BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Sunday, July 6, 2008

Kuliah Yes, Narkoba No

Oleh Tanto Yakobus

Balai Laboratorium Kesehatan Pontianak ramai dikunjungi puluhan lulusan sekolah menengah umum. Mereka rela antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan selembar surat keterangan bebas narkoba. Maklum, surat keterangan itu merupakan salah satu syarat untuk bisa mendaftar sebagai calon mahasiswa baru di Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Fittri dan Herman, misalnya, tiga pekan lalu tak keberatan air seninya diperiksa tim dokter di sana, sebab mereka merasa tak pernah mengonsumsi narkoba. Mereka optimistis bisa bertarung dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri yang berlangsung Selasa dan Rabu pekan ini.
“Ya, memang saya tak pernah mengonsumsinya. Kenapa takut?” kata Fittri kepada GAMMA.
Tekad Universitas Tanjungpura (Untan) perang melawan narkoba agaknya bukan isapan jempol. Itu dibuktikan dengan mewajibkan para calon mahasiswa melampirkan surat bebas narkoba sebagai salah satu syarat saat mendaftar sebagai calon mahasiswa baru.
Peraturan itu sudah diterapkan sejak tahun akademik 1999 lalu.
“Semua ini sebagai pencegahan agar peredaran dan penggunaan narkoba, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif (napza) tidak meluas di kalangan mahasiswa,” kata Kelapa Biro Administrasi Akademik Untan, Radjali Hadimas Putra.
Langkah Untan didukung Surat Edaran Direktorat Pendidikan Tinggi tanggal 21 Januari 2000 yang menyebutkan upaya pencegahan napza di lingkungan perguruan tinggi.
Untuk mendeteksi ada tidaknya pengguna narkoba, Kepala Balai Laboratorium Kesehatan Pontianak, Hilda Handayani, menggunakan metode yang lazim dipergunakan, yakni rapil test dan thin layer chromotografi, termasuk tes air seni.
Pemeriksaan napza dengan metode rapil test untuk mendeteksi golongan cannabis (mariyuana, ganja), golongan amphetamine (ekstasi, sabu-sabu), golongan morphine (opium, putaw), serta golongan cocaine yang juga disebut rock cocaine atau coke.
Sedangkan metode thin layer chromotogradi hanya bisa dilakukan terhadap golongan morphine dan amophetamine.
“Dengan metode itu tak ada celah bagi penguna narkoba lolos dari pemeriksaan. Sekecil apa pun tingkat konsumsi akan terdeteksi,” ujar Hilda.
Menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa Pontianak, dr. Benny Ardjil, sejak Juni 1999 hingga Juni 2001 tercatat 150 pasien pengidap narkotika dan psikotropika. Mereka itu rata-rata berusia antara 16 dan 25 tahun. Itu artinya, 80% di antaranya usia pelajar dan mahasiswa.
Penyebabnya, kata Benny, antara lain pengaruh globalisasi, sehingga rasa ingin tahu mereka terpacu kemudian coba-coba dan akhirnya ketagihan.
Agar tidak menjadi akut, berbagai upaya pencegahan terus dilakukan. Salah satunya lewat program detoksikasi yang dirancang untuk mengeluarkan zat narkotika dari dalam tubuh pasien. Setelah itu, barulah mereka masuk dalam program rehabilitasi. Deteksi bisa dijalankan selama dua minggu hingga satu bulan, sementara pasien rawat inap selama 7-10 hari. Untuk rehabilitasi pecandu, dibutuhkan waktu enam bulan.
Selain itu, rumah sakit jiwa tersebut juga menyediakan program narcotic anonymous yang mempunyai jaringan internasional sebagai sarana komunikasi sesama mantan pencandu.
“Kami memiliki fasilitas yang bagus. Sayangnya, tak banyak yang menggunakannya. Mungkin karena malu,” tambah Benny.
Walau syarat bebas narkoba itu positif, kesempatan kuliah bagi penderita narkoba dan biaya pemeriksaan di laboratorium ternyata sangat mencekik leher.
Apa jadinya kalau para pencandu narkoba yang justru harus diselamatkan dari jeratan penyakit itu malah gentayangan di luar kampus. Apalagi, biaya pemeriksaan Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu tergolong berat bagi para orangtua calon mahasiswa.
Anehnya, kepala Kanwil Diknas Kalimantan Barat, Aman Jasin, mengaku belum mengetahui adanya persyaratan bebas narkoba tadi. Namun, jika hal itu benar, dia malah mengaku tidak kaget.
“Itu sudah saya lakukan saat saya menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA II di Singkawang dari 1982 hingga 1987. Jadi bagi saya bukan hal yang aneh,” katanya.
Namun, bagi calon mahasiswa seperti Fittri dan Herman, soal biaya pemeriksaan yang mahal itu tak terlalu memusingkannya.
“Meskipun biayanya mahal, itu kan, sangat berguna bagi kami. Itu sudah jadi resiko untuk bisa kuliah,” kata Fittri.
Memang, belum terlambat untuk mengatakan say no to drugs.

○Terbit di Majalah GAMMA. 11-17 Juli 2001

0 komentar: