BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, July 28, 2008

Eksistensi Adat dan Hukum Adat

Catatan dari Mubes I Timanggong/ Kepala Adat se-Kalbar


Oleh Tanto Yakobus

Mubes (musyawarah besar) pertama para timanggong/ domong/ kepala adat se-Kalimantan Barat di Wisma Nusantara yang berakhir, Minggu (27/7), menghasilkan beberapa rekomendasi baik internal maupun eksternal.

Sebelum menjadi rekomendasi Mubes, sekitar 280 timanggong/ domong atau kepala adat yang mewakili seribu lebih timanggong/ domong atau kepala adat se-Kalbar melakukan sidang-sidang komisi secara meraton membahas permasalahan yang dihadapi para timanggong dan masyarakat adat Dayak selama ini.
Materi pokok bahasan itu adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan masyarakat adat Dayak maupun eksistensinya baik di lingkungan masyarakat adat itu sendiri maupun dengan pihak luar. Karena kompleksnya masalah yang dibahas dan untuk mempermudahkan pokok bahasan, maka dalam Mubes panitia membagi tiga komisi, yakni komisi A, B dan C.
Komisi A membahas masalah tugas pokok dan fungsi timanggong/ domong/ kepala adat. Termasuk di dalamnya hubungannya dengan Dewan Adat Dayak di masing-masing tingkatan, mulai dari tingkatan yang lebih tinggi (provinsi) hingga kecamatan.
Yang cukup alot juga dalam pembahasan itu, apakah timanggong perlu ada sampai pada tingkat provinsi. Namun peserta yang betul-betul memahami sejarah, adat dan hukum adat, timanggong hanya ada pada tingkat binua, kecamatan dan kabupaten saja. Sedangkan komisi B membahas masalah perkebunan kelapa sawit yang sering berbenturan dengan masyarakat adat. Tak hanya itu, juga masalah pertambangan dan illegal logging, juga tak luput dari sorotan para timanggong.
Pun demikian dengan isu yang lagi hangat-hangatnya di bicarakan dunia, macam perubahan iklim dan upaya penanggulangannya. Para Timanggong yang mewakili masyarakat adat tegas minta pemerintah meninjau kembali taman nasional dan hutan lindung yang kini mulai dijarah para pemilik modal alias cukong.
Agar taman nasional tetap utuh dan hutan lindung tetap lestari, para timanggong siap menjaganya dengan mengenakan sanksi adat bagi para penjarah maupun pelanggarnya.
Sedangkan komisi C lebih pada kelanjutan masa depan masyarakat adat Dayak itu sendiri, mulai dari peningkatan sumber daya manusia masyarakat adat hingga pada masalah bagaimana menyikapi program pemerintah terkait dengan transmigrasi. Termasuklah menyikapi rekrutman PNS, TNI Polri yang kurang mengakomodir kalangan masyarakat adat Dayak. Dalam rekrutmen apa pun, masyarakat adat Dayak minta kuota khusus yang proporsional sesuai penduduk Kalimantan Barat dimana Dayak adalah penduduk mayoritas, disusul Melayu dan Tionghoa.
Saya yang kebetulan mengikuti sidang pleno para timanggong, Minggu pagi kemarin, sempat mencatat beberapa hal yang menjadi rekomendasi mereka. Terutama menyangkut penguasaan hasil hutan (HPH/HTI). Mereka minta pemerintah meninjau kembali HPH mnaupun HTI yang sudah ada dan harus melibatkan masyarakat adat. Membatasi luas kawasan HPH sampai maksimum hanya 20 ribu hektar saja, dengan masa operasional 5 tahun. Pun demikian dengan HTI, perlu pembatasan luas dan masa operasionalnya, yakni 5 tahun.
Mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang dulu pernah diserahkan pemerintah ke pemilik HPH maupun HTI. Harus ada kontribusi yang jelas untuk masyarakat pemilik tanah atau wilayah adat bagi HPH yang sudah terlanjur beroperasi. Terutama menyangkut HTI dan perkebunan yang hingga kini tetap eksis. Jangan lagi merugikan masyarakat adat yang secara turun-temurun menguasai tanah. Namun kini harus kehilangan tanah akibat perkebunan sawit.
Pun demikian dengan kayu madu (lalaw), buah-buahan dan pencemaran sungai oleh HPH, harus dikenakan sanksi adat. Bila perusahaan baru yang mau meminta izin atas HPH, maka masyarakat adat harus menolaknya. Lalu menuntut dana-dana DR/IHH/PPSDH yang ditahan pemerintah pusat untuk segera diserahkan ke daerah kembali untuk membangun dan memberdayakan masyarakat adat.
Perlu sanksi bagi HPH nakal yang menebang di luar RKT, termasuk kawasan lindung, baik dengan hukum adat maupun hukum nasional (negara).
Yang menjadi penekanan para timanggong tersebut adalah soal hak-hak masyarakat adat dalam mengelola hutan adat, tembawang, tebelian (ulin) sebaiknya tidak digolongkan sebagai illegal logging karena dikerjakan secara manual dan tradisional.

Taman Nasional
Dalam Mubes yang berlansung sejak tanggal 24 Juli itu juga, para timanggong membuak rekomendasi soal taman nasional mupaun hutan lindung. Mereka minta pemerintah memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas lahan yang dijadikan objek/ sasaran penelitian berskala internasional. Dan taman nasional atau hutan lindung yang sudah ditetapkan oleh pemerintah supaya ditinjau kembali apakah keadaannya masih cocok untuk berstatus sebagai taman nasional atau hutan lindung.
Itu perlu dilakukan, karena kawasan hutan lindung atau konservasi harus ada karena pulau Borneo ini merupakan paru-paru dunia. Jadi masyarakat adat harus terlibat dan menjaga keutuhannya.
Mubes juga merekomendasikan untuk memberlakukan hukum adat terhadap perambahan hutan lindung/ taman nasional dan kawasan konservasi. Masyarakat adat harus menyiapkan diri dan terlibat dalam pengawasan dan perlindungan kawasan konservasi tersebut.
Demikian juga dengan program transmigrasi. Mubes merekomendasikan menolak transmigrasi baru dari luar pulau kecuali transmigrasi lokal karena masyarakat lokal juga membutuhkan lahan untuk kelangsungan hidupnya.
Alasan penolakan transmigrasi itu, karena masyarakat setempat tidak mendapat lahan plasma bila transmigrasi tersebut diintegrasikan dengan perkebunan sawit. Jadi perlu ada situasi dan kondisi yang sama yang harus dibangun pemerintah baik untuk transmigrasi maupun masyarakat setempat.
Mubes juga merekomendasikan meninjau kembali pola perkebunan selama ini. Mereka mengusulkan pola perkebunan dengan pembagian 60 persen untuk masyarakat dan 40 persen untuk perusahaan. Dan tidak ada kredit yang dibebankan kepada masyarakat. Perusahaan perkebunan kelapa sawt juga harus memberikan kontribusi kepada masyarakat untuk kepentingan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, rumah ibadah dan jalan.
Demikian juga kesempatan untuk menjadi anggota TNI dan Polri, mubes timanggong merekomendasikan penerimaan dan perekrutan perwira dan bintara TNI dan Polri baru supaya memberikan kuota yang proporsional untuk masyaraka adat.
Di bidang pendidikan, pemerintah harus memberikan beasiswa pemerintah bagi masyarakat adat yang tamat SMA/SMK untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, termasuk kuota khusus bagi tamatan SMA/SMK bagi masyarakat adat untuk diterima sebagai Mahasiswa STPDN dan Kedokteran Untan.
Intinya, saya mencatat eksistensi dan keberadaan hukum adat di tengah-tengah masyarakat plural atau majemuk adalah untuk keseimbangan hidup masyarakat Dayak itu sendiri. Mereka bisa hidup berdampingi secara damai dengan pihak atau suku mana pun, asal mereka tidak tercerabut dari asal usul dan adat istiadatnya termasuk hukum adat yang mereka patuhi dan jalankan itu.
Di kalangan mereka sendiri sesungguhnya tidak ada komersil dengan hukum adat itu, cuma dalam perkembangannya, ada pihak yang memanfaatkan hukum adat untuk kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga sanksinya betul-betul menakutkan dan itu jelas menjadi alat komersil bagi pelakunya.
Dalam mubes hal-hal demikian sudah diluruskan. Yang boleh menjatuhkan sanksi adat adalah timanggong/ domong/ kepala adat atau menteri adat dan sejenisnya. Sedangkan DAD (Dewan Adat Dayak) dari setiap tingkatan hanya sebagai fasilitator, mediator dan konseptor saja. Pelaksana hukum adat kewenangannya tetap pada timanggong. Singkat kata DAD tidak bisa menjatuhkan hukum adat. Itulah sebenarnya.□

0 komentar: