BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Saturday, October 6, 2007

Sirene Itu Mengaung Lagi

Kebakaran bisa terjadi kapan saja. Seperti sebuah misteri, ia datang tiba-tiba. Pun demikian dengan petugas pemadam kebakaran. Panggilan hati nurani membuat mereka meninggalkan apapun ketika suara sirene mengaung memanggilnya. Itu tugas mulia—tugas kemanusiaan tanpa pamrih.

Pagi merangkak siang, sengatan matahari sudah mulai terasa. Saya duduk di teras rumah, Sabtu (6/10) kemarin. Pukul 10.00 WIB ada janjian dengan Akim memenuhi undangan Laoya—salah seorang pengurus pemadam kebakaran di Siantan. Tek Lay dan Andika Lay jauh hari sebelumnya sudah menjanjikan untuk berkenalan dengan salah seorang anggota pemadam kebakaran yang juga berprofesi sebagai Laoya.
Pukul 19.50 Akim tiba di rumah. Saya dan Akim bermaksud menyusul Tek Lay yang sudah duluan memawancarai pengurus pemadam kebakaran di Siantan. Tujuan kami selain berkenalan dengan pengurus pemadam kebakaran, juga untuk sebuah wawancara terkait laporan Edisi Khusus Borneo Tribune—Minggu yang khusus mengupas kebakaran yang marak terjadi belakangan di Kota Pontianak.
Tepat pukul 10.00 dengan menunggang kuda besi saya, kami meninggalkan rumah saya di kawasan Jalan Danau Sentarum, Pontianak Kota. Dengan kecepatan sedang kami mengambil jalan ke arah Jalan Diponegoro tembus Jalan Tanjungpura dan lurus ke Jembatan Tol belok ke arah Siantan. Di tengah perjalanan Tek Lay alias Asriyadi Alekander Mering menghubungi Akim, dia sudah menunggu kami di markas pemadam kebakaran UPKGR Jalan Selat Sumba, Siantan.
Pukul 10.30 kami tiba di markas UPKGR. Berlokasi di jalan yang pas-pasan—terbilang sempit menurut saya. Perkumpulan ini mencoba eksis berbuat kebajikan—kerja social yang tanpa pamrih.
Bangunan kecil memanjang pas untuk melindungi dua buah mobil pemadam kebakaran dari hujan dan panas. Di bagian belakang yang posisinya menyisir jalan gang, Tek Lay serius mewawancarai Tjhin Fa Nam yang juga wakil ketua UPKGR.
Akim turun dari boncengan saya dan kami menyeruak masuk. Wawancara terputus, Tek Lay memperkenalkan saya dan Akim kepada Tjhin Fa Nam yang ditemani seorang aktivis pemadam kebakaran lainnya.
Kami pun berjabat tangan. Tjhin Fa Nam mempersilakan kami duduk. Wawancara Tek Lay dilanjutkan—saya sekali dan Akim sekali-kali menyela untuk bertanya terkait kebakaran yang marak di Kota Pontianak akhir-akhir ini. Kebetulan tema wawancara Tek Lay juga tak jauh dari aktivias UPKGR dan rencana pengepakan sayap dengan mendirikan markas baru.
“Kedepan kita ingin UPKGR punya lokasi yang memadai. Kebetulan sudah ada tanah sumbangan donator. Sekarang lagi ngumpul duit buat membangunnya,” Tjhin Fa Nam.
Menurut Tjhin, sekarang perkumpulan ini sudah memiliki lebih dari seratusan anggota. Anggota tidak terikat, tapi mereka tahu dan sadar dengan tugasnya. “Apabila bunyi sirene tiga kali, anggota sudah bergegas dari rumah mereka masing-masing dan bunyi sirene itu tanda sudah ada kebakaran,” jelas Tjhin.
“Ya itu sirene kebakaran,” sambung Andika Lay
Jam di tangan kiri saya menunjukkan pukul 11.00, Andika Lay dan Sehon alias Chang Dji Fa muncul. Hampir bersamaan muncul juga anggota lainnya. Tjhin memperkenalkan anggotanya kepada kami. Setelah berjabat tangan, Tjhin mengajak kami melihat armada yang dimiliki UPKGR, mulai dari mobil, pompa air, selang hingga seragam pemadam kebakaran.
“Semua alat dirakit sedemikian rupa sehingga gampang dioperasi,” jelas Tjhin sambil tangannya memutar kick salah satu mesin pompa. Seketika asap mengepul mengenai saya dan Akim. “Busyet banyak juga asapnya, saya mengerutu”.
Setelah melihat kekuatan armada yang dimiliki UPKGR, Tjhin mengajak kami meninjau tanah sumbangan donator yang akan dibangun markas UPKGR. Tempatnya lumayan strategis.
Usai meninjau tanah, kami kembali ke ruang tamu UPKGR. Banyak hal yang kami diskusikan, mulai dari asal muasal pembentukan UPKGR, rekrutmen anggota hingga cerita heroik saat memadamkan api. “Situ bolah jadi anggota kehormatan kita,” ajak Tjihn kepada saya dan Akim.
“Boleh, sekalian meliput kebakaran.”
Setelah cukup lama kami ngomong-ngomong seputar kebakaran, saya baru tahu ternyata Tek Lay anggota pemadam kebakaran itu. “Jadi tak sia-sia saya memberi nama Tek Lay untuk mengganti nama Alek alias Mering, pikirku.”
“Dasar ngumpul sama aktivis pemadam kebakaran, pembicaraan tak jauh-jauh amat dari kebakaran.”
Kami pun membahas kebakaran yang beruntun akhir-akhir ini.
Dari data yang tercatat di buku laporan kebakaran milik Unit Pemadam Kebakaran Gotong Royong (UPKGR) Siantan, memasuki pekan kedua kwarted ketiga tahun 2007 ini, sudah terjadi 63 kasus kebakaran di Kota Pontianak.
Data tersebut berdasarkan catatan pemadam kebakaran UPKGR--yang mencatat kasus kebakaran sejak Januari hingga Oktober 2007.
Dalam kurun waktu sepuluh bulan tersebut, trend kebakaran meningkat signifikan. Bulan Agustus saja, terjadi 10 kasus kebakaran, September 12 kasus dan Oktober 13 kasus.
Fenomena tersebut hanya berdasarkan catatan dari UPKGR saja, sebab masih ada kejadian yang “mungkin” tidak terangkum dalam catatan UPKGR. Belum lagi kejadian di luar Kota Pontianak, seperti di Sungai Pinyuh, Mempawah, Jungkat maupun di Senakin Kabupaten Landak.
Sementara bulan lainnya, seperti Januari 1 kasus, Februari 8 kasus, Maret 8 kasus, April 4 kasus, Mei 3 kasus, Juni 1 kasus dan Juli 3 kasus.
Dari sekian banyak kasus kebakaran tersebut UPKGR tidak berani mengatakan apa penyebabnya, sebab mereka hanya perkumpulan sosial yang bertugas secara sukarela untuk memadamkan api bila terjadi kebakaran.
“Soal penyebab kebakaran tersebut, tanya saja pada pihak yang berwenang, dalam hal ini aparat kepolisian atau pihak berwenang lainnya,” ujar Tjhin Fa Nam.
Kriuk…perut saya mulai berbunyi. Maklum dari ngantar anak sekolah pagi saya tidak sarapan. Apalagi hari Sabtu sekolah cepat pulang.
Jam menunjukkan pukul 12.10.
“Ayo kita mampir ke rumah,” ajak Chang Dji Fa
Pria yang mempunyai indera ke enam ini juga dikenal masyarakat Tionghoa Siantan Sebagai Laoya.
“Mungkin ada acara makan-makan di rumahnya,” pikir ku.
Nah benar saja, saat istrinya menyambut kami dan mempersilakan duduk di meja sudah tersedia hidangan khas. Tentu enak. “Rasanya pasti maknyos”.
Saya melihat Akim dan rekan-rekan dari aktivis pemadam kebakaran tak sabar menyambar hidangan khas itu.
Kami pun “berlomba-lomba” menyantap hidangan siang itu sambil sesekali menenggak minuman khas Tionghoa.
Itulah cerita siang kemarin. Mulai dari masalah kebakaran, makan siang hingga obat-obatan tradisional Tionghoa. Semoga saja makan siang bersama Laoya itu mengakhiri rentetan kebakaran yang tengah menghantui warga kota. Bunysi sirene bukan lagi berasal dari mobil ambulance tapi dari mobil pemadam kebakaran.
Saya termasuk yang resah dengan suara sirene itu. Pasti kebakaran lagi!□

0 komentar: