BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, July 7, 2008

Tentang Panasnya Pontianak, Panasnya Politik

Tuliasan mas Andreas yang mengupas ketegangan antaretnik di Pontianak, Kalimantan Barat, yang dimuat di majalah Gatra, cukup untuk memahami peristiwa Gang Tujuhbelas—yang hampir memicu kerusuhan horisontal di Pontianak. Di Pontianak sendiri, Gatra terbitkan hari Kamis pekan lalu itu ludes dalam sehari. Nah, bagi Anda yang kebetulan tidak mendapatkan majalah Gatra edisi Kamis tersebut, Anda bisa membaca tulisan yang sama di harian Borneo Tribune.

Kami menurunkan tuliasan mas Andreas, tersebut utuh sebanyak empat halaman di laporan khusus kami hari Minggu (6/7) kemarin.
Sebetulnya, dalam edisi khusus setiap hari Minggu, kami juga selalu menampilkan topik-topik menarik menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Mulai dari masalah kemiskinan hingga persoalan yang melilit kepentingan orang banyak, kami kupas tuntas di edisi khusus setiap hari Minggu.
Dan kebetulan, mas Andreas ada menulis tentang Panasnya Pontianak, Panasnya Politik, kami pun menurunkanya utuh dalam edisi khusus Minggu tersebut. Anda yang kebetulan tak kebagian majalah Gatra atau mungkin harganya sedikit mahal, Anda cukup mencari edisi khusus Borneo Tribune, Minggu.
Tulisan panjang yang mencapai mungkin 50 ribu kata itu dapat di dapat dengan harga lebih murah, dan tentunya tak mengurangi isi dan makna dari tulisan yang hendak mas Andreas sampaikan ke kyayak tersebut.
Tulisan itu memang beda. Selain beda cara penyajiannya, juga beda dalam hak akurasi.
Bila dibandingkan dengan hasil lipuran media yang ada di Pontianak, sebut saja, Pontianak Post, Kapuas Post, Equator, Metro Pontianak, Berkat dan tentu saja Borneo Tribune, banyak kekeliruan dalam hal nama, waktu dan pihak-pihak yang “bertikai’.
Bahkan ada media yang justru sumir dalam hal pemberitaan terhadap peristiwa sesungguhnya. Ada pula yang justru menggunakan sumber anomin dan lain sebagainya.
Alasan tentu beragam, mulai dari taku menjadi pemicu hingga wartawan yang tidak bisa menembus sumber primer atau sumber utama.
Tapi yang saya lihat, justru kebanyakan media di Pontianak tidak berani memberitakan peristiwa sesungguhnya, kerana dibawah tekanan kepolisian dan juga lemahnya model penulisan yang justru dapat memberikan pencerahan kepada pembacanya.
Kemudian unsur subjektivitas justru sangat melekat pada si wartawannya. Jadi independensi si wartawan juga masih dipertanyakan.
Masih sangat langka menemukan wartawan yang dapat melaporkan peristiwa ‘pertikaian’ apa adanya. Masih sulit menemukan media yang mau menurunkan kejadian secara utuh. Banyak pertimbangannya. Mulai dari keamanan si wartawan, hingga medianya sendiri takut di cap provokator.
Padahal bisa wartawan mempu menembus sumber kompeten atau sumber utama, maka persoalan akan menjadi jernih. Tak ada lagi syakwas sangka, tak ada lagi saling curiga. Karena semua pihak dapat memahami situasi sesungguhnya.
Mas Andreas mampu mewawancarai 40 orang di Pontianak untuk mengupas persoalan yang dipicu kasus kriminal di Gang Tujuhbelas, Jalan Tanjungpura itu.
Bahkan, rekan saya Yusriadi, yang juga dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak, juga menjadi narasumber mas Andreas.
Dalam tuliasan, mas Andreas mensejajarkan rekan saya itu dengan Jamie Davidson: Analisis Yusriadi sejajar dengan tesis Jamie Davidson: Melayu maupun Dayak bersaing dan mereka yang di tengah jadi korban. Orang Dayak mengusir orang Madura dari Sanggau Ledo, pada 1997, karena Madura adalah puak yang lemah. Orang Melayu mengusir Madura dari Sambas, pada 1999, juga karena jumlah Madura kecil. Ketika orang Dayak mengusir orang Madura dari Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001, alasannya juga sama. Kini golongan Madura sudah keok. Ribuan orang Madura dipotong kepalanya, dibelah punggungnya, dimakan hatinya. Kini persaingan mereka mencari korban yang tetap minoritas: golongan Cina. Pepatah, "Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung," dulu dimanipulasi untuk membenarkan diskriminasi terhadap etnik Madura. Sekarang pepatah sama dimanipulasi untuk menyudutkan pendatang lain: golongan Tionghoa.
Yusriadi mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia murid James T. Collins, professor bahasa-bahasa Borneo. Yusriadi menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, "Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.". Anda penasaran? Buru saja edisi khusus harian Borneo Tribune terbit Minggu (6/7).□

0 komentar: