BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Friday, June 26, 2009

DEMOKRASI

Oleh TY

Menghadapi pilpres 8 Juli mendatang, suhu politik Indonesia memang panas. Namun bagi para elit, terutama ketiga pasangan capres-cawapres tidak ada persoalan. Walau ada perbedaan pendapat diantara mereka, tapi mereka tidak memperlihatkan permusuhan.
Bahkan dalam bertutur kata, mereka sangat menjaga sopan santun. Itulah yang kita lihat baik di televisi maupun di media-media cetak.

Persoalan bertambah runyam justru di tingkat masyarakat yang menjadi basis massa dari ketiga capres-cawapres tersebut.
Banyak bentuk kampanye negative justru dikembangkan masyarakat di kelompok ini. Setiap hal yang kurang baik dari ketiganya selalu menjadi buah bibir atau tema pokok pembicaraan mereka sehari-hari. Mulai dari teras rumah hingga warung kopi.
Itu fakta. Mereka memang bicara apa adanya. Tapi apa yang mereka bicara itu bukanlah fakta.
Mereka lebih senang membicarakan gossip. Mulai dari isu neolib hingga pelanggaran HAM berat. Itu bumbu sedap saat nongkrong di warung kopi.
Saat ini tidak ada lagi hal yang seru diomongkan, kecuali gossip para kandidat pemimpin bangsa tersebut. Padahal secara umum, masyarakat juga sudah tahu, terutama para kaum intelek dan terpelajar. Rekam jejak ketiga capres dan cawapres tersaji baik di buku-buku.
Singkat kata, mereka semua sudah punya biografi masing-masing. Di situ cukup terekam hitam putih perjalanan mereka.
Jadi kalangan akademisi dan intelektual tak perlu lagi ngerumpi soal mereka. Sebab sudah punya pilihan masing-masing. Bentuk-bentuk propaganda warung kopi tak mempengaruhi pilihan mereka lagi.
Nah, bagi saya yang cukup ngelikan justru kini para tim kampanye atau katakanlah tim suksesnya yang turut membumbui cerita warung kopi tersebut.
Hemat saya yang sedikit mengerti dengan pola komunikasi dan propaganda, untuk ukuran masyarakat kita yang sudah ‘berpengalaman’ dengan pemilihan langsung (pilkada, pilgub, pileg dan pilpres), bumbu negative dan propaganda itu justru blunder bagi kubu yang meniupnya.
Apalagi isu yang ditiupkan itu bertolak belakang dengan rekam jejak masing-masing kandidat. Tentu setiap kandidat juga gencar mengkampanyekan pencitraan yang baik tentang pribadi mereka.
Nah, bila tim sukses tetap mempertahankan propaganda negative tentang figure capres dan cawapres tertentu, maka siap-siap saja ditinggal pemilihnya. Sebab siapa pun yang meniupkan aroma buruk tentang seseorang, ia akan menuainya sendiri.
Ingat, setiap kata yang terlontar itu di dengar oleh Tuhan. Sebab Tuhan tidak pernah tidur dan ada di mana-mana. Bila bicara tanpa fakta dan propaganda belaka, tentu Tuhan sendiri akan marah. Apalagi kita manusia yang punya keterbatasan, tentu akan lebih marah lagi.
Jadi kalau mau damai, berdamailah dengan diri sendiri dengan menghindari kata-kata kotor dan mengantikannya dengan kata bijak dan santun. Sebab siapa pun yang memimpin kelak, ia tetapkan Presiden Indonesia, bukan presiden partai A, partai B, suku C dan bangsa D.
Abjad saja ABCD agar bisa merangkai kata. Jadi tidak ada yang sama di dunia ini, dan itulah DEMOKRASI.

Baca Selengkapnya..

Ketika Air Payau

Oleh TY

Aneh tapi nyata. Itulah yang dirasakan masyarakat Kota Pontianak.
Kota yang berdiri di atas air, justru masyarakat Kota Pontianak kerap kesulitan air, terutama air yang layak untuk dikonsumsi.
Selama bertahun-tahun, sebagian besar masyarakat mengandalkan air hujan untuk dikonsumsi. Tapi bila kemarau tiba, bagi keluarga yang tidak memiliki persediaan air cukup, maka akan kesulitan mendapatkan air bersih.

Bagi yang berduit, tak masalah, bisa membeli dari mobil tangki. Tapi bagi masyarakat kebanyakan, air bersih betul-betul menjadi masalah utama.
Tak heran, setiap musim kemarau tiba banyak warga yang terserang diare. Dan diare itu salahsatu penyebabnya adalah karena air yang dikonsumsi tidak layak.
Kini memasuki musim kemarau, air ledeng yang selama ini terpaksa dikonsumsi masyarakat mulai terasa payau. Di mana-mana warga mulai merasakan air asin.
Karena tak ada pilihan, masyarakat tetap saja menggunakan air ledeng yang di suplay dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak.
Air ledeng tak layak konsumsi itu juga diakui langsung Direktur PDAM, Agus Sutyoso.
Air yang dialirkan ke rumah-rumah tersebut kandungan garamnya sudah melebihi ambang batas, yakni minimal 800 PPm (part per million).
Air payau tersebut akibat kandungan garam air Sungai Kapuas sebagai bahan baku utama terintrusi air laut sebesar 2.000 PPm. Itu terjadi akibat kemarau dan tidak adanya dorongan air dari hulu sungai.
Memang sekarang di perhuluan sungai juga terjadi pendangkalan. Bahkan beberapa dasar sungai sudah timbul, sehingga anak-anak dapat bermain bola di atasnya.
Kondisi air payau tersebut, tak tertutup kemungkinan ada beberapa warga yang terpaksa mengkonsumsinya. Padahal air PDAM itu hanya bisa digunakan untuk mandi, cuci dan kakus (MCK) saja.
Dan itu sebuah ironi bagi warta Kota Pontianak. Sebab setiap tahun selalu saja kita mengalami krisis air bersih, utamanya air yang layak konsumsi.

Baca Selengkapnya..

Tuesday, June 16, 2009

Bayi Kembar Siam


Oleh TY

Untuk pertama kalinya, Rumah Sakit Umum Daerah dr Soedarso Pontianak menangani kasus persalinan bayi kembar siam.
Bayi yang berkelamin perempuan tersebut dempet di bagian perut (omphalopagus satu persen) memiliki satu kantung empedu dan satu hati (liver).
Pihak rumah sakit mengatakan, sejak lahir lewat operasi cesar, bayi dalam kondisi sehat.

Kini bayi dengan berat 5,2 kilogram dan panjang 48 centimeter masih dalam perawatan pihak rumah sakit. Keduanya dirawat di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) ruang perawatan perinatal RSUD dr Soedarso Pontianak.
Sementara sang ibu, Rusmiati (36), masih dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) untuk memulihkan kondisi karena cukup banyak mengeluarkan darah mengingat ukuran bayi yang dilahirkan terbilang besar.
Nah, untuk kasus bayi kembar siam yang cukup langka di Kalbar ini, apakah bisa ditangani dengan baik?
Sebab RSUD dr Soedarso belum ada pengalaman menangani operasi bayi kembar siam. Walau kini rumah sakit pemerintah terbesar di Kalbar ini sudah memiliki dokter spesialis bedah anak.
Kita juga tidak tahu bagaimana nasib keduanya, apakah bisa keduanya bisa diselamatkan, mengingat keduanya hanya memiliki satu empedu dan satu hati.
Secara logika, sulit rasanya menangani operasi yang sudah pasti rumit tersebut.
Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung atau Rumah Sakit dr Sutomo Surabaya saja masih kesulitan menangani kayi kembar siam. Walau keduanya sudah memiliki reputasi dalam operasi bayi kembar siam.
Nah, kita tunggu saja, apakah para dokter yang kita miliki yang sudah memegang label spesialis bedah anak bisa mengatasi bayi kembar siam di RSUD dr Soedarso tersebut?
Butuh waktu memang, dan kita juga tidak boleh meremehkan mereka. Apalagi RSUD dr Soedarso merupakan rumah sakit terbesar milik pemerintah, pastilah juga dilengkapi dengan peralatan yang canggih pula.
Yang jelas, bila bayi kembar siam itu bisa ditangani dengan baik. Maka para dokter yang menanganinya akan dicatat dengan tinta emas, sebab mereka juga sudah disejajarkan kemampuannya dengan para dokter di rumah sakit umum Hasan Sadikin Bandung yang biasa menangani bayi kembar siam, atau rumah sakit umum dr Sutomo Surabaya.
Untuk sejajar dengan mereka itu mimpi memang. Tapi kadang, mimpi juga biasa menjadi kenyataan. Kita tunggu saja aksinya.

Baca Selengkapnya..

Sunday, June 14, 2009

Entahlah…

Oleh TY

Menjadi cerdas tidak berarti mengetahui segala jawaban. Terkadang, jawaban paling cerdas yang kita dapat katakan adalah “Entahlah”. Dan, jawaban itu bikin orang kesal, marah. Diperlukan rasa percaya diri dan kecerdasan extra untuk mengetahui sikap apatis kita. Dan saat kita melakukannya, kita sedang dalam proses mempelajari jawaban sesungguhnya.

Seringkali karena alasan kebanggaan dan mencegah rasa tidak aman, kita mengatakan tahu, padahal sebenarnya kita tidak tahu. Lewat cara ini, kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih lanjut. Percayalah, tidak ada salahnya kita tidak mengetahui suatu hal. Daripada hasilnya konyol bagi kita maupun orang lain.
Bagian penting dari kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan kita. Mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang kita tidak tahu.
Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang tahu dan mengerti, bahwa tak semua pertanyaan dapat ia jawab. Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang mau bertanya, mau belajar dan mau berkembang.
Gunakan pengetahuan yang kita miliki, dan miliki pengetahuan yang kita perlukan. Itu adalah jalan terbaik yang kita bisa tempuh.
Untuk menuju ke sana, kita semua tahu jalannya. Dan jalan itu adalah pendidikan.
Pendidikan jembatan emas untuk menuju kesempurnaan hidup. Manusia sejak dalam kandungan sekalipun sudah dididik oleh orangtuanya lewat berbagai cara. Dan cara klasik yang sering digunakan adalah music.
Konon music bisa membentuk karakter dan kecerdasan seseorang sejak masih dalam kandungan. Terutama keseimbangan emosional seseorang.
Dan pendidikan itu berlanjut setelah ia dilahirkan. Ibarat kertas putih, anak yang baru lahir akan terbentuk karakternya oleh lingkungan. Dan orangtua punya tanggung jawab utama untuk memberikan warna dominan pada anaknya itu.
Walau akhirnya pendidikan yang mencerdaskan kita. Dan saya sendiri menempatkan pendidikan di tempat terhormat. Karenanya, Berpeganglah pada didikan, janganlah melepaskannya, peliharalah dia, karena dialah hidupmu (Amsal 4:13). Tapi apakah itu suatu jawaban mengatasi kesulitan hidup dan kebodohan kita? Entahlah….

Baca Selengkapnya..

Wednesday, June 10, 2009

Eforia Pilpres

Oleh TY

Dalam nuansa eforia pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) 8 Juli 2009, sebagai rakyat kita semua dibuat pusing dengan berbagai pilihan yang ditawarkan oleh ketiga pasangan capres maupun tim kampanye masing-masing.
Bagi kader, pendukung maupun simpatisan mereka jelas sangat merasakan eforia politik lima tahunan itu. Tapi bagi kita yang memposisikan diri non partisan, jelas kita pusing tujuh keliling.

Pusing, bukan karena sulit menentukan pilihan terhadap salah satu capres pada hari H pilres kelak, tapi pusing memikirkan jargon-jargon yang didegungkan maupun progam-program yang diusung semua tidak masuk akal.
Sebagai rakyat, kita maunya yang praktis saja. Kita sudah capek banting tulang mencari makan setiap hari, jadi agak mustahil turut mencermati program-progam yang ditawarkan baik lewat televisi maupun Koran dan termasuk tim kampanye masing-masing kandidat.
Pasangan yang menawarkan ekonomi kerakyatan. Bentuknya juga belum jelas. Sementara bagi orang kampung, mungkin mereka lebih kenal credit union (CU) sebagai fisik dari ekonomi kerakyatan tersebut.
Kita patut khawatir, ekonomi kerakyatan itu tidak lebih hanya kekadar jargon belaka yang tanpa makna. Sebab mereka sendiri yang mengkoordinir, tidak mempraktikan ekonomi kerakyatan itu sendiri.
Apalagi memberi contoh konkrit ekonomi kerakyatan, oh tidak mungkin. Begitupun dengan pasangan yang menawarkan ekonomi jalan tengah semberi melanjutkan apa yang sudah berjalan sekarang.
Yang patut dipertanyakan, apa benda ekonomo jalan tengah itu, apakah kredit lunak yang tanpa agunan itu, sementara praktiknya bank tetap saja menuntut agunan?
Lalu ada lagi capres yang menjual kemandirian bangsa. Juga masih mimpi. Kalau soal kemandirian adalah cita-cita semua orang, tapi untuk bangsa kita ini rasanya seratus abad sekalipun masih sulit mendari. Kita sudah terlanjur biasa menjadi bangsa yang ‘disuap’ terus.
Nah, jargon-jargon seperti itu susah dicerna masyarakat kelas bawah yang mayoritas menjadi pemilih potensial kelak. Mereka tidak terpengaruh dengan berbagai bentuk jualan kempanye yang ditawarkan capres-cawapres maupun tim kampanyenya.
Masyarakat lebih senang menikmati apa yang bisa dinikmati hari ini, apa yang bisa dimakan hari ini. Soal pilihan, ya terserah siapa yang bisa memberi makan hari ini.
Maka tak salah banyak kalangan luar menilai bangsa kita masih sebagai bangsa yang ‘perasa’. Artinya, mereka lebih merasakan apa yang mereka liat langsung, terima langsung.
Sebagai ungkapan dari ‘perasa’ itu, orang juga menilai bangsa kita sebagai bangsa yang pandai berterima kasih. Maka sebagai wujud terima kasih terhadap apa yang dirasakannya secara langsung, maka pilihan suaralah taruhannya.
Singkat kata, siapa yang memberi dan dirasakan langsung masyarakat, maka dialah yang menjadi curahan suara masyarakat kelak. Dan itu bisa kita tebak sendiri, dari ketiga capres ini siapa yang lebih banyak memberikan program pro rakyat, dialah yang akan menerima manfaatnya. Ingat masyarakat kita belum bisa menilai figure, tapi mereka pandai menilai pemberitan.
Mereka juga pandai memeriahkan pesta demokrasi itu, tapi tak lebih dari sekadar eforia belaka. Ada yang meragukan? Mari kita buktikan bersama.

Baca Selengkapnya..