BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Friday, July 4, 2008

Bom Waktu di Pontianak

Oleh Tanto Yakobus

Kota Pontianak yang dibelah Sungai Kapuas kembali tenang. Pencegatan di wilayah Wajok, belasan kilometer di luar kota yang dilakukan ratusan warga Madura—pengungsi asal Sambas—terhadap warga Melayu Sambas yang mudik Lebaran, dan menelan korban enam luka ringan dan empat luka parah, tinggal kenangan.

Dialog hati ke hati para tokoh masyarakat, agama, dan adapt dari berbagai etnis (Melayu, Dayak, Madura, Tionghoa) pada 10 Januari 2000 yang diprakarsai Gubernur Kalimantan Barat, Aspar Aswin, ternyata ampuh meredam bentrokan missal.
Dalam dialog itu, para pengungsi (sekitar 15.000 orang) korban kerusuhan Sambas yang sudah setahun ditampung di Pontianak berterus terang. Aksi pencegatan itu dilakukan tak lain karena kesal akibat dua bulan ini mereka ditelantarkan.
Misalnya, tak lagi mendapat jatah dari pemerintah daerah. Nasib mereka selanjutnya pun tak pasti, apakah direlokasi atau kembali ke daerah asal di Sambas.
Mendengar inilah Aspar luluh hatinya. Ia meminta 30 warga Madura yang ditangkap karena membawa senjata tajam sewaktu pencegatan, dilepaskan aparat.
Namun, sikap lunak itu dikecam M Akil Mochtar SH. Menurut Anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar ini, sikap kompromistis itu merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum, mengingat situasi social di sana sangat rentan terhadap konflik antaretnik. Sebab, persoalan sepele antarpribadi kerap merembet menjadi berbau SARA.
“Jadi, penegakan supremasi hukum tak bisa ditawar-tawar,” kata Akil Mochtar kepada GAMMA.
Pengamat politik dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. AB Tangdililing, MA, pun melihat penanganan kasus antaretnik oleh aparat keamanan cenderung membingungkan.
Sikap kompromistis itu bisa menimbulkan rasa curiga di segala lapisan masyarakat. Akibatnya, berbagai persoalan yang ada tetap merupakan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meletus.
“Kalau meledak, lebih parah dari kasus Ambon,” kata Tangdililing kepada GAMMA.
Dalam amatan Tangdililing, selain “bom waktu” konflik antaretnik Melayu-Madura dan konflik Dayak-Madura yang hingga kini tak kunjung tuntas, tak kalah hebatnya jika meledak konflik antaretnik penduduk asli, yakni Dayak-Melayu.
Akhir-akhir ini, hubungan Dayak-Melayu seperti api dalam sekam. Dayak diidentikkan dengan Kristen, sedangkan Melayu dengan Islam. Entah siapa yang meniupkan isu itu.
Padahal, hubungan yang kurang mesra antara Dayak dan Melayu itu lebih karena persoalan politik strategis di pemerintahan. Sejak tumbangnya YC. Oevaang Oeray, Gubernur pertama Kalimantan Barat dari suku Dayak pada 1967, mereka tak lagi eksis di pemerintahan. Sejak itu—sampai tumbangnya Orde Baru—kehidupan dan peran politik strategis di tubuh pemerintahan dipegang Melayu.
“Pejabat, baik provinsi dan kabupaten, dari asisten, kepala bagian sampai ke bawahnya, tak ada dari suku Dayak,” kata sebuah sumber.
Maka, ketika angin reformasi berembus, orang Dayak dengan berbagai cara berhasil menguasai kembali strata kehidupan politis.
Misalnya, dari tujuh bupati di sana, lima diantaranya berasal dari suku Dayak. Juga beberapa jabatan strategis di provinsi dan kabupaten kini sudah banyak diduduki orang Dayak. Diam-diam, hal ini membuat orang Melayu merasa tersisih, dan hubungan kedua etnik itu pun menjadi seperti api dalam sekam.
Bentrokan pertama Dayak dengan Melayu terjadi tatkala berlangsung pemilihan anggota MPR Utusan Daerah di DPRD awal Oktober lalu. Ketika itu, massa Dayak tidak puas dengan hasil pemilihan. Mereka lantas melakukan perusakan gedung DPRD. Aksi ini mendapat perlawanan dari Melayu. Sejak itu, bentrok-bentrok kecil Dayak-Melayu sering terjadi.
Etnik Melayu pun membentuk Lembaga Adat Budaya Melayu (Lembayu). Lalu, diangkat pula para panglima perang dan pendekar Melayu, yang bertugas melindungi warga Melayu. Tapi, tuduhan ini dibantah oleh Syarif Toto Alkadrie.
“Lembayu tidak berpolitik, hanya mempertahankan dan menggali adat istiadat dan budaya Melayu,” kata ketua Lembayu itu kepada GAMMA.
Meliaht tajamnya konflik Dayak-Melayu itu, Tangdililing mengimbau berbagai etnik yang ada di sana agar berpikir jauh, dan dapat hidup bersama dalam suasana sejuk.
“Inilah harapan saya,” ujar Tangdiling.

○Terbit di Majalah GAMMA No. 47 Tahun I. 19-25 Januari 2000. hal 37.

0 komentar: