BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Tuesday, October 9, 2007

Tanah Leluhur vs Tanah Kelahiran

“Singapura itu tidak ada hutan, tidak ada kayu dan tidak ada tambangnya, ia hanya suatu daerah kecil yang majunya bukan main. Belum lagi Hongkong dan China,” ujar Tan Tjung Hwa saat bincang-bincang dengan kami yang menghadiri undangan buka puasa bersama mantan anggota DPRD Provinsi Kalbar, Andreas Acui Simanjaya di Grand Resto, Senin (1/10) pekan lalu.


Tan Tjung Hwa yang baru saja melakukan perjalanan luar negeri ke negeri lelulurnya Tiongkok menceritakan kekagumannya terhadap perkembangan negera-negara yang dikungjunginya itu.
Pria yang mengenakan kacamata ini dengan telaten menceritakan perjalanannya, mulai dari Singapura, Hongkong kemudian Guangdong. “Saya sungguh terkesan dengan kemajuan tempat-tempat yang saya kungjungi itu, kapan ya kita bisa seperti mereka,” gumamnya.
Negara seperti Singapura yang hanya mengandalkan jasa dan perdagangan bisa membangun sedemikian pesat. Sepanjang pantai mereka mampu menyusun batu-batu alam yang panjangnya puluhan atau mungkin ratusan kilometer.
“Batunya besar-besar lho”. “Mungkin batu-batu alam itu mereka datangkan dari Indonesia, sebab banyak sekali batu serupa di daerah kita, mulai dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan sendiri—batu alamnya persis sama,” cerita Tjung Hwa.
“Saya tidak habis pikir bagaimana mereka menyusun batu-batu besar itu. Dan itu cantik sekali dijadikan kawasan rekreasi.”
Bukan hanya itu, Singapura mulai membuat daratan dengan mengangkut tanah dan pasir dari Indonesia. “Mungkin itu tanah dan pasir hasil curian atau perdagangan illegal dengan oknum orang Indonesia,” pikirku yang tekun menyimak cerita Tjung Hwa sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Belum lagi cerita gedung-gedung pencakar langitnya. “Wah kita ini tidak ada apa-apanya, Jakarta hanya terkenal macetnya,” ujarnya.
“Pernah saya di Singapura mau menyewa gaet untuk jalan-jalan. Huh malu saya, justru dia bertanya “mau jalan kemana? Singapura kecil dan tak perlu gaet, ambil saja peta dan jalaan sendiri tak ada sesat,” begitu dia menjawab saya,” kisah Tjung Hwa.
Saya sempat termenung. Ternyata benar di Singapura itu semua jalan tembus. Memang mau jalan kemana? Semua akses jalan lancar dan kendaraan semua tembus. “Satu hari bisa menyisir Singapura dari ujung ke ujung juga tuntas,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan disambut tawa kami juga.
Lain Singapura lain Thailand. Kalau Singapura terkenal dengan gedung-gedung pencakar langit, Thailand ada masakan yang terkesan bagi saya. Namanya Tong Yam. “Tong Yam memang masakan khas ala Negeri Gajah Putih tersebut. Saya di Thailand merasakan Tong Yam di Grand Resto. Itu pula yang menghilhami nama resto saya ini,” ungkapnya.
Memang saat karyawannya menghidangkan Tong Yam ala Grand Resto milik Tjung Hwa, rasanya memang mak nyos.
Tjung Hwa bertandang ke Hongkong dan kemudian ke Guangdong salahsatu provinsi di China.
Perkembangan Guangdong luar biasa. Semua gedung bertingkat. “Dulu saya pikir bangunannya tak ubahnya ruko-ruko di Pontianak ini, kan itu tanah leluhur kita, ternyata beda.”
“Maju sekali mereka”. “Soal jalan saja, sebelah kiri enam jalur. Sebelah kanan enam jalur. Uh lebar sekali. Entah berapa besar biaya pembangunannya”.
Demikian juga Hongkong. “Kalau Hongkong memang tidak mengherankan, dari dulu semua orang sudah pada tahu Hongkong itu termasuk Negara maju dengan gedung-gedung pencakar langitnya.
Tapi yang mengagetkan saya kemajuan negeri China itu. Perkembangan mereka pesat sekali.
“Menurut saya, tak ada suatu negara yang maju pariwisatanya tanpa transportasi yang lancar dan lengkap,” kata Tjung Hwa.
Kembali lagi seperti di Singapura saja. Negaranya kecil, tapi transportasinya begitu hidup.
“Tak ada negara berkembang tanpa transportasi yang memadai,” timpalnya.
Ketika di Singapura, Tjung Hwa ditertawakan ketika bertanya tentang city tour. “Tak perlu, semua di sini saling hubung. Semua boleh jadi alternatif. Dan tak akan pernah sesat,” ungkapnya mentertawakan diri sendiri.
“Saya berpikir, betapa kesenjangan kita masih jauh dari maju”.
Dalam perjalanan saya tak habis pikir, mengapa tanah leluhur (China, red) bisa maju pesat seperti itu, sementara tanah kelahiran kita (Indonesia, red) perkembangannya tetap saja seperti ini.
“Kita masih berkutat dengan masalah kemiskianan, pendidikan, kesehatan dan yang utama masalah transportasi tak pernah tuntas-tuntas di negeri ini. Mau buat apa pun susah, karena transportasinya terputus,” keluhnya.
“Saya mimpi suatu saat tanah kelahiran saya juga bisa maju seperti tanah leluhur saya”.
Bayangnya, di tanah leluhur saja, semua provinsi maju. Di tempat tandus dan gersang misalnya. Sekarang sudah berdiri berbagai macam industri. “Kok kenapa kita yang punya kekayaan alam melimpah tidak bisa maju seperti mereka?” tanyanya terheran-heran.
“Kita sudah punya SDM yang handal, tapi mereka justru banyak berkarya di luar negeri. Banyak pakar, tapi laku di luar negeri. Coba undang mereka pulang membangun daerah sendiri”.
Saya memang keturunan Tionghoa, tapi saya asing di Guangdong. Saya harus pakai passport masuk ke sana. Jadi tidak ada alasan bagi kami dan siapapun untuk membangun Kalbar ini, karena ini tanah kelahiran kita,” katanya.
Namun Tjung Hwa menegaskan, dalam membangun tidak bisa dilakukan salah satu kelompok saja, “Kita harus bersatu membangun Kalbar ini. Kebersamaan dalam membangun itu penting dan itulah yang dilakukan mereka di tanah leluhur kita di Tiongkok sana, mereka kompak membangun negerinya, mengapa kita tidak bisa seperti mereka?”
Kebersamaan itu penting. Tjung Hwa mengurai kiat sukses Deng Xiao Ping. “Saya tak peduli kucing hitam atau kucing putih asal bisa menangkap tikus. Sama saja bagi kita di Kalbar, tak peduli mau Melayu, Dayak, Cina atau orang Amerika sekalipun asal bisa membangun dengan adil, bijaksana.
Hemat saya, kata Tjung Hwa, siapa pun yang memimpin Kalbar, ia harus berpandangan seperti Deng Xiao Ping itu. Jadi jangan memilah-milah. Kalau itu yang terjadi, maka kita tetap saja terbelakang. Marilah kita menatap kedepan bagaimana supaya tanah kelahiran kita ini sama majunya dengan tanah leluhur kita.
“Saya juga menghimbau warga Tionghoa khususnya di Kalbar ini, supaya jangan lagi berpikiran ini bukan daerah saya. Tapi inilah tanah kelahiran kita, Tiongkok itu cuma tanah leluhur kita saja, kita tetap menjadi orang asing di sana,” kata Tjung Hwa lagi.□

Versi Cetak dimuat di Borneo Tribune, Selasa tanggal 9 Oktober 2007

0 komentar: