BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Sunday, August 3, 2008

Pasar Rakyat di Gunung Sehak

Kesan Angker Gunung Sehak Hilang


Oleh Tanto Yakobus

Entah sudah berapa kali saya melintasi kawasan angker Gunung Sehak. Yang jelas sejak zaman penjajah hingga tahun 2006 lalu, Sehak satu-satunya jalan darat menuju kawasan selatan ke pedalaman Kalbar atau sebaliknya.

Jalur alternatif untuk menuju kawasan perhuluan adalah melalui Sungai Kapuas. Namun seiring dengan kemajuan zaman, transportasi darat pun meningkat dengan yang dulunya hanya ada satu jalur menuju pedalaman atau pun sebaliknya dari pedalaman mencapai ibukota provinsi Pontianak, kini sudah ada Jalan Trans Kalimantan yang membelah hutan belantara di selatan Gunung Sehak menghubungkan Kecamatan Tayan dengan Kecamatan Sungai Ambawang tembus Kota Pontianak.
Itu jalur alternatif yang sangat singkat mencapai Kota Pontianak. Dulu, jarak tempuh dari Kabupaten Sanggau bisa makan waktu hampir 5 jam menyusuri jalan sepanjang 260 kilometer. Kini dengan terbangunnya jalur Tayan-Ambawang, jarak tempuh jadi berkurang 90 hingga 100 kilometer lebih.
Maka tak heran, banyak pihak memperkirakan bila Jalan Trans Kalimantan yang tembus ke Kalteng itu mulus, maka jalan lama yang melintasi Kabupaten Landak itu akan sepi. Nadi ekonomi pun diramal mati. Sebab orang lebih memilih jarak tempuh yang singkat.
Kembali ke cerita Gunung Sehak. Sejak kecil saya sudah mendengar keangkeran Gunung Sehak. Cerita orang-orang tua, sepulang dari Pontianak, Gunung Sehak selalu jadi bumbu ceritanya. Mulai dari cerita mabuk akibat bus yang ditumpangi terombang-ambing mengikuti tikungan yang meliuk-liuk hingga cerita keangkerannya.
Konon, sopir bus maupun truk termasuk mobil pribadi sekalipun melintasi Gunung Sehak selalu konvoi. Bila kebetulan duluan tiba di sekitar Sehak, mereka akan istirahat sejenak sembari menunggu kendaraan lainnya. Setelah ada teman baru mereka masuk baik ke arah Pontianak maupun sebaliknya.
Bila terpaksa sendirian, maka sopir atau penumpang selalu berbekal rokok. Dan rokok itu mereka sulut ketika memasuki Sehak. Mereka pun tak lupa permisi baik langsung maupun mengucap dalam hati untuk melintasi Sehak. Kalau tidak permisi, akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Misalnya, ban kendaraan tiba-tiba kempes. Mesin mati mendadak. Atau apesnya lagi kecelakaan.
Sejak tahun 1990-an hingga awal tahun 2000, saya termasuk sering melintasi kawasan Gunung Sehak tersebut. Kebetulan saya menggunakan sepeda motor, ketika hendak memasuki kawasan itu, saya selalu teringat mitos dan cerita-cerita sebelumnya. Maka saya pun terpaksa membeli rokok, padahal saya bukanlah perokok.
Demi mitos itu, saya terpaksa menghisap rokok dan permisi dengan ”penguasa alam” Gunung Sehak. Kalimatnya sederhana saja, ”permisi saya mau lewat, tolong jangan ganggu saya”.
Dan saya pikir semua orang yang melintasi kawasan itu mengucapkan hal yang sama. Lalu ada juga cerita teman maupun para sopir, bila tidak menyulutkan rokok, saat melintas tiba-tiba saja tercium harum bunga tumbuh-tumbuhan atau bau busuk yang menyengat hidung. Atau kadang-kadang mendengar suara percakapan yang tak jelas.
Pun demikian ketika saya mengikuti bus umum, sopir atau kernetnya selalu melakukan hal-hal yang menjadi mitos itu. Kalau tidak menyulutkan rokok saat melintas, mereka bergumam permisi ke ”penunggu” di situ. Saya pikir mitos itu sudah menjadi rahasia umum para sopir maupun mereka yang bisa bolak-balik ke Pontianak.
Cerita-cerita angker Gunung Sehak tidak berhenti disitu, sudah berapa kali terjadi kecelakaan mobil masuk jurang. Memang kalo mobil masuk jurang lebih disebabkan faktor manusianya. Mungkin saja ia kelelahan atau ngantuk. Atau memang perangkat vital kendaraannya yang error.
Tapi bila terjadi kecelakaan, orang selalu mengkaitkannya dengan ”penunggu” di situ. Orang selalu bilang ”penunggu” murka dan mita tebusan atau sesajen. Dan berbagai macam lagi cerita yang membumbui kecelakaan itu.
Belum lagi cerita orang melihat hantu atau bayangan tanpa kepala dan sejenisnya. Atau perempuan tanpa muka duduk di badan jalan dan sebagainya. Cerita dari mulut ke mulut itu menambah seram Gunung Sehak.

Pasar Rakyat
Gunung Sehak angker! Itu cerita dulu. Sekarang wajah Gunung Sehak jauh berubah. Bila Anda dari arah pedalaman menuju Pontianak, sebelum memasuki tikungan zik zak pertama, Anda sudah menemukan deretan warung-warung rakyat. Bangunannya ada yang permanen dan ada pula yang terbuat dari anak kayu dan atap daun sagu atau terpal, ya sejenis pedagang kaki lima (PKL) di kota-kota besarlah.
Lalu di sebelah atas jalan ada sebuah surau. Sekarang surau itu padat sekali pengunjungnya. Tentu para pengunjungnya adalah mereka yang ingin melakukan salat. Bila kebetulan jam salat belum menunjukkan waktunya, biasanya orang-orang ngumpul dan menikmati kopi panas atau teh dingin. Lalu ada pula yang menikmati pemandangan alam dengan foto-foto bersama keluarga atau sobat. Lalu ada juga yang sekedar membasuh muka dengan air gunung yang jernih. Air itu juga dimanfaatkan sebagai air wudu bagi mereka yang hendak salat.
Banyaknya orang yang rehat dan ada penduduk lokal yang berjualan sayur-sayuran kampung, menjadikan kawasan itu tak ubahnya seperti pasar rakyat.
Beraneka ragam barang dijual. Umumnya yang mereka jual hasil hutan. Mulai dari rebung, pakis, daun ubi, lalu ada jenis umbi-umbinya seperti keribang, ubi rambat dan lain-lain.
Ada juga hasil ladang musiman, seperti sawi, bayam, cangkok manis dan lain-lain. Dan yang paling ramai ketika musim buah tiba. Berbagai buah ada di pasarkan di kawasan “angker” itu. Yang paling laris tentulah buah durian. Namun ada juga buah musim lainnya, seperti tamanang, cempedak, buah asam kalimantan, rambutan dan berbagai macam buah khas Borneo di pasarkan di situ.
Kalau sudah demikian, maka hilanglah kesan angker dan seram di kawasan itu. Siang malam orang selalu ramai. Bahkan suatu ketika saya pernah melintasi Sehak tengah malam, eh ternyata masih ada orang menikmati kopi panas sambil menunggu buah durian dagangannya.
Lalu bekas longsoran setinggi kurang lebih 30 meter, oleh anak-anak muda dijadikan tempat rekreasi atau tempat pacaran. Konon dulu pada zaman penjajahan banyak orang yang mati akibat kerja rodi atau kerja paksa membelah Gunung Sehak membangun jalan yang ada hingga sekarang ini. Belum lagi cerita Gunung Sehak salahsatu benteng pertahanan Jepang melawan Belanda. Maka di situ juga ada gua atau lubang Jepang yang penggaliannya secara paksa menggunakan tenaga penduduk lokal.
Bila ada yang mati secara tak wajar, maka arwah orang tersebut akan gentayangan—usil dengan orang yang melintas. Agar tidak usil, orang yang melintas harus menghisap rokok dan permisi dengan mereka. Tapi sekarang kayaknya mitos itu sudah dipatahkan.
Orang berjulan tidak hanya dari arah pedalaman menuju Pontianak, tapi juga dari arah Pontianak ke pedalaman atau ke Malaysia. Orang yang berangkat dari Pontianak atau Singkawang selalu menjadikan daerah Sehak untuk rehat. Selain sekedar membasuh muka, juga orang menghilangkan kantuk dengan secangkir kopi.
Di kaki gunung Sehak dari arah Pontianak menuju pedalaman, orang yang berjualan lebih ramai lagi. Ada beberapa bangunan sudah permanenn namun tak sedikit pula pondok-pondok sederhana. Mereka tidak hanya menjual hasil hutan, tapi juga ada yang berdagang sembako, rokok dan bahan bakar minyak (BBM).
Hasil hutan juga tetap ada, seperti durian, rebung, dan berbagai jenis binantang yang bisa untuk lauk, seperti burung, tupai dan beberbagai jenis ikan sungai juga ada, termasuk tengkuyung sungai.
Tenkuyung atau siput sungai ini adalah teman akrabnya rebung. Biasanya di kampung orang senang masak rebung campur tengkuyung. Rasanya, jelas makyos. Itu masakah tradisional Dayak maupun Melayu di pedalaman.
Bila dicampur dengan tengkuyung yang masih bercangkang, rebung yang biasanya pahit berubah menjadi manis rasanya, ditambah lagi wangian khas daun melinjo hutan.
Tengkuyung adalah sejenis siput yang banyak ditemukan di sungai-sungai di pulau Borneo ini. Hampir setiap sungai ada tengkuyungnya. Tengkuyung sungai ada dua jenis, yakni berbentuk kelonsong atau pajang dan ada yang pendek seperti keong emas.
Lazimnya, bila sayurnya rebung pasti tengkuyung lauknya. Selain sebagai campuran rebung, daging tengkuyung bisa diolah menjadi beberapa macam masakan. Termasuk bisa digoreng atau disambal.
Tengkuyung atau rebung hampir dipajang di setiap pondok-pondok kecil pinggir jalan itu. Harganya pun murah. 3 kilogram hanya dijual dengan Rp5000 saja. Para pemiliknya dengan setia menunggu penumpang yang mampir membeli. Untuk mengusir jenuh, mereka membersihkan pekaranan sekitar. Ada pula yang menanam pekarangan itu dengan sayur-sayuran dan ada juga menanamnya dengan bunga dan buah-buahan.
Nah, kesan angker Gunung Sehak berubah menjadi pasar rakyat. Yang dulunya sepi sekarang menjadi hinggar-binggar oleh keramainya baik mereka yang rehat maupun penduduk sekitar yang berjualan. Itu juga menambah penghasilan bagi masyarakat dan tentu saja peluang usaha dan pariwisata bagi pemerintah Kabupaten Landak. Sebab banyak hal yang bisa dijual di situ, mulai dari hasil hutan hingga hasil kerajinan masyarakat lokal. Derap langkah perekonomian masyarakat hidup di Gunung Sehak.□

0 komentar: