BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, June 16, 2008

Wartawan, Antara Buruh dan Profesional


Pertanyaan yang dilemparkan saudara Tengku Iqbal di milis Pantau, juga menjadi pertanyaanku ketika aku dipecat dari Harian Equator (Jawa Pos Grup) di Pontianak pada 27 Oktober 2006 lalu. Aku bingung penyelesaian sengketa aku dengan kantor dibawa ke persoalan buruh. Padahal aku seorang wartawan yang katanya punya skill yang tidak dimiliki semua orang atau bahasa kerennya, profesi?

Nah, waktu itu aku tidak mau banyak persoalan, maka lewat kuasa hukum segala urusan menyangkut pesangon dan lain-lain diselesaikan merujuk ke persoalan buruh. Ya posisiku lemah sekali, tak ada bedanya wartawan dengan buruh. Dan aku pun bertanya dalam hati, apakah wartawan itu adalah buruh?
Sama dengan Iqbal yang mempertanyakan wartawan, atau jurnalis, adalah buruh. Dan itu sudah lama sekali, bahkan setiap ada persoalan yang menimpa wartawan penyelesaiannya tak jauh-jauh dari seputar buruh.
Tapi disela-selanya, kerap terdengar bahwa wartawan adalah seorang profesional. Wartawan punya sekian mekanisme dalam menjalankan pekerjaannya. Selain skill, dia punya organisasi profesi, macam PWI, AJI, PWI Reformasi, dll. Dia juga punya kode etik. Mirip dengan kaum profesional seperti psikolog, dokter, advokat, dll.
Tapi tapi sekali lagi, walau sudah 10 tahun mengeluti dunia jurnalistik, aku tetap belum bisa memahami kondisi ini, bahkan kadang ragu dengan profesi itu? Sebab, dia disebut profesional, namun wajahnya sama dengan buruh. Padahal untuk menjadi wartawan juga tidak mudah, butuh pendidikan yang memadai.
Lain halnya dengan buru, tak perlu pendidikan memadai, tak sekolah juga bisa, bahkan banyak perusahaan lebih senang mempekerjakan orang yang tidak perbendidikan atau pendidikan tidak memadai, itu terkait dengan gaji.
Sedangkan wartawan, identik dengan pendidikan. Lihatlah dokter, pengacara, dll. Siapa yang ingin menjadi dokter, pasti telah melewati jenjang pendidikan tertentu. Begitu juga pengacara, psikolog, dll. Kemudian, lihatlah kekuatan organisasi profesi yang bisa mencabut sertifikat pekerjaan seseorang, seperti kasus Todung Mulya Lubis (terlepas dari kontroversinya) .
Lantas, jurnalis? Siapapun bisa menjadi jurnalis. Dan apakah organisasi profesi, atau pun dewan pers, punya kekuatan konkret terhadap jurnalis? Jika pun ada pelanggaran yang membuat organisasi profesi tersebut melakukan tindakan pemecatan, apakah si jurnalis tidak bisa melakukan reportase lagi? Atau tugas-tugas kewartawanan? Bukankah pemecatan hanya dari organisasi profesi yang bersangkutan, dan bukan pemecatan dari praktek jurnalistik? Atau sebeliknya bila si wartawan dipecat dari perusahaan penerbitan atau surat kabar, apakah dia juga lantas tidak boleh melakukan tugas-tugas jurnalis?
Teman aku, Asriyadi Aleksander Mering mengatakan, menjadi wartawan adalah pekerjaan yang tidak takut dipecat. Perusahaan boleh saja memecat wartawannya, tapi si wartawan tak lantas kehilangkan pekerjaan. Berbekal profesi yang dimilikinya, maka ia bisa menjadi freelancer di media lain atau di media mana pun yang bisa memuat hasil karyanya. Dan bila ia profesional, harga karyanya jauh lebih tinggi dari perusahaan tempatnya bekerja.
Sementara seorang dokter, ia tak bisa lagi melakukan praktik manakala IDI yang menjadi organisasinya mencabut ijin praktiknya. Dan hal-hal yang demikian cukup mengganggu aku dalam menjalankan tugas sebagai wartawan ini. Aku juga sering bertanya, apa korelasi kode etik jurnalis dengan profesi jurnalis itu? sama dengan dokter atau pengacara, psikolog, wartawan juga ada kode etik. Tapi itu tadi, penerapannya kok beda banget.
Jika wartawan atau jurnalis itu buruh, kenapa ia harus bekerja dan tunduk kepada kode etik jurnalis? Dan aku sendiri belum pernah mendengar kode etik buruh?
Sebetulnya secara logika, antara buruh dan wartawan sudah beda. Terutama dalam hal kode etik. Demikian juga antara profesi dan buruh, juga beda dalam hal kode etik. Tapi bagaimana dengan profesi wartawan versus profesi lain, macam dokter, pengacara dll itu? nah itu semua perlu menjadi kajian semua pihak, terutama dewan pers dan para pemilik media. Semoga bisa memberi pencerahan kepada kita semua.

0 komentar: