BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Thursday, February 26, 2009

Perencanaan


Oleh Tanto Yakobus

Pekerjaan wartawan bukanlah pekerjaan yang rutinitas. Dia dinamis, bukan statis. Dia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Tapi menembus semua sekat. Menembus kasta. Singkat kata, wartawan itu tahu segalanya (kecuali Tuhan). Benarkah wartawan tahu segalanya?

Itu sebetulnya standar ideal bagi wartawan. Teori klasik mengatakan, wartawan itu harus mensejajarkan dirinya dengan siapa pun, agar dia bisa menulis dengan baik. Bila mewawancarai presiden, dia harus mensejajarkan diri dengan presiden (jangan minder apalagi merendahkan diri). Termasuk dengan gubernur, bupati, walikota, atau siapa pun. Wartawan harus memposisikan dirinya sejajar dengan mereka.
Sebaliknya, bila mewawancara seorang pemulung, dia harus menjiwai dan memahami karakter pemulung itu. Jangan membuat jarak apalagi menganggap mereka rendah. Tapi perlakukanlah mereka seperti Anda memperlakukan diri sendiri.
Nah, dengan demikian, maka si wartawan bisa menulis dengan baik. Ia bisa melihat persoalan dengan jernih. Beda bila kita membuat jarak, maka banyak hal-hal yang justru tidak terungkap dalam tulisannya, karena memang si wartawan tidak meliput secara mendalam. Akhirnya tulisannya menjadi kering.
Padahal tulisan yang enak dibaca itu, sama dengan sayur yang berkuah dan berdaging. Rasakan saja bila kita makan nasi tanpa kuah sayur dan daging?
Dilema kita, wartawan belum bisa bekerja menembus ruang dan waktu tersebut. Mereka masih terpola dengan kerja PNS yang rutinitas. Wartawan masih tergantung dengan jam kantor pejabat.
Lihat saja, apa yang wartawan kerjakan sejak ia bangun tidur. Dia pasti menunggu jam kantor buka baru beranjak dari rumahnya. Itu pun masih binggung juga mau buat apa? Turun dari rumah dengan kosong, tanpa bekal baik dari kantor (Pemred, Wapemred, Redpel, Korlip atau redaktur) maupun persiapan diri sendiri.
Ya kasarnya, mereka asal berangkat kerja dan meninggalkan rumah. Setelah sampai di jalan SMS sana sini, atau telepon teman cari isu mau liputan apa hari ini. Itulah yang dilakukan wartawan kita di Pontianak ini. Sehingga hasilnya pun tak ada yang wah, segitu-segitu saja.
Agar tulisan kita baik, dan hasil liputannya baik, maka mesti ada rapat perencanaan, buatlah assignment atau penugasan. Lembar penugasan, selain memuat nama rubrik, masalahnya, nama narasumber, dan angle (sudut pandang), tentu saja memuat daftar pertanyaan.
Dan jangan lupa: foto apa dan bagaimana yang dikehendaki. Sangat dianjurkan kepada redaktur yang menugasi untuk (selalu) berdiskusi dengan wartawan yang ditugasi. Sebelum kolom pertanyaan, harus ada kolom mengenai reportase--apa yang harus digambarkan oleh si wartawan. Dalam hal pertanyaan, sekali lagi tuliskan pertanyaan yang strategis--bukan pertanyaan yang biasa-biasa saja. Dan jangan lupa, si wartawan harus mengembangkan penugasan--tidak hanya membebek kaku pada penugasan mati itu.
Bila itu dilakukan si wartawan, maka tiap hari dia akan melangkah pasti dari rumahnya. Tidak ada lagi perasaan ngambang, bingung mau liputan kemana, karena semuanya sudah terencana dengan baik. Prinsipnya, apa pun yang direncanakan dengan baik, maka hasilnya juga akan baik. Gak repotkan?

Baca Selengkapnya..

Wednesday, February 25, 2009

Menjahit Mulut ke Koran


Oleh Tanto Yakobus

Menjahit mulut ke koran. Istilah ini agak ngetrend di kalangan kru Redaksi Harian Borneo Tribune. Awal mula munculnya istilah menjahit mulut ke koran itu dilantorkan oleh Mering, salah seorang redaktur di koran asli milik Kalimantan Barat ini.

Ya maklum saja, setiap hari rekan-rakan redaktur di Borneo Tribune menjadikan beberapa koran lokal sarapan paginya. Kita sering diskusi membedah berita-berita yang disajikan beberapa media itu.
Kalau melihat kualitas dan logika berita yang kadang tidak memenuhi standar jurnalistik, bisa-bisa redakturnya dibikin senewen. Sebab tiap hari mereka pastilah disuguhkan wartawan dengan berita yang asal ada. Berita yang asal jadi. Parahnya lagi, berita asal buat.
Ya kasarnya wartawan yang demikian sama saja dengan menjahit mulut narasumber atau tokoh tertentu ke koran. Apa pun yang diucapnya dipindahkan begitu saja ke komputer. Rekaman dari A sampai Z muncul di tulisannya. Tidak ada analisa apalagi logika beritanya tidak ada dalam tulisan tersebut.
Itulah yang oleh rekan-rekan redaktur sama dengan menjahit mulut ke koran. ”Ambil mulutnya tempel ke koran, langsung print dan cetak saja,” ujar Mering mengomentari tulisan di koran itu.
Kerjaan yang menjahit mulur narasumber ke koran itu adalah kerjaan wartawan yang masa bodoh. Wartawan malas dan tidak mau belajar. Sesungguhnya tidak ada wartawan yang hebat bila dia tidak mau mengembangkan diri dengan belajar dan terus belajar.
Buntutnya, redakturlah yang kerja keras menulis ulang berita itu kembali agar layak di sajikan ke pembaca. Sebab bila tidak diperbaiki oleh redaktur, reputasi dan kredibelitas koran tersebut taruhnya.
Sebetulnya, ada beberapa kriteria agar sebuah berita layak muat. Diantaranya, peristiwanya aktual, menyangkut sebuah nama penting (public figure, selebritas), menyangkut prestasi yang hebat, termasuk kejadian langka, menyangkut publik dalam jumlah (sangat) besar (massa), dan seterusnya.
Singkat kata: luar biasa, spesial. Sebagaimana filosofi berita yang sangat klasik: Anjing menggingit orang, itu berita biasa, bahkan bukan lagi berita. Tapi bila orang menggigit anjing, itu berita luar biasa, sangat layak muat.
Nah, itulah yang terjadi dengan wartawan-wartawan kita. Adalah tugas kita bersama meningkatkan kualitas wartawan tersebut agar tidak lagi menjahit mulut narasumber ke koran. Sanggupkah?

Baca Selengkapnya..

Tuesday, February 24, 2009

Sosialisasi Pemilu


Oleh Tanto Yakobus

Pemilihan umum (pemilu) legislatif (DPRD, DPR dan DPD) yang dijadwalkan pada tanggal 9 April 2009 tinggal 44 hari lagi. Walau pelaksanaan pemilu sudah di ambang pintu, tapi masyarakat kita masih bingung dan tak paham dengan tatacara pemilu tersebut.
Kebingungan tersebut sangat beralasan. Sebab pemilu kali ini jauh berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Bahkan ini kali pertama perubahan tatacara pemilu di Indonesia yang selama ini dikenal dengan coblos atau melobangi lambang partai dan, nama atau foto calon.

Pemilu sekarang, tidak lagi menggunakan cara klasik tersebut. Sistemnya tetap saja, namun ada tatacara yang sedikit dimodifikasi, yakni dari cara mencoblos ke mencontreng, atau mencentang, atau conteng.
Bagi orang tua yang kebetulan tidak bisa baca tulis, cara yang sekarang betul-betul rumit bagi mereka. Kerumitan itu ditambah lagi dengan sosiasisasi yang minim dari penyelenggara pemilu maupun pihak-pihak yang berkompeten dengan pemilu.
Sosialisasi itu penting. Terutama untuk menekan kesalahan sehingga suara menjadi rusak atau tidak sah. Dengan cara mencoblos saja, banyak suara yang rusak dan dianggap tidak sah. Ada yang salah coblos, coblos ganda dan lain-lain.
Dengan mencontreng yang rumit sekarang, diprediksi suara yang tidak sah atau rusak persentasenya akan semakin meningkat. Kondisi itu diperparah lagi dengan sosialisasi yang minim tadi.
Penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Sehingga waktu mereka habis tersita untuk mengenahkan persoalan internal maupun eksternal.
Internal menyangkut personel yang tidak siap bahkan belum belum dilantik hingga pada persoalan SDM yang pas-pasan. Eksternal, mulai dari persoalan parpol yang begitu banyak sebagai kontestan pemilu hingga pada persoalan klasik, yakni masalah dana yang selalu menjadi sumber ketegangan mereka akhir-akhir ini.
Demikian juga dengan Panwaslu. Selain dibebani masalah internal dan eksternal tadi, kini mereka justru sibuk mengurus caleg yang sudah gencar melakukan sosialisasi kepada pemilih atau masyarakat luas. Harusnya, Panwaslu berterima kasih kepada para caleg secara mandiri dapat melakukan sosialisasi baik lewat iklan, spanduk, bahilo maupun pamflet-pamflet.
Tapi di lapangan, mereka justru sibuk mendikte para caleg kalau-kalau melakukan pelanggaran kampanye. Sibuk menertibkan baliho caleg yang terpasang di tempat umum. Mestinya dengan kondisi mereka yang terbatas dalam melakukan sosialisasi, Panwaslu cukup menertibkan baliho caleg yang dipasang dan membahayakan penguna jalan atau yang tumbang saja. Sebab di baliho itu sudah jelas sosialisasi bagaimana cara mencontreng yang benar.
Kompleksnya persoalan menjelang pemilu ini, besar kemungkinan kualitas pemilu akan rendah. Reformasi yang dicita-citakan bisa merubah keadaan menjadi lebih baik bakal tidak terjadi. Sebab masyarakat dengan kondisi yang serba gelap karena tak ada sosialiasi pemilu, akan tetap menggunakan hak pilihnya hanya mendengar kata orang, sementara mereka sendiri tak mengerti bagaimana supaya bisa memilih wakil yang betul-betul mereka percaya.
Kalau begini jadinya, maka masyarakat terutama yang tidak bisa baca tulis besar kemungkinan akan kehilangan suaranya, selain salah cara memilihnya, mungkin surat suara rusak. Nah dengan waktu yang tersisa ini, mari semua stakeholder melakukan sosialisasi sesuai kapasitasnya. Sebab kita ingin pemilu berkualiatas. Pemilu berkualitas menghasilkan wakil yang berkualitas pula. Semoga.

Baca Selengkapnya..

Wednesday, February 18, 2009

Selamat Bertugas Bang Muda


Oleh Tanto Yakobus

Hari ini, Selasa (16/2) Kabupaten Kubu Raya resmi memiliki bupati dan wakil bupati definitif. Adalah Muda Mahendrawan dan Andreas Muhrotien—pasangan yang memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) Bupati Kabupaten Kubu Raya hingga memasuki dua putaran pada Desember 2008 lalu.

Walau kurang diunggulkan, karena memang kuang pupuler dari segi pendanaan ketika kampanye, sebetulnya kemenangan Muda-Andreas sudah diprediksi sejak awal.
Muda-Andreas dalam kampanyenya tidak mengandalkan kekuatan uang, tapi berhasil memenangkan hati rakyat lewat pendekatan strutural yang dibangunnya selama ini.
Jauh sebelum pilkada, dia sudah memenangkan hati rakyat. Dia selalu berjuang bersama rakyat dan bergaul bersama rakyat dari berbagai kalangan dan latar belakang, tanpa memandang suku, agama dan antar golongan.
Perjuangan bersama rakyat itu bermula dari wacana pembentukan Kabupaten Kubu Raya yang semula ‘tidak’ masuk akal. Bahkan kita sering mendengar pengamat, bahwa pemekaran atau pemecahan Kabupaten Pontianak itu mustahil.
Tapi bukan Muda namanya bila tidak bisa mengkoordinir masyarakat lewat forum desa. Secara rutin setiap pekan Muda memobilisasi pertemuan dari desa satu ke desa yang lain, sehingga terbentuklah forum desa yang melahirkan tekad mendirikan daerah otonom baru.
Nah, perjuangan Muda tidak berhenti di forum desa itu saja, tapi bahu membahu baik lewat media massa maupun pertemuan para tokoh, sepuh dan sebagainya, maka bulatlah tekad itu sehingga keluar rekomendasi yang disampaikan Pemerintah Kabupaten Pontianak, DPRD Kabupaten Pontianak, DPRD dan Gubernur Kalbar yang selanjutnya juga mengeluarkan rekomendasi pembentukan daerah otonom baru tersebut.
Singkat cerita, pada pertengahan 2007 Pemerintah Pusat menyetujui terbentuknya kabupaten baru di Kalbar, yakni Kabupaten Kubu Raya (KKR).
Setelah berhasil membentuk struktur pemerintahannya, pada akhir tahun 2008 dilaksanakan pilkada perdana di KKR.
Nah, Bang Muda selaku pengagas lahirnya KKR juga tak tinggal diam. Walau tidak mendapatkan parpol sebagai tumpangan politiknya, Muda tidak hilang akal. Dia maju lewat jalur perseorangan.
Karena maju lewat jalur perseorangan inilah membuat kans Muda untuk mememangkan pilkada KKR hanya dilihat sebelah mata oleh banyak kalangan. Apalagi partai-partai besar mengusung figur yang tidak kalah populernya di KKR.
Berbekal kerendahan hati, niat yang tulus serta kedekatannya dengan masyarakat, Muda akhirnya mendapat simpati dan dukungan luas dari masyarakat KKR. Buktinya, pada pilkada yang diikuti 8 pasangan calon, Muda-Andreas unggul dalam perhitungan suara. Namun karena banyaknya konstentan pilkada, suara Muda-Andreas tidak sampai 30 persen seperti yang disyaratkan UU. Sehingga Muda-Andreas harus bertarung lagi di putaran kedua melawan pasangan Jiwo-Okto yang menjadi pemenang kedua.
Pada putaran dua ini, laju Muda-Andreas tak bisa dibendung lagi. Dukungan mutlak diberikan masyarakat KKR, sehingga mereka menang telak. Walau sempat mampir ke Mahkamah Konstitusi (MK), tapi kemenangan Muda tak bisa dihalang lagi. Sejatinya, itulah kemenangan rakyat KKR.
Pada hari baik ini, kita ingin mengucapkan selamat bertugas buat Bang Muda. Ingat perjuangan Abang baru dimulai. Jalankanlah amanah rakyat itu dengan tulus dan iklas, niscaya Abang pasti sukses. Sekali lagi, Selamat!

Baca Selengkapnya..

Wednesday, February 11, 2009

Jadikan Perbatasan Beranda Depan


MANUSIA PERBATASAN
Masyarakat Kecamatan Sajingan Sambas baik berjalan kaki maupun berkendaraan bermotor sudah mantap keluar-masuk untuk aktivitas perdagangan. Mereka mengaku semakin cinta Indonesia karena sudah mendapat perhatian pembangunan. FOTO Nur Iskandar/Borneo Tribune
============
Oleh Tanto Yakobus

Pemerintah Pusat kini tengah fokus memikirkan pembangunan daerah perbatasan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik dalam kampanye pilpres 2004 lalu muapun setelah terpilih menjadi Presiden keenam Republik ini, menegaskkan konsepnya untuk menjadikan perbatasan beranda depan negeri ini.

Memang untuk menuju ke arah sana tidaklah mudah. Butuh pemikiran, butuh konsep, butuh waktu, butuh tenaga, dan tentu butuh biaya yang tidak sedikit pula.
Bahkan presiden-presiden pada pemerintah sebelumnya juga mengatakan tekad yang sama untuk membangun kawasan perbatasan. Sebab keberadaan perbatasan amat penting dan strategis terutama bagi masyarakat yang selama ini tinggal di sana.
Konon beberapa orang mengatakan, masyarakat kita disana lebih kenal pejabat Malaysia ketimbang pejabat di negerinya. Mereka lebih kenal Mahatir Muhammad ketimbang Soeharto ketika itu.
Dan fakta lapangan selama ini, kiblat kehidupan, terutama perekonomian mereka di perbatasan lebih condong ke Malaysia. Sebab selain biaya transportasi yang murah, harga barang juga terjangkau, bila dibandingkan mereka harus membeli kebutuhan sehari-hari ke kecamatan terdekat.
Selain jarak tempuh jauh bahkan bisa berhari-hari, harganya jelas dua kali lipat bila mereka berbelanja di Jiran.
Kondisi itulah membuat Pemerintah Pusat menaruh perhatian besar terhadap pembangunan kawasan perbatasan. Bahkan keinginan pemerintah pusat itu bak gayung bersambung dengan keinginan Gubenur Kalbar, Cornelis, soal konsep pembangunan perbatasan.
Bahkan dalam visi misinya, Cornelis membalik paradigma pembangunan yang selama ini dimulai dari kota ke desa. Tapi Pemprov Kalbar di bawah kendali Cornelis menghendaki pembangunan dari desa ke kota, dan salahsatunya pembangunan kawasan perbatasan dan kepulauan.
Khusus perbatasan, kini dipersiapkan pembukaan Pos Lintas Batas (PLB) di Aruk (Sambas) dan Badau (Kapuas Hulu).
Rencananya, dalam waktu dekat Presiden SBY sendiri akan meninjau dua rencana PLB baru tersebut. Hal itu ditandai dengan kunjungan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri dan Markas Besar TNI untuk melihat langsung kesiapan pembukaan PLB Indonesia-Malaysia itu.
Hasil peninjauan itu, baru bisa dipastikan kapan PLB bisa dibuka. Namun itu juga mesti melihat kesiapan dari pihak Malaysia juga. Secara teknik, kita lebih siap dari Malaysia.
Peninjauan juga untuk melihat dari segi keamanan yang dilakukan TNI dan Polri di sekitar perbatasan Kalbar-Sarawak, baik dari segi ancaman perdagangan manusia, pembalakan hutan secara liar, penyelundupan dan praktik "illegal" lain yang sangat rawan terjadi.
Nah, dengan dibukanya dua PLB baru tersebut, maka di Kalbar sendiri nantinya ada tiga PLB, yakni Entikong, Aruk dan Badau. Dengan semakin terbukanya perbatasan, maka mau tidak mau pemerintah mesti menjadikan perbatasan sebagai beranda terdepan Republik ini, karena berhubungan langsung dengan pihak luar. Sanggupkah?

Baca Selengkapnya..

Monday, February 9, 2009

Partai Demokrat Harus Mewujudkan Cita-Citanya


Andi Mallarangeng, Ketua SDM DPP Partai Demokrat, mengemukakan, kader Partai Demokrat harus berjuang untuk mencapai seluruh cita-citanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pencapaian sebagian tujuan dari Partai Demokrat tercermin dari keberhasilan pemerintah Indonesia antara lain dalam swasembada beras, pengurangan kemiskinan dan berbagai program untuk melindungi warga miskin, kata Andi kepada Antara di Jakarta, Senin (9/2).

