereja Katolik untuk memanfaatkan alam dengan menanam kebutuhan pokok seperti padi. Kemudian kita diminta juga untuk menghemat segala bentuk energi, mulai dari listrik, bahan bakar minyak dan mewaspadai flu burung, serta masalah gizi buruk.”
Dalam agama Katolik memang sedikit berbeda, kalau duta besar ia mengurusi kepentingan rakyatnya di negara lain, tetapi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia ini mengurusi rakyat Indonesia yang beragama Katolik yang lebih menekankan kepada pembinaan umat agar imannya semakin baik.
“Karena agama Katolik itu berbeda dengan yang lain. Jadi berdasarkan hirarki gereja, mulai dari Paus sampai Pastor. Kedatangan Beliau ke sini untuk membina umat Katolik supaya semakin beriman dan meningkatkan kualitas imannya,” katanya.
Menurut Cornelis, kerjasama antara Indonesia dengan Vatikan hanya khusus untuk pembinaan umat Katolik. Karena menurutnya di mana ada umat Katolik, maka di situlah ditempatkan seorang duta dari Vatikan. “Vatikan hanya mengurus agama, sedangkan urusan dunia atau pemerintahan adalah Italia, sebab Vatikan berada di ibukota Italia, Roma. Posisinya negara dalam kota,” jelas Cornelis.
Tentang dipilihnya Sintang sebagai daerah tujuan utama dari kunjungan Dubes, kata Cornelis, hal tersebut bertepatan dengan adanya kegiatan di Sintang yang berhubungan dengan hirarki gereja. “Kegiatan di Sintang ini ada hubungannya dengan hirarki gereja yang harus mereka ketahui, sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan,” jelasnya.
Apalagi saat ini menurutnya banyak muncul ajaran-ajaran yang menyimpang dan menyesatkan. Seperti munculnya orang-orang yang mengaku dirinya nabi. “Karena Katolik mayoritas di Kalbar, dengan kedatangan Dubes Vatikan ini kita berharap akan semakin bagus dan semakin ditingkatkan kualitas imannya. Tidak hanya sekedar KTP saja,” tegasnya.
Dalam sambutannya Duta Besar Vatikan Mgr Leopoldo Girelli menyatakan kekagumannya terhadap Kalimantan Barat, yang antara umat beragama hingga kini bisa hidup berdampingan, namun ia tetap mengimbau umat Katolik agar bisa mempertahankan dan selalu menjaga hidup berdampingan yang harmonis tersebut.■FOTO Lukas B Wijanarko/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..

Thursday, May 1, 2008

Panitia Pekan Gawai Dayak Foto Bersama Gubernur Kalbar


AUDENSI. Gubernur Kalbar, Drs. Cornelis, MH foto bersama panitia Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalbar 2008, usai melakukan audensi dengan dirinya, Rabu (30/4) lalu. FOTO AA Mering/Borneo Tribune.



Baca Selengkapnya..

Sekberkesda Siap Gelar Pekan Gawai Dayak



SEKRETARIAT bersama kesenian Dayak (Sekberkesda) Provinsi Kalimantan Barat siap menggelar kembali pekan gawai Dayak (PGD) yang ke-23. Bukti kesiapan tersebut, pengurus Sekberkesda, DAD Provinsi dan panitia pelaksana melakukan audensi dengan Gubernur Kalbar, Drs. Cornelis, MH, Rabu (30/4) sekitar pukul 13. 00 WIB, dua hari lalu.

Audensi tersebut selain melaporkan kesiapan pelaksanaan PGD pada tanggal 20 Mei 2008 mendatang, panitia juga meminta saran dari gubernur terkait pelaksanaan gawai yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya itu.
Dalam pengarahannya, Cornelis minta tujuan gawai diperjelas, jangan tonjolkan hura-huranya, tapi gawai bisa mengambil nilai-nilai yang positif yang bisa diwariskan ke anak cucu dan masyarakat luas. “Saya ingin setiap suku bangsa yang ada di Republik ini yang punya budaya harus dilestarikan, termasuk kebudayaan Dayak itu,” tegas Cornelis di hadapan panitia yang diterimanya di ruang pertemuan gubernur.
Nilai budaya Dayak yang positif tersebut bukan hanya untuk dilestarikan, tapi bisa juga dijual ke masyarakat Indonesia maupun manca negara. “Sebab budaya yang demikian memang layak dijual untuk mendatangkan devisa lewat kunjungan para turis baik lokal maupun manca negara,” kata Cornelis.
Terkait dengan bantuan, Cornelis minta panitia tidak terlalu mengharapkan bantuan pemerintah, sebab sekarang pemerintah sangat ketat dalam hal pengeluarkan yang menyangkut keuangan, sebab setiap uang yang keluar harus dipertanggungjawabkan dan diaudit oleh akuntan publik, karena menyangkut uang negara. “Uang yang diaudit nilainya hanya Rp 100 juta, sementara biaya akuntan publik Rp 150 juta, mana sanggup,” ujar Cornelis seraya mengatakan, pemerintah tetap memberi bantuan.
Selain itu, Cornelis juga minta DAD agar membimbing panitia agar pelaksanaan gawai ini sesuai harapan bersama. “Bila gawai ini dikelola dengan baik, maka akan menjadi daya tarik tersendiri bagi Kalbar,” kata Cornelis.
Seperti pekan gawai Dayak yang dilaksanakan di Kuching, Malaysia, mereka sudah lebih maju dari kita. Selain masyarakatnya mandiri, pemerintah juga memberikan fasilitas seperti memberi hari libur dan jaminan keamanan selama kegiatan.
Kedepan Cornelis minta agar pekasanaan PGD ini masuk dalam kalender pariwisata Kalbar dan dianggarkan dalam APBD. Silakanlah DAD maupun MABM dan MABT mengemas kegiatannya masing-masing sebelum pembahasan APBD, Dayak dengan Pekan Gawai Dayaknya, Melayu dengan Festival Budaya Melayunya dan MABT dengan Cap Go Mehnya. “Terhadap kegiatan tiga budaya ini kita akomodir di Dinas Pariwisata dan menjadi kalender tahunan pariwisata Kalbar,” kata Kadis Pariwisata Provinsi Kalbar, Rihat Natsir Silalahi.
Sementara itu ketua panitia pelaksana, Drs. Paulus Lukas Denggol mengatakan, kepanitiaan sejak terbentuk Maret lalu sudah berkerja hingga hari ini. “Kegiatan kita sudah siap 60 persen,” jelas Paulus seraya menjelaskan PGD ini adalah yang ke 23. Sebetulnya ini yang ke 34, tapi satu tahun tidak diadakan, karena alasan keamanan, terkait kerusuhan antar etnis di Kalbar waktu itu.
Sekretaris Jendral Sekberkesda provinsi Kalbar, Tarsisius Ifan Sabandap, SH menjelaskan, lembaga yang dipimpinnya adalah lembaga otonom. Jadi bukan bagian dari DAD, tapi ia mempunyai hubungan kerja. Dan yang perlu digarisbawahi, yang melaksanakan gawai Dayak selama ini adalah Sekberkesda, bukan DAD. “DAD sifatnya fasilitator saja,” jelasnya.
Ifan yang baru saja terpilih sebagai Sekjan Sekberkesda mengatakan, saat ini ada 38 sanggar yang bernaung dibawah Sekberkesda. Menurutnya, pihaknya sudah minta kepada sanggar yang ada untuk berpartisipasi di PGD ini. Acaranya sudah jelas, selain display budaya, ada beragam perlombaan olahraga tradisional maupun pemilihan bujang dan dara gawai 2008. “Kita siap menggelar gawai yang bermartabat,” kata Ifan mantap.□By Tanto Yakobus, Foto AA Mering/Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..