BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Wednesday, June 11, 2008

Helipad, Strategi Perang Malaysia?


Oleh Tanto Yakobus

APALAGI yang hendak dibuat Malaysia terhadap kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Pembangunan helipad—tempat pendaratan helikopter militer Malaysia di Desa Tanjung Lokang Kalimantan Barat yang hanya berjarak tujuh meter dari titik batas negara, patut diwaspadai.

Pembangunan pangkalan helikopter itu bukan sekadar pelanggaran terhadap beberapa kesepakatan sebelumnya, dalam satu dekade terakhir, kita selalu dirugikan oleh ulah Malaysia, mulai dari cara mereka memperlakukan TKI/TKW kita yang katanya ilegal, dengan tidak manusiawi, hingga masalah illegal logging.
Rupanya negara kerajaan yang juga tetangga dekat Indonesia itu tidak puas mendapatkan Pulau Legitan dan Sipadan, kini mereka membangun helipad militer di kawasan perbatasan kedua negara, yakni di dekat Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kabupaten Kapuas Hulu. Beberapa tahun lalu kita juga pernah bersitegang terkait pelanggaran di perairan Ambalat, Kalimantan Timur.
Helipad yang dibangun sekitar enam bulan lalu itu diduga kuat milik angkatan bersenjata atau militer Malaysia. Jaraknya dari patok batas kedua negara hanya tujuh meter saja. Artinya, dia hanya berjarak tujuh meter dari kawasan TNBK di Indonesia yang memang berada di kawasan perbatasan.
Helipad yang dibangun mirip pangkalan militer tersebut berada tepat di ujung Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari Putussibau—ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, untuk menjangkau kawasan itu hanya bisa ditempuh lewat jalur sungai menggunakan speed boat. Bangsa kita yang hendak memasuki usia 64 tahun ini, kawasan itu baru bisa ditempuh menggunakan jalur sungai. Jalur darat yang diimpikan masyarakat untuk membuka isolasi daerah masih jauh dari harapan. Mungkin masih mimpi.
Negeri kita ini terlalu luas, maka daerah vital yang berbatasan langsung dengan Malaysia sungguh tidak tersentuh pembangunan. Perbatasan yang harusnya menjadi garda terdepan justru jadi beranda belakang republik ini. Malaysia betul-betul menjadi surga dunia bagi ekonomi masyarakat perbatasan. Barang murah, mencari kerja juga mudah. Sementara mereka menjarah kayu Indonesia di hutan kawasan perbatasan.
Bayangkan untuk mencapai Desa Tanjung Lokang di perbatasan itu, dari Kota Putussibau harus menempuh perjalanan selama tiga hari menggunakan speed boat lewat jalur Sungai Kapuas. Apalagi kalau dihitung dari ibukota provinsi, Kota Pontianak, maka jarak tempuhnya bisa satu minggu. Jarak tempuh Pontianak-Putussibau kurang lebih 600 kilometer. Kondisi jalan jelek seperti sekarang, perjalanan butuh waktu dua hari baru tiba di Putussibau, selanjutnya disambung dengan speed boat selama tiga hari baru sampai Tanjung Lokang.
Wajar kalau selama ini percurian kayu dengan menggunakan alat berat oleh warga Malaysia berjalan mulus, karena memang luput dari pantauan, baik aparat maupun masyarakat kita.
Pembangunan helipad itu sudah melanggar kesepakatan Indonesia-Malaysia yang tertuang dalam General Border Communittee (GBC) pada tahun 1971.
GBC Indonesia-Malaysia itu merupakan forum kerjasama perbatasan antara pemerintahan kedua negara. Di Indonesia, perwakilan di forum itu diketuai oleh panglima TNI. Kini jabatan ketua dipegang oleh Menteri Pertahanan RI, Juwono Sudarsono.
Forum ini sangat strategis, karena membahas isu dan permasalahan kedua negara yang meliputi masalah sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan.
Sejak awal ada kesepakatan dalam forum itu menyangkut aktivitas sipil dan militer dalam radius dua kilometer dari titik batas harus ada pemberitahuan kepada negara tetangga. “Sementara helipad di perhuluan Tanjung Lokang itu jaraknya hanya tujuh meter, itu sudah pelanggaran,” tegas Sekretaris Komisi A DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Zainuddin Isman di Pontianak, Selasa (10/6) lalu.
Malaysia sudah melanggar kesepakatan GBC, karenanya, pemerintah Indonesia harus minta penjelasan kepada Malaysia terkait pembangunan helipad tersebut. Apalagi itu sudah masuk radius atau zona aman dua kilometer bagi kedua negara.

Mencuri atau Perang
Aktivitas pencurian kayu secara besar-besaran di kawasan perbatasan terutama di wilayah dua taman nasional di Kapuas Hulu yakni Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) berjalan mulus, karena selain didukung alat berat milik Malaysia, juga ada patroli udara yang dilakukan para cukong.
Makanya keberadaan helipad itu sangat strategis dalam hal mendukung operasional pencurian kayu yang melibatkan sekaligus memanfaatkan masyarakat Indonesia di perbatasan sebagai pekerjanya.
Patroli udara dengan helikopter tersebut untuk mencari kayu-kayu yang masih lebat. Patroli juga dilakukan untuk memonitor keberadaan pasukan Indonesia baik TNI Angkatan Darat muapun Kepolisian dan Dinas Kehutanan yang tergabung dalam operasi illegal logging.
Besar kemungkinan setiap pratroli yang dilakukan aparat keamanan Indonesia hasilnya selalu nihil, karena mereka mempunya alat yang lebih canggih untuk mengetahui kapan pratroli itu dilakukan. Kemungkiann patroli sudah bocor juga ada.
Selain helipad, kini ada temuan pembangunan jalan ilegal sepanjang 33,5 kilometer di sektor barat TNBK. “Helipad itu sengaja dibangun oleh sendikat pembalakan liar yang dibiayai cukong kayu Malaysia,” dugaan Zainuddin.
Dengan dibangunnya jalan selanjutnya ada helipad, jelas untuk mendukung upaya pencurian kayu di Indonesia yang sudah berlangsung lama. “Kalau tidak untuk mendukung kegiatan illegal logging, maka besar kemungkinan Malaysia sudah siap bila sewaktu-waktu perang dengan Indonesia. Mereka sudah siap dengan pertahanan di perbatasan,” kata politisi asal Kapuas Hulu itu.
Dan itu erat kaitannya dengan Askar Wataniah yang sempat menegangkan hubungan Indonesia-Malaysia beberapa waktu lalu. Soal Askar Wataniah atau angkatan yang mensenjatai rakyat sebagai pasukan bela negara itu bukan isapan jempol belaka. Itu benar adanya.
Bahkan saat heboh-hebohnya pemberitaan seputar Askar Wataniah, ada pengakuan salah seorang warga di Kabupaten Sintang, bahwa dirinya pernah tiga tahun menjadi Askar di Malaysia yang ditugaskan di kawasan perkebunan kepala sawit di perbatasan.
Malaysia selama empat bulan terakhir tercatat telah tiga kali melakukan pelanggaran wilayah udara di Kalbar yang berbatasan dengan Sarawak.
Panglima Kodam VI/Tanjungpura, Mayjend TNI Tono Suratman dalam Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di Rektorat Universitas Tanjungpura di Pontianak, Sabtu (17/5) bulan lalu mengatakan, pelanggaran tersebut terjadi bulan Maret 2008 dalam tiga hari berturut-turut.
Pelanggaran pertama tanggal 6 Maret 2008 sekitar pukul 15.00 WIB. Anggota Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Gun Tembawang Batalyon Infanteri (Yonif) 641/Bru di Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau melihat sebuah helikopter jenis Bolco warna putih dan biru dengan senapan mesin (RPD) yang diperkirakan milik Polis Diraja Malaysia (PDRM) dengan penumpang empat orang melintas dari arah Barat ke Timur. Jarak terbang sekitar 150 meter dari Pos Pamtas Gun Tembawang.
Kemudian, pelanggaran kedua terjadi tanggal 7 Maret sekitar pukul 15.00 WIB. Helikopter yang sama melintas dari Selatan ke Utara tepat di atas Pos Pamtas Gun Tembawang dan mendarat di Kampung Gun Sapit, Padawan, Sarawak.
Pelanggaran ketiga terjadi tanggal 8 Maret 2008 sekitar pukul 10.55 WIB. Diduga helikopter yang sama melintas kembali dari Barat Daya ke Utara memutar dua kali.
Panjang perbatasan darat antara Indonesia - Malaysia mencapai 2.004 kilometer, terdiri dari Kalbar 857 kilometer dan Kaltim 1.147 kilometer.
Terdapat 5.784 patok batas di sepanjang perbatasan darat Kalbar - Malaysia. Namun, yang sudah dipatroli baru sebanyak 3.087 patok. "Sisanya belum," kata Tono Suratman.
Sebanyak 349 patok dinyatakan hilang, 53 rusak, empat patok patah dan dua patok tertimbun. Penyebabnya terutama faktor manusia seperti pencurian kayu menggunakan alat berat dan pengaruh alam akibat tanah longsor

Heart of Borneo
Pembangunan helipad hasil temuan patroli Polisi Kehutanan (Polhut) di kawasan TNBK, April lalu itu merupakan pukulan telak bagi pertahanan keamanan NKRI. Selain melanggar forum GBC, juga melanggar kesepakatan perjanjian sosial ekonomi Malaysia Indonesia (Sosek Malindo) tahun 1967.
Perjanjian Sosek Malindo itu sudah jelas tidak diperkenankan melakukan kegiatan sejauh dua kilometer dari patok batas kedua wilayah negara.
“Selain melanggar dua perjanjian itu, kita juta patut pertanyakan komitmen Malaysia terhadap kesepakatan Heart of Borneo (HoB) beberapa waktu lalu,” kata Kepala Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Khusus Perbatasan (BP2KKP) Kalimantan Barat, Nyoman Sudana.
HoB adalah forum yang beranggotakan Indonesia, Malayia dan Brunai Darussalam. Forum ini bersepakat menjaga kelestarian hutan di Kalimantan (Borneo).
Pertemuan yang digelar di Pontianak pada April lalu itu, untuk menindaklanjuti kesepakatan tentang sebuah kawasan konservasi seluas 22 juta hektar di tiga negara di Pulau Borneo. Penandatanganan kesepakatan dilakukan 12 Pebruari 2007 oleh Menteri Perindustrian dan Sumberdaya Utama Brunei Darussalam, Menteri Kehutanan RI dan Menteri Sumberdaya Alam dan Lingkungan Malaysia.
Letak HoB di kawasan pegunungan di "pusat" Borneo serta fungsinya yang amat penting mengidentikannya sebagai jantungnya Borneo. Terdapat 20 daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi sumber kehidupan di Borneo, dan 14 diantaranya berada di kawasan HoB.
"HoB menjadi sumber mata air bagi 14 DAS. Dapat dibayangkan kalau kawasan itu rusak," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Barat, Fathan A Rasyid.
Bila HoB rusak, maka ada sekitar 20 juta penduduk di Pulau Borneo ini akan terganggu. Sebab HoB tidak lagi mampu menjadi sumber air. Hal ini bakal terjadi jika laju kerusakan hutan di Borneo semakin tinggi, terutama di wilayah Indonesia.
Sebagian besar wilayah yang ditetapkan sebagai HoB memang berada di Indonesia, negara yang sempat diusulkan tercatat dalam rekor dunia karena laju kerusakan hutan begitu cepat.
Di Kalimantan Barat, terdapat empat juta hektar lahan yang masuk kesepakatan HoB. Terletak di tiga kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Melawi dan Sintang. Ketiganya terletak di hulu Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia serta menjadi urat nadi kehidupan dan perekonomian masyarakat Kalimantan Barat.
Kata Fathan, siklus hidrologi saat ini sudah semakin singkat karena perubahan lingkungan. Sungai Kapuas salah satu contohnya. Lima tahun silam, intrusi air asin hanya mampu "menembus" beberapa kilometer setelah melewati Kota Pontianak. "Tetapi sekarang, intrusi air asin itu sudah mencapai Desa Korek, Kecamatan Ambawang, yang jaraknya belasan kilometer melalui Sungai Ambawang, pecahan Sungai Landak yang menginduk ke Sungai Kapuas," jelasnya.
Semakin berkurangnya hutan di hulu juga menyebabkan sedimentasi cepat terjadi di alur sungai. Dana pengerukan pun terus meningkat setiap tahunnya.
Kalau memang benar Malaysia membangun helipad untuk kepentingan mencuri kayu di perbatasan lewat tangan-tangan warga Negara Indonesia yang selama ini memang mengantungkan hidupnya dari kayu, maka perjanjian HoB itu hanya akal-akalan Malaysia untuk selalu menjatuhkan pamor Indonesia di dunia internasional. Harapan kita, semoga saja itu tidak terjadi dan kesepakatan tentang HoB benar-benar dilaksanakan. Yang enak, jelas masyarakat di negara kawasan maupun dunia internasional.□Foto by Jessica Waysang/Borneo Tribune.

2 komentar:

Daily Love said...

Salam kenal, Mas Tanto. Saya tertarik isu ini. Menurut Mas, isu ini lebih condong ke arah pembalakan liar, atau pelanggaran perjanjian perbatasan Malaysia? Deplu bantah ada perjanjian Malindo 1971 atau 1967, karena GBC baru ada tahun 1972. Perjanjian tahun 1970 pun tidak mengatur perbatasan darat, tapi laut, dan perdagangan lintas perbatasan.
Sementara kalau ke arah pembalakan liar, tampaknya lebih mahal kalau mengangkut kayu melintasi perbatasan pakai helikopter.

Tanto Yakobus said...

Mbak Larasati, saya tidak berani mengambil kesimpulan, maka dalam tulisan itu saya mengajak kita anak bangsa ini membuat kesimpulan masing-masing sesuai fakta yang sering memicu ketegangan Indonesia-Malaysia selama ini. Makanya saya hanya bisa mengatakan patut mencurigai pembangunan helipad itu. Tapi yang jelas mereka bukan menggunakan helikopter mengangkut kayu, tapi helikopter bisa dipakai untuk mengintai kayu yang bisa diamblil di wilayah hutan kita. Sebab jalan tembus ke Malaysia bukan hanya satu, ada puluhan jalan yang bisa dilewati alat berat. Dan itu bisa dibuktikan sepanjang berbatasan mulai dari Badau di Kabupaten Kapuas Hulu hingga ke Aruk di Kabupaten Sambas.