Sebelumnya Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengklaim bahwa sebagian dari cita-cita Partai Demokrat yang didirikan sejak delapan tahun lalu sudah tercapai.
Pada acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat di Hall D, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Minggu, SBY mengingatkan para kader Demokrat tentang tujuan dan misi Partai yang dibidaninya tersebut.
Menurut SBY yang juga kepala negara itu, Partai Demokrat dibentuk untuk menjadi partai modern yang menumbuhkan demokrasi di Indonesia.
Selain itu, Partai Demokrat juga ingin bersifat terbuka dan menjunjung idealisme dengan cara berpolitik yang bersih, cerdas, dan santun, serta berjuang untuk kepentingan rakyat.
"Saya ingin katakan dengan terus terang, sebagian dari cita-cita itu sudah tercapai. Sebagian dari cita-cita kita mendirikan Partai Demokrat dan jumlahnya cukup banyak belum sepenuhnya dapat kita capai," tuturnya.
Meski demikian, SBY mengatakan, para kader Partai Demokrat tidak perlu berkecil hati dengan tujuan yang belum sepenuhnya tercapai itu, terlebih karena partai berlambang segitiga itu masih berusia belia.
"Perjalanan kita masih panjang, tetapi tidak perlu kecil hati karena Partai Demokrat baru berdiri, belum delapan tahun," ujarnya.
Pada acara Rapimnas itu, SBY mengingatkan para kader Partai Demokrat untuk terus mendukung program-program pemerintah yang pro rakyat.
"Dorong dan awasi, bantu pemerintah daerah, para gubernur, bupati, walikota, mensukeskan program-program yang pro rakyat," ujarnya.
SBY meminta para kadernya untuk berpolitik secara etis serta mempersilakan mereka yang tidak menjalankan amanah partai untuk mundur.
Ia mengingatkan, apabila Partai Demokrat berhasil memenangkan Pemilu 2009, maka kader-kadernya di eksekutif maupun legislatif dapat meneruskan pencapaian yang telah diraih pemerintah sejak 2004.
Rapimnas Partai Demokrat yang diselenggarakan selama dua hari, 8-9 Februari 2009, diikuti oleh 1.900 peserta terdiri atas caleg DPR, caleg DPRD Provinsi Jawa-Bali, pengurus DPP dan DPC Partai Demokrat seluruh Indonesia.
Dinding Hall D PRJ Kemayoran tempat berlangsungnya Rapimnas Partai Demokrat dipenuhi oleh berbagai spanduk iklan politik yang mengklaim keberhasilan pemerintah sejak 2004, di antaranya adalah pelunasan utang Dana Moneter Internasional, jumlah cadangan devisa terbesar selama sepuluh tahun terakhir, serta nilai jaminan kesehatan masyarakat miskin yang diklaim terbesar sejak era orde baru.
SBY beserta Ibu Ani yang mengenakan jaket biru Partai Demokrat langsung disambut pekik "Demokrat", "SBY yes", serta "31 menang", begitu memasuki tempat acara.
Agenda utama Rapimnas Partai Demokrat adalah penguatan internal partai menjelang pemilu legislatif pada 9 April 2009.
Menurut Andi, masih banyak tujuan partai yang belum tercapai dan harus dikerjakan terutama upaya untuk terus menerus mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu para kader PD harus berjuang dan memenangkan Pemilu 2009 agar dapat memenangkan kembali SBY sebagai presiden sehingga mampu mewujudkan program yang bersinambung, katanya. (Dimuat di Harian Borneo Tribune, Pontianak, Selasa 10/1)

Baca Selengkapnya..

Mengemas Paket Wisata Kalbar


Oleh Tanto Yakobus

Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya pada pembukaan Cap Go Meh di Singkawang, mengatakan sektor pariwisata merupakah salah satu alternatif potensi yang dapat dikembangkan untuk menggerakkan ekonomi daerah.

Pernyataan Wagub tersebut sangat beralasan, sebab di Kalbar ini banyak potensi yang bisa dijadikan objek wisata dan sangat variatif. Mulai dari wisata budaya, wisata petualangan, wisata alam, wisata bahari, agrowisata, wisata sejarah, wisata kuliner dan berbagai atraksi pariwisata lainnya.
Untuk wisata alam misalnya, kita punya banyak sekali tempat atau pilihan yang layak dikelola sebagai aset pariwista. Lokasinya hampir merata di setiap kabupaten.
Mulai dari air terjun, panorama alam, hutan lindung hingga danau. Cuman persoalan kita sekarang, setiap tempat yang layak dijadikan tempat pariwisata itu belum dikembangkan optimal. Atau paling tidak ada infrastruktur jalan yang menuju objek-objek wisata tersebut.
Sejauh ini, objek-objek wisata itu barus sebatas tempat piknik kalangan pelajar atau mahasiswa saja, belum ada upaya mengembangkan agar bisa mendatangken keuntungan bagi daerah.
Itu baru objek wisata alam. Belum lagi wisata budaya. Kita punya banyak budaya yang unik, bahkan lebih dari Bali yang hanya memiliki satu budaya.
Persoalan kita sekarang, berbagai keunikan budaya itu belum dijadikan paket wisata. Berbagai bentuk pagelaran budaya oleh etnik tertentu hanya sekedar menjalankan ritual sesuai tradisi yang ada pada etnik itu sendiri.
Selebihnya, tidak ada aktivitas sama sekali terkait pengembangkan budaya etnik dimaksud.
Padahal bila dikembangkan dan dijadikan paket wisata, maka orang akan suka berkunjung ke Kalbar, karena setiap bulan atau sepanjang tahun ada saja pertunjukkan budaya yang unik-unik.
Seperti kemarin, perayaan Cap Go Meh. Bila dikemas dengan baik, maka akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik lokal, nasional maupun mancanegara.
Setiap tahun memang sudah rutin digelar misalnya Pekan Gawai Dayak, Festival Bumi Khatulistiwa, Naik Dango, Robok-Robok, Festival Meriam Karbit dan masih banyak lagi budaya unik yang belum dikenal masyarakat luas.
Wisata kuliner juga tidak kalah menarik. Sebab di Kalbar ini banyak sekali jenis makanan yang kalau dikembangkan dengan baik lewat promosi yang baik pula, akan menjadi daya pikat tersendiri untuk mengundang orang luar datang ke Kalbar.
Kita sudah punya modal dengan berbagai tempat wisata tadi. Namun untuk mendukung daerah pariwisata itu tidak cukup dengan intrastruktur dari pemerintah saja, tapi kita mesti bisa menciptakan situasi yang dapat menciptakan kesan mendalam bagi wisatawan saat berkunjung ke dareah kita. Tentu keamanan menjadi jaminan utamanya.
Dengan demikian, maka kita bisa membantu mewujudkan program pemerintah yang menjadikan "Visit Kalbar 2010". Semoga.

Baca Selengkapnya..

Kegagalan Demokrasi


Oleh Tanto Yakobus

Peristiwa unjukrasa menuntut pemekaran Provinsi Tapanuli (Protap) yang berujung anarkis berakibat tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat, telah mencoreng citra demokrasi di Indonesia.

Itu kegagalan demokrasi di negeri ini. Apa pun alasannya, setiap orang harus menghormati hak asasi manusia. Salahsatunya, menghormati demokrasi itu, karena kita sudah sepakat demokrasi adalah yang paling adil. Lebih manusiawi. Lebih mengedepankan hak asasi manusia.
Kita mesti menghargai demokrasi dan hak asasi setiap orang, tentu tidak dengan anarkis. Apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain.
Sekarang kita hidup di era reformasi. Kondisinya beda dengan sebelum reformasi.
Bila sebelum reformasi, kekerasan dan tindakan anarkis massa kerap terjadi, karena memang kondisi waktu itu memungkinkan untuk anarkis massa. Sebab kita hidup dibawah tekanan penguasa waktu itu.
Kita tidak bisa bicara sebebas sekarang. Bila ada yang berani bicara menentang pemerintah, apalagi opisisi, jelas tidak ada tempat, tidak ada ruang. Bila ia seorang aktivis, pasti tinggal nama. Sebab ia akan hilang.
Bila ia seorang pejabat atau militer, maka akan dicekal. Bahkan dipecat. Masyarakat sipil tidak berdaya. Suara demokrasi memang sudah ada, tapi baru sebatas pelajaran di sekolah atau di kampus saja. Praktiknya nol besar.
Beruntung mahasiswa masih punya nyali. Aksi merekalah yang menumbangkan simbol Orde Baru, yakni Soeharto sehingga lahirnya era reformasi pada 21 Mei 1998.
Dengan reformasi kita berharap demokrasi bisa tumbuh subur. Mulai dari pemilu yang diikuti multi partai. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara lansung. Hingga pemilihan langsung gubernur, bupati/walikota di berbagai daerah. Hasilnya cukup memuaskan.
Walau pada praktiknya masih terdapat kekurangan di sana sini, tapi secara umum demokrasi bisa tumbuh dengan baik.
Di tengah harapan demokrasi bisa tumbuh subur di negara yang berpenduduk padat dengan wilayah luas yang meliputi ribuan pulau, kita kembali dikejutkan dengan aksi massa yang menewaskan Ketua DPRD Sumut. Peristiwa itu bukan hanya mencoreng citra demokrasi di Indonesia, tapi juga sejarah suram perjalanan politik kita, terlebih sekarang kencang tuntutan pemekaran di berbagai daerah, termasuk kita di Kalbar. Dimana masyarakat kawasan timur menginginkan pemekaran Provinsi Kapuas Raya. Insiden Sumut tentu menjadi alasan tersendiri gagalnya pemekaran Provinsi Kapuas Raya. Nah, bagaimana kita menyikapinya? Mari renungkan.

Baca Selengkapnya..

Wednesday, February 4, 2009

Menjadi Pemain


Oleh Tanto Yakobus

Sampai hari ini mungkin masih ada teman kantor maupun di luar bertanya-tanya mengapa saya pilih bergabung dengan Partai Demokrat dan menjadi calon legislatif (caleg) Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau untuk pemilu 9 April mendatang?
Tak sedikit pula rekan-rekan wartawan komentar; dengan masuknya saya ke parpol tertentu, saya sudah partisan. Sementara jurnaslisme adalah profesi yang mandiri dan tidak partisan.

==========
BERSAMA BUPATI SEKADAU
Saya (kanan) Bupati Sekadau, Simon Petrus, S.Sos., M.Si, Ibu Skolastika Simon Petrus dan Bonifatius Benny, saat pelantikan pengurus DPC Partai Demokrat Kabupaten Sekadau. Simon Petrus terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sekadau.
==========

Terhadap komentar rekan jurnalis itu, saya katakan, saya ingin menjadi pemain, bukan pengamat apalagi penonton.
Tentu, setiap orang punya keinginan, cita-cita dan prinsip hidup. Jadi untuk menentukan arah hidup, saya punya hak dong.
Nah, jika begitu, lepas dong jurnalistiknya? Oh tidak, sebab jurnalis itu bukan sekedar profesi, tapi keterampilan yang sudah melekat pada pribadi saya. Kapan pun saya mau bisa menulis dan dimana pun.
Kalau soal partisan, saya rasa semua profesi itu bersayap. Tidak ada yang bisa berdiri sendiri. Seorang dokter spesialis sekalipun, tidak ada larangan baginya untuk menjadi caleg. Apalagi di negara demokrasi seperti kita. Cuma yang tak boleh jadi caleg TNI-Polri. Tapi setelah purnawirawan, mereka bisa masuk partai apa pun.
Beda dengan saya, dengan niat yang tulus saya ingin menjadi pemain profesional. Dan saya sangat yakin, karena sebelum memutuskan masuk lapangan, saya sudah mengenal luar dalam lapangan tersebut. Mulai dari teori (sesuai pendidikan) hingga praktik di lapangan. Praktik lapangan lebih gila lagi, saya pun tak sanggup menceritakannya. Istilahnya sama dengan bermain bola, dari bermain cantik sampai tekling kasar. Saya pahamlah itu.
Beda dengan teman-teman yang terjun lapangan dengan masih meraba-raba. Konyolnya lagi mencari pekerjaan. Ya caleg untuk mencari kerja. Maka wajar bila terpilih betul-betul kerja, sehingga tidak tahu fungsi sesungguhnya. Apalagi mikir kepentingan rakyat, jauhlah itu.
Sebagai jurnalis, saya tahu fungsi legislatif. Saya juga tahu apa kerja mereka selama ini, karena sudah sembilan tahun saya meliputnya. Ibarat pengamat bola, saya hanya pandai mengkritik lewat tulisan, tapi tidak ada juga perubahan. Memang di Indonesia pengamat lebih pandai dari pemain. Lihat saja ketika Timnas PSSI tampil di Stadion Utama Bung Karno. Sudah susah payah mengalahkan lawan tangguh, masih saja dicemooh. Pengamat pandai menilai person pemain. Dia tidak berkembang di posisinya, perlu diganti.
Saya juga merasa begitu, setelah sembilan tahun menggunakan tangan dan pikiran saya istilah teman di kantor, ”menjahit mulut” (komentar) dewan ke koran menyorot kebijakan tak memihak rakyat, ternyata tidak ada juga perubahan. Jadi mustahil juga ada perubahan bila kita hanya pengamat. Yang bisa mengubah sesuatu adalah pemain. Sebab pemain jugalah yang bisa melewati lawan dan mencetak gol. Jadi saya ingin ada perubahan dengan pemikiran-pemikiran dan pengalaman saya selama ini bila kelak saya dipercayakan rakyat menjadi wakilnya. Itu saja sih.

Baca Selengkapnya..

Monday, February 2, 2009

SBKRI ‘Duri’ Indonesia Sesungguhnya


Oleh Tanto Yakobus

Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanyaja, pada perayaan Tahun Baru Imek 2560 Yayasan Bhakti Suci di hotel Kapuas Palace, Minggu (1/2) malam mengajak semua pihak tidak lagi memperoalkan beberadaan etnis Tionghoa di Bumi Pertiwi ini. Bahkan dia mempertegas permintaan Presiden SBY menghapus perlakuan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Pada peringatan Tahun Baru Imlek tingkat nasional di Jakarta Convention Center (JCC), Minggu, Presiden minta jajarannya dari pusat hingga daerah menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan memenuhi hak-hak sipil sesuai UU. Secara khusus Presiden minta Menkumham dan Kapolri, agar Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) tidak lagi sebagai syarat pembuatan paspor atau SIM.
Itu pula yang diteruskan Wagub Christiandy kepada warga Tionghoa Pontianak pada perayaan yang dihadiri Danrem, Danlanud, Kapolda dan sejumlah pejabat Pemprov Kalbar. Sebab fakta lapangan, masih ada yang mensyaratkan SBKRI dalam pengurusan berbagai dokumen seperti paspor, KTP, SIM atau dokumen pernikahan.
Penerapan itu agaknya akibat sosialisasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM RI di berbagai daerah sejak Agustus 2006 lalu, masih kurang. Atau ada oknum pejabat daerah yang tidak mensosialisasinya sama sekali.
Padahal kita sadar bahwa kebangsaan Indonesia dibangun di atas berbagai identitas kelompok masyarakat. Karena itu atas nama konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bersama bangsa Indonesia tidak seharusnyalah didiskriminasi, yang dibiarkan hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita itu tetap ada.
Di kantor Imigrasi Pontianak pekan lalu saja, ternyata masih diberlakukannya SBKRI kepada WNI keturunan Tionghoa dalam pembuatan paspor. Kenyataan ini menambah daftar panjang “kegagalan” upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan diskriminasi rasial sejak 1978. Kala itu Peraturan Menteri Kehakiman ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB.3/31/3 Tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri. Inti Surat Edaran tersebut ‘mewajibkan’ kaum peranakan untuk memiliki SBKRI.
Fenonema SBKRI itu menjadi persoalan kewarganegaraan dan salah satu catatan hitam Indonesia dalam pemenuhan International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1999.
Sebagai sebuah dokumen, SBKRI tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor, bersampul hijau, dan pada cover depan bertuliskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Namun memiliki dokumen SBKRI ini, persoalannya tidaklah sesederhana dan terbatas sebagai seorang anak dari orangtua warga negara Indonesia etnik Tionghoa beranjak usia 18 tahun, atau sudah menikah, biar pun sang orangtua atau kakek-nenek buyutnya telah menjadi warga negara Indonesia. Layaknya suatu “ritual generasi” ketika sang anak telah menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi.
Kini pemberlakuan SBKRI bukanlah mitos, melainkan kisah nyata anak negeri, yang sejak dilahirkan hingga meninggal, wajib memiliki SBKRI!
Dengan demikian, persoalan SBKRI ini tidak saja menjadi ‘momok’ bagi warga Tionghoa, tetapi telah menjadi “duri” dalam upaya mewujudkan integrasi kebangsaan Indonesia sesungguhnya. Sebab, pada hakikatnya SBKRI dalam arti identitas kewarganegaraan tidak saja berkaitan dengan status legalnya (citizenships-as-legal-status), tetapi juga luasan dan kualitas kewarganegaraan seseorang yang merupakan fungsi dari partisipasi orang tersebut di dalam komunitas politiknya (citizenships-as-desireable-activity). Jadi, jangan hanya menjelang pemilu baru merangkul warga Tionghoa, setelah itu lupa hingga pemilu berikutnya.

Baca Selengkapnya..

Simon Kenalkan Pembantunya ke Warga Sekadau di Pontianak


Oleh Tanto Yakobus

Bupati Sekadau, Simon Petrus, menggunakan moment Natal bersama untuk memperkenalkan pembantunya dalam mengelola pemerintahan di Kabupaten Sekadau kepada warga Sekadau yang ‘merantau’ di Pontianak, Sabtu (31/1) akhir pekan kemarin.

Simon yang menghadiri perayaan Natal bersama Mahasiswa, warga Paguyuban Patih Singaria dan Rukun Ayong Mualang serta Pemkab Sekadau yang digelar di Auditorium Universitas Tanjungpura Pontianak itu membawa serta beberapa kepada dinas dan pejabat eselon II yang baru saja diangkat dan dilantik dalam Struktur Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) Kabupaten Sekadau yang baru.
Para pejabat yang hadir itu antara lain, Kadis Kependudukan dan Catatan Sipil, Yoseph Marcus, Asisten Pemerintahan Perekonomian dan Sosial Setda Sekadau, Yohanes Jhon, Inspektur Kabupaten Sekadau, Henry Lisar, dan beberapa pejabat lainnya, termasuk Camat Nanga Mahap, Rupinus.
Kepada warga Sekadau di Pontianak, Simon minta untuk berpartisipasi membangun Kabupaten Sekadau.
“Sumbangan pemikiran bapak, ibu dan saudara sekalian sangat penting untuk membantu kami, bagaimana kita bersama-sama membangun Sekadau tercinta,” ajak Simon disambut tepuk tangan hadirin yang memadati Auditorium itu.
Menurut Simon, dalam mengisi SOPD yang baru saja dilantik, dirinya sudah berupaya mengakomodir semua kepentingan ada yang di Sekadau. Termasuk mencari pejabat dari kalangan masyarakat Dayak.
“Memang saya akui kita ini kekurangan kader, sehingga susah mencari pejabat untuk menduduki posisi tertentu, karena itu menyangkut jenjang dan kepangkatan dan karier seseorang,” katanya.
Simon yang juga Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sekadau itu juga minta acara Natal bersama seperti itu kedepannya agar diagendakan dan masuk agenda tetap Pemkab Sekadau untuk memudahkan dalam hal pendanaan.
Sebab katanya, Pemkab Sekadau menaruh perhatian yang sama kepada semua warganya, baik yang merayakan Natal maupun yang merayakan Idul Fitri di Pontianak ini. Untuk itu perlu menjadi agenda Pemkab Sekadau.
Pada kesempatan itu Simon juga berpesan kepada para mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Sekadau agar belajar sungguh-sungguh. “Kita berusaha memperhatikan dan mendukung mahasiswa kita agar studinya lancar dengan memberikan beasiswa bagi yang berprestasi maupun yang orang tuanya kurang mampu,” jelas Simon.
Selain memberikan beasiswa, Pemkab Sekadau kini telah membangun dua asrama mahasiswa, satu di lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak dan satunya lagi di Yogyakarta.
Paulus Florus yang mewakili warga Sekadau di Pontianak mengucapkan terima kasih kepada Pemkab Sekadau terutama Bupati Simon Petrus yang menaruh perhatian besar kepada masyarakat Sekadau di perantauan.
“Perhatian itu terlebih ditujukan kepada anak-anak kita yang berasal dari berbagai daerah di pedalaman Sekadau yang menuntut ilmu di kota ini, agar mereka bisa belajar dengan baik dan kelak dapat mengabdikan dirinya di Kabupaten Sekadau yang memang butuh tenaga-tenaga profesional,” kata Florus.
Sementara itu, Bambang Setiawan selaku ketua panitia Natal bersama mengatakan, sebetulnya Natal kali ini sudah terlambat. Keterlambatan itu kata Bambang, bukan karena kesengajaan, tapi pada akhir Desember dan awal hingga pertengahan Januari rekan-rekan mahasiswa masih liburan di kampung masing-masing.
“Setelah kami berkunsultasi baik dengan Pastor maupun Pendeta, maka Natal kita laksanakan pada hari ini,” jelas Bambang.

Baca Selengkapnya..