BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Tuesday, October 27, 2009

Cap Wartawan

Oleh TY

Hampir sepuluh tahun lebih saya bekerja sebagai wartawan, saya cukup banyak mendengar cap negatif seorang wartawan.
Mulai dari wartawan bodrek (bisa bikin sakit kepala) WTS (wartawan tanpa surat kabar), wartawan CNN (cuma nengok-nengok) wartawan tempo (tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak) wartawan gadungan, wartawan bodong, dan wartawan amplop.

Lalu sekarang berkembang pula julukan wartawan copy paste dari humas baik pemerintah maupun organisasi atau perusahaan tertentu. Parah lagi ada istilah wartawan kloning.
Begitu pun dengan fotografer. Ada istilah yang cukup ngetren, fotografer bingkai dot.com. setelah jepret sana sini, lalu menjual foto tersebut kepada pengusaha atau pejabat yang terekam dalam foto tersebut.
Bukan hanya cap wartawan yang marak, organisasi wartawan pun tak kalah maraknya. Sebelumnya hanya ada Persatuan Wartawan Indonesia sebagai wadah tunggal, setelah reformasi, muncul lebih 40 organisasi wartawan. Orang bebas bikin koran dan membentuk organisasi wartawan. Namun sejak tahun 2006, hanya tiga organisasi yang lolos verifikasi Dewan Pers, yakni PWI, AJI dan IJTI.
Cap wartawan itu muncul karena ada beberapa alasan. Ada karena korannya tutup, tapi masih punya kartu pers, ya tetap wartawan. Ada yang dulunya loper, agen, preman, bahkan supir, ngakunya wartawan. Modalnya, kartu pers dan kartu nama. Kadang dilengkapi dengan surat tugas. Kalau ada berita kasus, mereka datang ”menggarapnya”.
Dengan modal gertak, datang ramai-ramai, mereka bisa dapat uang dengan mudah dari narasumber yang terkena kasus. Parahnya lagi, wartawan yang punya media ”ikut-ikutan”. Pendek kata, ada wartawan baik, tapi bekerja di media yang tidak jelas. Ada media yang mapan, tapi mental wartawannya bobrok. Ya, sama sajalah.
Akibatnya, sekarang cap wartawan negatif itu bisa disandang siapa saja. Alasan klasik minta uang, mau pulang kampung, istri melahirkan, bikin buku, proposal kegiatan, atau menagih uang dari berita dengan koran yang lusuh karena dibawa ke mana-mana.
Begitu pun dengan wartawan yang ditangkap aparat Poltabes dua hari lalu, mungkin dia ingin menggunakan alasan klasik itu, sehingga seenaknya menelpon narasumber. Bagi narasumber yang keberatan, sah-sah saja bila melalor ke Polisi.
Menjadi wartawan dapat banyak kemudahan, gampang dapat uang atau amplop, dan bisa dekat dengan pejabat atau pengusaha. Wartawan dikenal punya ’kekuatan’ dalam hal-hal tertentu.
Jujur saja, saya sedih dengan berbagai julukan miring terhadap wartawan itu. Harusnya wartawan dihormati dan disegani, karena wartawan memberikan pencerahan dengan menyebarluaskan informasi yang benar. Orang yang serba tahu dengan berbagai persoalan masyarakat. Kita berharap, masyarakat bisa memilih dan memilah, mana wartawan yang benar, dan mana yang hanya sekedar cap wartawan.
Mereka tidak sadar, wartawan itu sebuah profesi. Karena pekerjaan profesi, maka tidak semua orang bisa menjadi wartawan, kecuali hanya sekedar mengaku wartawan.
Karenanya, wartawan adalah pekerjaan yang paling mulia. Saya tidak bisa membayangkan, apa jadinya dunia bila tidak ada wartawan. Barangkali dunia ini gelap, kita tidak tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain. Tapi karena wartawanlah, kita bisa menguasai dunia, tahu kejadian dan perkembangan di dunia lain.
Dan yang paling menderita di dunia ini adalah kalangan menengah keatas, sebab mereka sangat tergantung dengan informasi yang disajikan baik lewat media elektronik (televisi, radion, internet) maupun lewat media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan lain-lain. Sebab bagi kalangan menengah keatas, sarapan utama mereka setiap pagi adalah baca koran. Dan juru masak utamanya adalah wartawan.

0 komentar: