BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, February 2, 2009

SBKRI ‘Duri’ Indonesia Sesungguhnya


Oleh Tanto Yakobus

Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanyaja, pada perayaan Tahun Baru Imek 2560 Yayasan Bhakti Suci di hotel Kapuas Palace, Minggu (1/2) malam mengajak semua pihak tidak lagi memperoalkan beberadaan etnis Tionghoa di Bumi Pertiwi ini. Bahkan dia mempertegas permintaan Presiden SBY menghapus perlakuan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Pada peringatan Tahun Baru Imlek tingkat nasional di Jakarta Convention Center (JCC), Minggu, Presiden minta jajarannya dari pusat hingga daerah menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, dan memenuhi hak-hak sipil sesuai UU. Secara khusus Presiden minta Menkumham dan Kapolri, agar Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) tidak lagi sebagai syarat pembuatan paspor atau SIM.
Itu pula yang diteruskan Wagub Christiandy kepada warga Tionghoa Pontianak pada perayaan yang dihadiri Danrem, Danlanud, Kapolda dan sejumlah pejabat Pemprov Kalbar. Sebab fakta lapangan, masih ada yang mensyaratkan SBKRI dalam pengurusan berbagai dokumen seperti paspor, KTP, SIM atau dokumen pernikahan.
Penerapan itu agaknya akibat sosialisasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM RI di berbagai daerah sejak Agustus 2006 lalu, masih kurang. Atau ada oknum pejabat daerah yang tidak mensosialisasinya sama sekali.
Padahal kita sadar bahwa kebangsaan Indonesia dibangun di atas berbagai identitas kelompok masyarakat. Karena itu atas nama konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bersama bangsa Indonesia tidak seharusnyalah didiskriminasi, yang dibiarkan hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita itu tetap ada.
Di kantor Imigrasi Pontianak pekan lalu saja, ternyata masih diberlakukannya SBKRI kepada WNI keturunan Tionghoa dalam pembuatan paspor. Kenyataan ini menambah daftar panjang “kegagalan” upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan diskriminasi rasial sejak 1978. Kala itu Peraturan Menteri Kehakiman ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHB.3/31/3 Tahun 1978 kepada semua Pengadilan Negeri. Inti Surat Edaran tersebut ‘mewajibkan’ kaum peranakan untuk memiliki SBKRI.
Fenonema SBKRI itu menjadi persoalan kewarganegaraan dan salah satu catatan hitam Indonesia dalam pemenuhan International Convention on Elimination of All Forms of Racial Discrimination, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 1999.
Sebagai sebuah dokumen, SBKRI tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor, bersampul hijau, dan pada cover depan bertuliskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Namun memiliki dokumen SBKRI ini, persoalannya tidaklah sesederhana dan terbatas sebagai seorang anak dari orangtua warga negara Indonesia etnik Tionghoa beranjak usia 18 tahun, atau sudah menikah, biar pun sang orangtua atau kakek-nenek buyutnya telah menjadi warga negara Indonesia. Layaknya suatu “ritual generasi” ketika sang anak telah menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya terjadi dari generasi ke generasi.
Kini pemberlakuan SBKRI bukanlah mitos, melainkan kisah nyata anak negeri, yang sejak dilahirkan hingga meninggal, wajib memiliki SBKRI!
Dengan demikian, persoalan SBKRI ini tidak saja menjadi ‘momok’ bagi warga Tionghoa, tetapi telah menjadi “duri” dalam upaya mewujudkan integrasi kebangsaan Indonesia sesungguhnya. Sebab, pada hakikatnya SBKRI dalam arti identitas kewarganegaraan tidak saja berkaitan dengan status legalnya (citizenships-as-legal-status), tetapi juga luasan dan kualitas kewarganegaraan seseorang yang merupakan fungsi dari partisipasi orang tersebut di dalam komunitas politiknya (citizenships-as-desireable-activity). Jadi, jangan hanya menjelang pemilu baru merangkul warga Tionghoa, setelah itu lupa hingga pemilu berikutnya.

0 komentar: