BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Wednesday, October 17, 2007

Cinta dalam Semangkok Nasi


Oleh: Heryanto, SH, M.Kn*)

Kehadiran orang Tionghoa di Bumi Khatulistiwa betul-betul migrasi alamiah demi mencari kehidupan yang lebih baik karena pada saat itu di Negeri tirai bambu daratan Cina lagi pecah perang saudara yang berkepanjangan. Mencari makan jelas susah apalagi bermimpi untuk jadi orang kaya. “andaikan aku jadi orang kaya” saya teringat lirik lagu Opie Andaresta yang pernah ngetop dulunya.

Sore-sore hari sekitar pukul 15.00 WIB tanggal 11 Oktober 2007, saya kedatangan Sdr. Tanto Yakobus, S.Sos editor rubrik Tionghoa Borneo Tribune dengan ditemani rekannya Stefanus Akim yang “menawarkan” saya untuk menuliskan sepenggal kisah mengenai orang Tionghoa. Temanya bebas saja.
Karena tawaran menulis ini tidak resmi, lagi pula sebetulnya Sdr. Tanto kekantor saya tujuannya adalah untuk mengambil akta yang telah selesai dibuat oleh saya sebagai Notaris/PPAT, maka dalam benak saya telah terbayang akan menulis mengenai sekelumit apa saja tentang orang Tionghoa serta asal usul kedatangan orang Tionghoa khususnya di Bumi Kalbar, kota zamrud khatulistiwa.
Asal usul kedatangan orang Tionghoa tersebut merupakan data penelitian saya ketika lagi menyusun thesis untuk menyelesaikan program magister yang saya peroleh dari salah seorang ketua yayasan/perkumpulan yang ada di Pontianak.
Kisah kedatangan tersebut yang juga merupakan cikal bakal adanya marga Lim sebagai marga yang terbesar populasinya hingga saat ini, sungguh adalah kisah heroik yang menyentuh hati.
Sampai-sampai teman-teman saya yang sempat membaca thesis tersebut “mengolok-olok” sebetulnya saya menyusun suatu karya penelitian ilmiah atau mau menyaingi Kho Ping Ho dengan tema cerita silat dalam setiap karyanya.
Tak ayal juga, salah seorang Dosen Pembimbing saya merasa “terhibur” setelah membaca thesis saya. Mungkin dalam menyusun thesis tersebut saya berusaha menyusunnya dengan sesantai mungkin, gaya bahasa lugas serta penempatan teori-teori yang mendukung hipotesa tidak berhimpit-himpitan seperti orang naik bis kota.
Kehadiran orang Tionghoa di Bumi Khatulistiwa betul-betul migrasi alamiah demi mencari kehidupan yang lebih baik karena pada saat itu di Negeri tirai bambu daratan Cina lagi pecah perang saudara yang berkepanjangan. Mencari makan jelas susah apalagi bermimpi untuk jadi orang kaya. “andaikan aku jadi orang kaya” saya teringat lirik lagu Opie Andaresta yang pernah ngetop dulunya.
Sampai saat ini pun orang Tionghoa masih terus berjuang demi mencari sesuap nasi, merencanakan masa depan yang lebih baik bagi anak-cucunya, persamaan hak-hak politik sebagai warga Negara yang terpecah belah karena praktik politik devide et impera pada masa penjajahan Belanda dulunya.
Akibatnya adalah jarang-jarang ada orang Tionghoa yang bisa jadi PNS, Polisi, Tentara ataupun profesi dan kedudukan lainnya selain mayoritas berprofesi sebagai pedagang atau wirausaha atau profesi lain yang dianggap tidak “membahayakan” kedaulatan Negara kita.
Akibatnya adalah jarang-jarang ada orang Tionghoa yang bisa jadi PNS, Polisi, Tentara ataupun profesi dan kedudukan lainnya selain mayoritas berprofesi sebagai pedagang atau wirausaha atau profesi lain yang dianggap tidak “membahayakan” kedaulatan Negara kita.
Saya pernah menyaksikan bagaimana orang Tionghoa yang asli kelahiran Tiongkok sambil makan ia merencanakan usaha dagangannya bersama istrinya dan membincangkan masa depan anak atau anak-anaknya yang kelak akan lahir. Mereka makan nasi yang tersaji dalam sebuah mangkok kecil dengan menggunakan sumpit sebagai pengganti sendok dan garpu. Ada nuansa cinta disana karena mereka menikah belum setahun lamanya, “cinta dalam semangkok nasi” saya sebut demikian saja dan bukan “cinta dalam sepotong roti” seperti filmnya Garin Nugroho, kalau tidak salah.
Mereka berharap banyak akan masa depan yang lebih baik buat anak atau anak-anaknya nanti. Mungkin juga dalam angannya, mereka berharap ada anak, cucu atau keturunannya kelak yang bisa jadi Polisi, Jaksa atau Hakim sebagai aparat penegak hukum ataupun menjadi Tentara agar bisa turut membela Negara.
Angan itu untuk saat ini mungkin masih tergantung diatas awan, hanya hujan reformasi pada suatu saat nanti yang bisa mengubah segalanya sekaligus menghilangkan rasa “ada dusta diantara kita” yang sebetulnya tidak ada.
Kalau saat ini ada beberapa gelintir orang Tionghoa yang bisa menjadi Menteri, Anggota Dewan dan beberapa jabatan yang dulu-dulunya tabu diduduki oleh orang Tionghoa, itu tidak lain menunjukkan bahwa orang Tionghoa tidak hanya pandai berdagang atau berniaga saja.
Kemudian juga sebutan orang Tionghoa itu rata-rata kaya sehingga untuk urusan yang bersifat administratif di pemerintahan bisa diminta uang jasa pengurusan yang lebih tinggi, juga suatu opini yang keliru dan patut dienyahkan.
Orang Tionghoa itu sama seperti golongan penduduk lainnya. Masih banyak juga yang hidup dibawah garis kemiskinan sehingga perlu bersusah-payah berjuang memperbaiki kehidupan ekonominya.
Dari kenyataan tersebut memberi inspirasi kepada saya menulis sebuah novel tentang seorang gadis Tionghoa yang dikarunia paras cantik namum miskin yang berusaha memperbaiki ekonomi keluarganya. Namanya juga novel, dalamnya juga dilatar-belakangi kisah asmara.
Sayangnya sang lelaki pujaan yang ditaksir oleh gadis ini ternyata dari keluarga kaya raya yang tidak direstui hubungan mereka oleh keluarganya. Berbagai cercaan serta hinaan harus diterima oleh si gadis ini beserta keluarganya yang dikira mau merebut harta mereka.
Salah pahampun terjadi. Abang kandung sigadis yang bekerja sebagai kepala tukang bangunan dan berkarakter temperamental naik pitam dan nyaris bentrok fisik dengan orangtua kekasih adiknya karena tidak terima keluarganya dihina.
Tema-tema serta kritikan sosial pun muncul lewat tokoh-tokoh cerita yang muncul dalam novel tersebut. Akhirnya sidara dan sijaka harus juga berpisah setelah tamat SMA dan bertemu kembali setelah puluhan tahun lamanya.
Sigadis tersebut akhirnya menjadi Notaris dan kehidupan keluarganya menjadi lebih baik karena dulunya mamanya adalah penjual kue dan papanya tukang jahit. Sedangkan orangtua silelaki karena angkuh serta serakah harta menjadi buronan polisi karena terlibat pembalakan liar.
Kesetiaan cintapun diperlihatkan oleh sigadis tersebut yang selalu menolak didekati oleh lelaki lain. Salah seorang lelaki yang ditolak cintanya mencapnya sebagai gadis matre dan menyindirnya :”lebih dingin dan beku dari pada gunung es yang pernah ditabrak oleh kapal titanic sekalipun”.
Namum nasib menentukan lain. Lelaki dambaan sigadis tersebut dalam kurun waktu sepuluh tahun tersebut ternyata sudah bertunangan dengan wanita lain. Sigadis yang biasanya tegar menghadapi berbagai gelombang persoalan hidup jatuh pingsan demi mengetahui kenyataan tersebut.
Bayangkan lelaki tersebut adalah dambaannya sampai rela ia menyerahkan “mahkotanya” pada waktu dulunya. Untunglah tidak semua lelaki naïf dan mempermasalahkan keperawanan sebelum married. Seorang lelaki yang berprofesi dokter yang menaruh hati pada sigadis bersimpati pada kesetiaan sigadis. Sigadis merasa lega karena ia ingin jujur sebelum menikah. ”cintailah aku apa adanya”, rasanya cocok untuk judul novel tersebut yang saya tulis secara kredit hampir enam bulan lamanya dengan panjang hampir 150 halaman.
Mengharukan sekilas jalan ceritanya ? kalau iya saya teringat komentar Sdr. A. Alexander Mering, SH lewat SMS yang pada waktu itu novel tersebut baru sekitar 50-an halaman saja :”saya baru selesai membaca novel abang, ceritanya mengharukan sampai saya meneteskan air mata”.
Wah … wah …, kog tulisannya lari ke sinopsis novel ? saya kira semuanya saling berkaitan. Kalau yang tadi tentang serba-serbi kehidupan orang Tionghoa dan dibawah ini adalah kisah asal usul kedatangan orang Tionghoa beserta marganya :
Dari asal usul sejarahnya orang Tionghoa berasal dari negeri daratan Cina dan keberadaan orang Tionghoa di Propinsi Kalimantan Barat sudah ada kurang lebih sejak abad ke-XVII sebagai akibat terjadinya perang saudara antara utara dan selatan yang berkepanjangan.
Terdorong akan keinginan untuk keluar dari situasi peperangan serta mencari penghidupan yang lebih baik, banyak penduduk yang meninggalkan kampung halamannya hanya dengan menumpang perahu layar sederhana. Didalamnya terdapat anak-anak, wanita, orangtua dan juga lelaki dewasa. Jelas juga perahu demikian tidaklah aman untuk mengarungi luasnya lautan samudera. Tidak terhitung betapa banyaknya jiwa yang hilang tertelan ganasnya ombak lautan. Hirup pikuk, jerit tangis dan hati yang hancur karena kehilangan orang yang dicintai harus diterima demi mencapai tanah harapan.
Tercatat penduduk dengan marga Lim merupakan kelompok terbesar yang pertama kali menapakkan kakinya di Bumi Propinsi Kalimantan Barat lewat sebuah pelabuhan kecil di Kota Pemangkat yang berjarak kurang lebih 400 km dari Kota Pontianak. Gelombang perpindahan penduduk ini kemudian diikuti oleh kelompok marga-marga lainnya. Diidentifisir mereka kesemuanya berasal dari Propinsi Kwangtung dan Hakkian Negeri Cina dengan tujuan memperbaiki taraf kehidupan dengan antara lain bekerja sebagai pedagang, petani, buruh, guru dan lain sebagainya.
Pada awal mulanya, leluhur dari marga Lim adalah bernama Pi Kan yang merupakan keturunan Raja Huang Ti yang ke-33 yang lahir pada tanggal 4 bulan empat Imlek pada abad ke-XI sebelum masehi. Ayah Pi Kan yang bernama Thai Tin hanya berkuasa selama 3 tahun (1194-1191 SM). Kakak kandung Pi Kan yakni Ti Ek meneruskan kedudukan ayahnya selama 7 tahun (1191-1185 SM) yang kemudian diwariskan kepada Raja Zhou (keponakan Pi Kan). Raja Zhou berkuasa selama hampir 32 tahun. Dalam masa kekuasaannya, Raja Zhou bertindak kejam dan biadab, sehingga akhirnya digulingkan oleh Jiu Bu Wang.
Raja Zhou yang dikenal kejam, hanya hal sepele saja dia dapat membunuh seseorang kapan saja. Pi Kan yang pada saat itu merupakan seorang pejabat tinggi kerajaan sangat sedih menyaksikan perbuatan Raja Zhou keponakannya tersebut. Timbul keinginannya untuk menasehati sang Raja. Pi Kan berpikir, dengan membiarkan Raja berbuat sewenang-wenang tanpa dicegah, merupakan bentuk ketidaksetiaan pada Negara. Pi Kan berpendapat bahwa jika dia harus mati karena membela rakyat, dia tidak akan menyesal.
Oleh karena itu Pi Kan menasehati Sang Raja selama 3 hari berturut-turut dengan harapan agar Raja Zhou mau mengubah sikap dan perilakunya demi kepentingan Negara dan tidak membunuh rakyat yang tidak berdosa. Mendengar nasehat Pi Kan, Raja Zhou menjadi marah sekali. Dalam hatinya timbul niat untuk menyingkirkan Pi Kan pamannya.
Lantas Raja Zhou bertanya kepada Pi Kan :”atas dasar apa kamu berani menggurui saya ?”
“Atas dasar kesetiaan kepada Raja dan kasih sayang kepada rakyat, itu saja”.
Kemudian Raja Zhou berkata lagi :”saya dengar bahwa jantung orang pintar mempunyai lubang kepintaran. Kamu adalah seorang yang pintar, saya ingin membuktikan apakah benar jantungmu mempunyai lubang kepintaran ?”
Dengan alasan tak masuk akal, Pi Kan dibunuh. Kemudian jantungnya dikeluarkan untuk membuktikan ada atau tidaknya lubang kepintaran itu. Perbuatan Raja Zhou tidak sampai disitu saja, muka Pi Kan dirusak agar tidak bisa dikenali lagi. Begitu juga istri kedua Pi Kan yang sedang hamil tua juga menjadi korban kekejaman Raja Zhou. Kandungannya dikeluarkan untuk melihat apakah janinnya mirip Pi Kan. Kemudian Raja Zhou berteriak lantang dan berkata kepada pembantu-pembantu kerajaannya :”siapa saja yang banyak bicara, inilah akibatnya !”
Istri tua Pi Kan yang sedang hamil 3 bulan karena takut akan menjadi kekejaman Raja Zhou juga, kemudian melarikan diri kehutan daerah Mohya bersama keempat pelayannya. Dia tinggal disebuah gua dihutan tersebut. Ditempat itulah anaknya lahir dan diberi nama Coa.
Raja Zhou yang kejam akhirnya dipaksa untuk bunuh diri oleh anak Si Ciang Pe yang bernama Huat. Dia kemudian mendirikan Negara Ciu dan menamai dirinya sebagai Ciu Bu Wang yang memegang kekuasaan selama 19 tahun lamanya.
Setelah Ciu Bu Wang naik tahta, dikirimlah orang untuk mencari keturunan Pi Kan. Akhirnya keturunan Pi Kan berhasil ditemukan didalam hutan Mohya yang terletak 15 KM sebelah barat daya Kota Wi Hui Propinsi He Nan. Keluarga Pi Kan dijemput dan dianugerahi marga Lim.
Dari riwayat sejarah ini dapat disimpulkan bahwa penduduk orang Tionghoa yang pada saat ini berada khususnya di Propinsi Kalimantan Barat mempunyai nenek moyang yang sama dari Negara leluhurnya yakni Negara Cina. Keberadaan orang Tionghoa sampai saat ini pun masih dipenuhi berbagai perjuangan seperti leluhurnya. Perjuangan yang terutama adalah mencari sesuap nasi dan berharap hari esok anak, cucu atau keturunannya kelak akan lebih baik lagi.
Apabila perjuangan itu dibahas bersama istri tercinta sama seperti yang lazim kita lakukan juga diatas meja makan dengan nasi yang jika kebetulan terhidang dalam sebuah mangkok, maka tidak ada salahnya anda menamakannya juga sebagai “cinta dalam semangkok nasi” seperti judul tulisan ini.

*)Penulis adalah Notaris/PPAT
Berkedudukan dikota Pontianak.

0 komentar: