BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, December 3, 2007

Siapa yang Berkepentingan dengan Perubahan Iklim?


Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Pontianak

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan bulan Desember sebagai bulan menanam. Dan itu dimulai dari penanaman 79 juta pohon secara simbolis pada tanggal 29 November 2007 lalu di Bogor, Jawa Barat. Kegiatan serupa dilakukan di Kalimantan Barat. Setiap daerah berlomba-lomba melakukan aksi tanam pohon. Mulai dari ibukota provinsi, Pontianak hingga ke kabupaten/ kota. Pelakunya beragam pula. Ada pemerintah, TNI/ Polri, Ormas hingga kaum perempuan dan NGO.

Aksi menanam pohon ini adalah bagian dari gerakan menanam pohon nasional menyongsong Konferensi Perubahan Iklim (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) pada 3-14 Desember 2007. Tepatnya di Pulau Dewata Bali, negara-negara dari belahan Utara dan Selatan akan berkumpul dalam UNFCCC tersebut.
Di Kalbar sendiri ada ribuan pohon yang ditanam. Pohon-pohon tersebut di sebarkan di 13 kabupaten/ kota. Bibit yang disiapkan dari jenis pohon keras dan buah-buahan seperti mahoni, angsana, tanjung dan filicium. Ada juga jenis meranti, tengkawang, durian dan berbagai jenis buah lainnya.
Umat manusia bisa merasakan bahwa bumi kini makin tua dan panas akibat polusi yang menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global. Es kutub Selatan kian menyusut dan suhu bumi bertambah sekitar 5 derajat Celcius dalam seabad terakhir.
Pemanasan global berdampak langsung pada kehidupan manusia mulai dari perubahan iklim yang menyebabkan penurunan produktivitas pangan dan penyebaran penyakit.
Karena itu, sudah bukan cerita baru bahwa Pemerintah Indonesia akan menggunakan konvensi di Bali untuk memacu keikutsertaan negara-negara maju dalam menekan laju perubahan iklim tersebut.
Negara-negara penyumbang polusi di dunia, khususnya Amerika Serikat, adalah sasaran utama agar mau membayar lebih demi kelestarian hutan dengan meratifikasi Protokol Kyoto.
Posisi tawar Indonesia jelas. Bila Indonesia harus mempertahankan hutan yang berfungsi sebagai penyerap CO2 atau paru-paru dunia, maka negara-negara maju penyumbang polusi dunia wajib menyokong dana pemeliharaan `zamrud hijau` di Khatulistiwa ini.
Kendati demikian, tidak ada salahnya bila `kita` mengeritisi maksud rencana aksi nasional ini. Menanam pohon adalah cara yang mudah untuk dilakukan, tapi yang paling sulit adalah kesadaran untuk merawatnya.
Jika kita mau kritis, mungkin saja aksi nasional ini hanya satu upaya untuk manarik perhatian negara lain tentang keseriusan Indonesia menjelang UNFCC. Namun selanjutnya, mungkinkah bakal jauh panggang dari api?
Kalbar bisa dikatakan sebagai daerah yang amat strategis untuk nilai tawar pemerintah dengan Negara-negara Eropa dan Amerika yang berkepentingan dengan hijaunya hutan.
Sebab Kalbar memiliki sejumlah taman nasional dan kawasan hutan perawan yang masih luas. Misalnya, Taman Nasional Danau Sentaraum (TNDS) dan Taman Nasional Betung Kerimun (TNBK), punya daya pikat tersendiri bagi dunia luar.
TNDS adalah hutan tropis basah yang memiliki biota terlengkap di dunia. Berbagai speciel ikan yang tidak ditemukan di belahan dunia lain.
Demikian juga dengan tumbuh-tumbuhan, ribuan jenis yang hidup di hutan tersebut. Jadi posisi kita jelas. Tinggal apa kontribusi Negara-negara yang punya kepentingan itu dengan kita.
Apalagi kelakangan, Pemkab Kapuas Hulu menetapkan beberapa kawasan di kabupaten paling ujung Kalbar itu sebagai kawasan konservasi. Nah, yang perlu ditunggu, sejauhmana perkembangan dan nilai manfaat dari konservasi alam itu baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat setempat. Itu yang belum jelas.
Namun, dari luas hutan yang ada, jumlah lahan yang rusak atau kritis juga tidak sedikit. Bahkan perusak yang nyata adalah praktik illegal logging dan perambahan hutan oleh oknum tertentu yang mengatasnamakan ijin perusahaan sawit.
“Ini yang celaka, ijin perkebunan sawit, tapi sebelum sawit ditanam, perusahaan membabat kayu di dalam maupun sekitarnya,” kata Ditektur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Saban Setiawan.
Dan motif itu hampir terjadi di setiap daerah yang masuk perkebunan kelapa sawit. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sintang, ada perusahaan yang membabat kayu dengan dali ijin perkebunan sawit. “Sebelum tanam sawit, mereka sudah untung dari menebang kayu. Setelah habis kayu mereka cabut, dan itu mesti diwaspadai,” ungkapnya.
Bahkan Walhi berasumsi bahwa lahan kritis Kalbar lebih banyak lagi, yang disebabkan oleh pertambangan emas tanpa ijin (PETI) maupun kritis akibat tanaman homogen semisal sawit.
Sebab, sawit bukanlah jenis pohon yang dapat meresap air, bahkan sawit rakus air. Pengembangan lahan perkebunan sawit dapat mengurangi daya tahan tanah dan musuh terbesar bagi konservasi alam.
“Ada kecenderungan pembangunan pada era otonomi daerah seperti tidak terkontrol dan cenderung kurang ramah lingkungan,” ujarnya.
Karenanya, langkah Presiden SBY melakukan aksi tanam 79 juta pohon perlu didukung. Itu juga salahsatu upaya menekan laju “kebijakan pembangunan yang salah” di daerah.
Gerakan ini tidak hanya akan berhenti ketika selesai menanam, tapi diharapkan juga keberlanjutan dari kesadaran masyarakat untuk merawat pohon yang sudah mereka tanam tersebut.
Itu bisa jalan, apabila pengawasan dilakukan oleh dinas terkait yang hasilnya dilaporkan ke Departemen Kehutanan dan Kementrian Lingkungan Hidup lalu ke Presiden RI. Dengan demikian, maka dampak global yang seram kedengarannya itu tidak akan terbukti. Karena kita sudah mengantisipasinya dengan gerakan menanam pohon tersebut.□

1 komentar:

omyosa said...

MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA DATANG PANEN
Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia. NPK yang terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita.
Produk ini dikenalkan oleh pemerintah saat itu sejak tahun 1969 karena berdasarkan penelitin bahwa tanah kita yang sangat subur ini ternyata kekurangan unsur hara makro (NPK). Setelah +/- 5 tahun dikenalkan dan terlihat peningkatan hasilnya, maka barulah para petani mengikuti cara tanam yang dianjurkan pemerintah tersebut. Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1985-an pada saat Indonesia swasembada pangan. Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia.
Mereka para petani juga lupa, bahwa penggunaan pupuk dan pengendali hama kimia yang tidak bijaksana dan tidak terkendali, sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
System of Rice Intensification (SRI) pada tanaman padi yang sedang digencarkan oleh SBY adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas hasil juga lebih baik, belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam budidayanya.
Petani kita karena sudah terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.
Atau mungkin solusi yang lebih praktis ini dapat diterima oleh para petani kita; yaitu “BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK NASA”. Cara gabungan ini hasilnya tetap ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki oleh pola SRI, tetapi cara pengolahan lahan/tanah lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.
Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI.
SIAPA YANG AKAN MEMULAI?
KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI?
KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
GUNAKAN NASA UNTUK BERTANI PADI DAN BERBAGAI KOMODITI.
HASILNYA TETAP ORGANIK, KUALITAS DAN KUANTITAS SERTA PENGHASILAN PETANI MENINGKAT, RAKYAT MENJADI SEHAT, NEGARA MENJADI KUAT.
omyosa, 08159927152
papa_260001527@yahoo.co.id