BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, July 20, 2009

Bangsa Korban Psikis

foto Republikanonline/repro
Oleh TY

Ini bukan Mama Lorens, bukan juga Ki Joko Bodo atau Mbah Marijan yang bisa meramalkan nasib seseorang atau kejadian alam di masa kedepan.
Ini hanyalah kegelisahan saya dengan tayangan infotaiment yang kerap menyajikan perceraian para public figure, utamanya para artis. (Itu belum masyarakat awam yang kejadiannya mungkin lebih parah lagi).
Mereka memang sukses di dunianya masing-masing, tapi mereka gagal dalam membina rumah tangga. Artinya mereka sudah menyangkal janji perkawinan mereka yang suci itu.

Padahal saat ijab Kabul (mengucapkan sumpah dan janjinya), mereka sanggup sehidup semati sampai maut menjemput yang memisahkan. Dan cita-cita yang diikrar itu sangat mulia, yakni membentuk keluarga sekinah.
Tapi sekali lagi. Dalam infotainment, seringkali kita saksikan, hanya dalam hitungan tahun, bulan, hari bahkan jam—perceraian bisa saja terjadi.
Bagi kita orang awam kejadian itu memang aneh tapi nyata. Tapi bagi pelaku terutama di infotainment yang ditayangkan setiap oleh stasiun televise, agaknya sudah biasa.
Nah, public figure yang kebetulan dari kalangan artis itu, kini banyak banting stir ke dunia politik. Dan hasil pileg beberapa bulan lalu, memang banyak dari kalangan artis ini berhasil masuk parlemen. Tentu dari sekian banyak itu memang tidak semuanya kawin cerai, tapi ada sebagian yang melakukannya.
Nah, yang menjadi kekhawatiran kita untuk 20 tahun kedepan, anak-anak buah perceraian itu pastilah mengikuti jejak orangtuanya mengeluti dunia hiburan. Beking orangtua mereka pastilah jadi artis.
Setelah mapan dan puas jadi artis, mereka juga akan banting stir ke politik. Dan yakin jumlah mereka juah lebih besar dari para pendahulunya.
Mari kita merenung sekejab. Bagaimana wajah negeri ini bila mereka yang menjadi pemimpinnya?
Saya sendiri sangat mengkhawatirkannya. Ingat sebuah teori yang mengatakan; anak dilahirkan dengan keadaan seperti kertas putih. Warna dominant yang dibubuh diatasnyalah yang kelak akan membentuk sifat dan wataknya. Dan warna itu adalah lingkungan hidupnya. Dan lingkungan terdekatnya adalah keluarganya.
Nah, anak-anak korban perceraian ini jelas mengalami kekerasan psikis. Mereka linglung akibat perpisahan orangtua mereka. Bila kelak menjadi pemimpin, saya tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi. Sebab mereka sudah menjadi korban kekerasan psikis oleh kedua orangtua mereka sendiri.
Jelas korban psikis jauh lebih berat dari penyiksaan fisik secara langsung. Mereka mengalami penyiksaan batin selama hidup mereka. Hidup diantara ketidakpastian, keditak-bahagiaan, ketidak-hagatan, marah, dan egois!
Egois mereka dapatkan secara alami dari tingkah polah orangtuanya yang pisah ranjang hingga pisah rumah alias perceraian itu. Berangkat dari rentetan kejadian ini, jelas membentuk watak mereka di pucak kariernya. Beban psikis itu tergambar dari ucapannya, perbuatannya dan gaya hidupnya di masyarakat. Kalau tidak minder, kejam.
Jangan-jangan dari perceraian keluarga lalu merembet ke perceraian bangsa ini yang memang terdiri dari berbagai pulau, suku, agama dan dan kelompok, yang selama ini disatukan dalam perkawinan yang bertajuk “Sumpah Palapa” oleh Gajahmada di era Majapahit--menjadi cikal bakal Nusantara. Akta kelahiranya Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 sehingga kokoh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ini semua menjadi renungan kita bersama. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk menghentikan kekerasan psikis pada anak. Jangan korbankan mereka. Sebab mereka adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Sekali lagi ini bukan ramalan Mama Lorans dan kawan-kawan yang sering muncul di TV itu. Selamat merenung!

0 komentar: