BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Friday, July 4, 2008

Nyala Api dalam Sekam

Oleh Tanto Yakobus

Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, kembali berdenyut. Penduduk sudah keluar rumah. Took, supermarket, dan pasar-pasar tradisional sudah buka seperti biasa. Dua kelompok etnik (Melayu dan Madura) yang bertikai sudah menyatakan memahami kesalahan masing-masing dan sepakat menyerahkan semua problem kepada polisi—sepertu dulu, meski belakangan kumat lagi.

Selayang pandang, seperti dipantau oleh wartawan GAMMA sampai Selasa pekan ini, tidak ada lagi warga terlihat bergerombolan sambil menenteng senjata tajam sebagai alat perang. Meski demikian, di berbagai titik rawan aparat keamanan masih berjaga-jaga dan sewaktu-waktu melakukan sweeping senjata tajam.
Sementara itu, pada malam hari warga masih terlihat berjaga-jaga di mulut-mulut gang di lingkungannya masing-masing.
Memang, selama empat hari dilanda kerusuhan, dimulai Rabu 25 Oktober, telah jatuh korban 21 orang. Tujuh orang tewas dan 14 lainnya luka parah. Dari 7 yang tewas itu 6 orang dari etnik Madura dan 1 orang dari suku Melayu.
Menurut Dr. J.K. Sinyor, Direktor Rumah Sakit Umum Soedarso (RSUS) Pontianak, semua korban yang terluka maupun yang tewas di bawa ke RSUS. Biaya perawatan mereka diambil dari dana JPS (Jaringan Pengaman Sosial) bidang kesehatan—untuk tahun anggaran ini tersedia Rp 1,82 miliar.
Kerusuhan antaretnik di Bumi Khatulistiwa itu—sama seperti kasus kerusuhan Sambas 1999 dan Sanggau Ledo 1997—berawal dari hal sepele.
Rabu 25 Oktober, sekitar pukul 08.45 WIB, seorang pengendara sepeda motor yang melintas turun di Jalan Tol Kapuas dan hendak masuk gang ujung jembatan tol mendadak disalib bus kota yang berhenti tidak jauh dari gang ujung jembatan itu.
Si pengendara sepeda motor yang kebetulan warga Melayu tak terima. Ia lalu memanggil kernet bus itu. Si kernet bersama sopirnya yang kebetulan warga Madura turun dari bus membawa gagang dongkrak mendatangi si pengendara motor yang parkir di mulut gang arah Tanjung Raya. Ketika bertemu, perang mulut pun tak terelakkan. Aparat polisi, yang berada di pos polisi sekitar 10 meter dari tempat kejadian, berhasil melerai perang mulut itu. Si sopir dan kernet pergi.
Tapi, perang mulut itu telanjur mengundang warga sekitar ramai berkumpul. Saat itu, melintas sebuah bus kota dari arah Batulayang menuju kota. Tak pelak, warga mencegat bus itu, lalu menyuruh penumpangnya turun. Si sopir dan kernetnya buru-buru lari berlindung ke pos polisi. Setelah bus itu kosong, massa yang sudah emosi lalu merusaknya dan kaca-kacanya ditimpuki dengan batu serta potingan kayu. Setelah itu, massa pun bubar.
Pukul 12.00 WIB, mendadak massa dari Siantan (daerah asal sopir) menyerang daerah sekitar tempat kejadian tadi. Warga yang terserang tentu saja tak terima. Tak ayal, konsentrasi massa dari kedua kubu pun saling berhadapan dengan jarak 50 meter.
Lempar batu antarmereka pun merebak. Senjata tajam pun diacung-acungkan ke langit. Polisi berupaya mencegah ketegangan dengan masuk ke tengah kedua kelompok yang berhadap-hdapan.
Tapi nahas, bentrok pecah dan enam korban jatuh di pihak penyerang: 5 korban luka parah akibat sabetan parang dan terkena tombak, sedangkan satu tewaas. Dua orang polisi pun terluka akibat melerai.
Saat genting, Wali Kota Pontianak, dr. Buchary A Rahman, bersama seluruh Muspida Pontianak tiba di lokasi kejadian. Lewat pengeras suara, wali kota melerai. Suasana pun reda. Tapi, massa tak bubar. Aparat keamanan lalu menyekat kedua kubu dengan pagar betis.
Menjelang senja, massa Madura kembali ke Siantan, sedangkan massa Melayu merangsek masuk ke dalam kota mencari becak dak kios rokok—milik warga Madura—di sepanjang kawasan perdagangan, yakni Jl. Pahlawan, Jl. Gajah Mada, Jl. Tanjungpura, dan Jl. Imam Bonjol.
Akibatnya, puluhan becak atau kios rokok yang ketemu mereka gulingkan ke tengah jalan lalu dibakar. Aksi rusuh ini berlangsung hingga pukul 04.00 dini hari.
Esoknya, kerusuhan meluas ke berbagai sudut pinggiran kota Pontianak, seperti Sui Jawi, Jeruju, Sui Raya, dan kawasan Jalan Adi Sucipto. Hari itu massa membakar 5 sepeda motor, 4 mobil, dua bus, serta lima rumah di Jeruju. Korban jiwa yang luka dan tewas pun berjatuhan. Akibatnya, sampai malam hari suasana kota Pontianak sangat mencekam dan bak kota mati.
Kedua etnik yang bertikai melakukan sweeping di daerah kantong masing-masing. Warga Madura yang berada di kantong Melayu terpaksa mengungsi ke Kodim 1207 Pontianak dan Pangkalan Lanal TNI AL Pontianak sebanyak 435 KK, sekitar 54 KK pulang ke Madura.
Hingga Jumat pagi, 27 Oktober, situasi masih sangat mencekam. Tak pelak, Kapolda Kalbar Brigjen Atok Rismanto, SH, meminta bantuan langsung ke Kapolri.
“Saya tak mau ambil resiko. Jadi, saya minta tambahan pasukan untuk back-up,” kata Atok kepada GAMMA.
Di lapangan, aparat yang bertugas hanya 2 SSK dari TNI AD dan 2 SSK dari Brimob. Ini memang sangat kurang. Maka, Jumat sore itu mendarat di Pontianak 1 Batalyon Brimob asal Mabes Brimob Kelapa Dua, Cimanggis, Bogor. Pasukan yang dibawa pesawat tempur Hercules C-130 itu merupakan pasukan yang baru seminggu tiba dari Aceh.
Lalu, malamnya, aparat melakukan sweeping senjata tajam dan senjata rakitan. Sampai Sabtu, 28 Oktober, aparat masih melakukan sweeping di kantong-kantong rawan kedua etnik. Dan, akhirnya, situasi pun normal.
Menurut, Atok, kerusuhan antaretnik ini, walau berasal dari luka lama, bisa cepat terkendali karena masyarakat sudah muak dengan segala tindakan anarkis, sehingga mereka cepat menyadarinya. Namun, walau sudah terkendali, kondisi ini masih terus diawasi aparat.
“Kedua belah pihak harus menyadari bahwa konflik itu tidak menguntungkan siapa pun,” kata Kapolda Atok.
Sosiolog Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alkadrie, M.Sc, melihat cepatnya kerusuhan ini mereda karena kesadaran masyarakat Pontianak sangat tinggi untuk meminimalkan kerusuhan. Masyarakat, pengamatan Syarif, sudah belajar dari pengalaman pahit selama ini: rusuh Madura-Dayak 9 kali, Madura-Melayu 2 kali. Melihat pengalaman pahit itu, tak dapat dipungkiri ada dendam seperti api dalam sekam.
“Untuk itu, para tokoh perlu instrospeksi, jangan memaksa kehendak, dan jangan ada pihak yang merasa dirinya paling jago,” ungkap Syarif kepada GAMMA.
Syarif mendukung sikap tegas aparat, terutama kapolda yang cepat minta bantuan pasukan ke Kapolri. Namun, tindakan tegas itu harus melalui prosedur. Pertama persuasive, lalu tembak ke udara. Kalau massa tidak mau bubar, tembak ke tengah. Lalu, kalau masih bertahan, baru ditembak kakinya.
Lalu, apa solusi agar mereka hidup rukun?
“Saya belum ada jawaban yang pasti,” kata Syarif.
Tapi, Syarif punya penelitian bersama 4 profesor UI atas permintaan Kapolri Rusmanhadi. Hasilnya sudah diserhkan ke Kapolri dan Pemda Kalbar. Problemnya? Rupanya pemda tak menyikapi penelitian itu.
“Saya pikir pemda kurang memahami hasil penelitian itu,” kata Syarif dengan nada kesal.
Padahal, dalam penelitian jelas disebutkan bahwa Dayak dan Melayu sangat menghargai orang lain. Keduanya menghargai istilah mali atau tabu. Juga ada sistem anak angkat.
“Maka, pendatang harus menghargai budaya itu. Bak kata pepatah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” katanya.
Tapi, orang Madura lebih tunduk kepada kiainya. Sayangnya, para kiai itu dalam mengajar lebih menekankan hablum minallah ketimbang hablum minannas—lebih lebih mementingkan hubungan dengan Tuhan ketimbang hubungan dengan sesama manusia.
“Harusnya keduanya berimbang,” kata Syarif.
Tapi, pengamat social Laode Ida menilai, luka konflik yang akut—sampai 12 kali—itu sudah sulit diobati.
“Dendam diantara mereka sudah sangat sulit dihapus,” kata Laode Ida kepada GAMMA.
Apalagi, dulu aparat ada yang terlibat dan memihak kepada etnik setempat.
Sementara itu, pertemuan Kekerabatan Masyarakat Pontianak di Hotel Mahkota, Minggu 29 Oktober, menuntut Kapolda Kalbar segera menangkap oknum provokator yang hingga kini masih berkeliaran.
“Polisi sudah tahu siapa oknum itu,” kata H. Mawardi Rivai, Datuk Petinggi Pemangku Adat Budaya Melayu, kepada GAMMA.
Menurut Mawardi Rivai, tokoh Melayu dan Madura sudah sepakat melakukan aksi penghakiman massa terhadap oknum provokator itu jika dalam sepekan ini aparat belum menangkapnya.
“Ada kesan figure oknum itu kebal hukum. Maka, aparat pilih mana: membiarkan peradilan rakyat atau menangkap oknum itu,” kata Mawardi.
Sayang, Mawardi enggan menyebut nama oknum tersebut.

○Terbit di Majalah GAMMA No. 37 Tahun II 1-7 November 2000 hal 26.

0 komentar: