BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Tuesday, June 17, 2008

Saya adalah ‘Nabi Palsu’ bagi ‘Diri Sendiri’


Oleh Liong Vincent Christian

Tempat diskusi tulisan ini:
http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/3748
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/24349
http://forum.gilaupload.com/viewtopic.php?f=105&t=7641
(balasan tulisan harap di-cc ke email: vincentliong@yahoo.co.nz )


Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.

Mat 7:15-23 - “(15) ‘Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. (16) Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? (17) Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. (18) Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik.
(19) Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (20) Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. (21) Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga. (22) Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mujizat demi namaMu juga? (23) Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!’”.

LATARBELAKANG
Pada bulan Juni tahun 2004, melalui tulisan “Berbeda, tetapi Bukan Anak "Aneh” (Koran Kompas : Minggu, 27 Juni 2004 Rubrik: Keluarga) saya dilabelkan sebagai anak Indigo. Anak Indigo adalah sebagian dari mereka lahir di periode tahun 1980-an dan memiliki aura berwarna nila dengan ciri-ciri kemampuan spiritual bawaan dan sikap
non-kompromistis terhadap segala sesuatu yang dinilainya bersifat pemaksaan.

Pelabelan Indigo terhadap diri saya membuat saya mengambil sikap bermusuhan dengan sebagian dari pihak yang berlabelkan psikologi karena dengan dilabelkan indigo saya terancam kehilangan hak-hak asasi manusia yang paling dasar yang saya miliki diantaranya; Hak untuk hidup, Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama (keadilan), Hak atas harta benda yang saya miliki, dlsb.
Sebelum dilabel indigo saya tidak pernah peduli atau berurusan dengan organisasi Psikologi. Ada tiga macam manusia di dunia ini; * Manusia pemaaf yang baik bagi orang lain. * Manusia pendendam yang selalu bertindak berdasarkan sebab-akibat (tanpa sebab maka tidak ada akibat). * Dan manusia pemain game virtual, yang menganggap hidup ini hanyalah permainan, dimana ada banyak pemain yang bisa menang atau kalah, bertarung dengan darah dingin, tidak ada sebab-akibat; permainan bisa dimulai kapan saja atau diakhiri dengan menekan tombol reset, manusia jenis ini tidak bisa membedakan mana game virtual dan mana dunia nyata, semua hanyalah game yang dianggap tidak memiliki konsekwensi nyata ke kehidupan sehari-hari.

Setelah dilabel Indigo, saya harus menghadapi beberapa orang-orang lulusan psikologi yang memiliki mentalitas “pemain game virtual” yang memperlakukan saya dan keluarga saya sebagai sebagai sebuah object buruan (binatang buruan) yang harus dipermainkan dan dibasmi untuk mendapatkan kesenangan emosional. Diantara sekian ribu lulusan psikologi di Indonesia, memang hanya sepuluh sampai dua puluh orang yang memiliki kelainan kejiwaan “pemain game virtual” semacam ini yang beberapa diantaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keorganisasian Psikologi di Indonesia.
Seorang pemain game virtual bisa memilih siapa saja orang yang tidak dia kenal yang ditemuinya di jalan untuk dipilih menjadi object penderita sebuah permainan buruan. Ketika saya mendapat label Indigo, maka ada alasan untuk melegalisasi bahwa saya boleh secara sah dijadikan object buruan para “gamer” ini.

Sejak dilabelkan indigo hingga sekarang, saya dan keluarga harus menerima saja untuk mengalami mulai dari teror keluarga bertahun-tahun (satu macam teror per minggu, non stop setiap hari tanpa liburan), pencurian uang hingga mencapai lebih dari delapan puluh juta rupiah dan berbagai rencana pembunuhan yang dijadikan sah dalam hukum psikologi ala virtual gamer, sebagai usaha penyembuhan karena saya dilabel indigo. Alasan mereka; karena Vincent Liong diasumsikan sakit indigo dan di masa yang akan datang akan merugikan banyak orang, maka diberi positive reinforcement, lalu gagal maka diberi negative reinforcement (dirugikan semaksimal mungkin termasuk dibunuh dengan cara apapun tanpa ada batasannya).
Beberapa oknum psikolog ini membutuhkan saya sebagai object buruan untuk seimbangkan hidup mereka yang berusaha sangat waras dalam membantu menyelesaikan permasalahan klien-klien mereka.

Sampai hari ini saya belum sekalipun membalas tindakan kriminal atas nama penerapan ilmu penyembuhan psikologis yang dilakukan oleh sebagian kecil psikolog yang berpenyakit “gamer” ini, buat saya setidaknya saya tidak turut gila seperti kawanan kriminal mereka ini. Setidaknya asumsi yang mereka jadikan alasan untuk menjadikan saya hewan buruan; bahwa diasumsikan di masa yang akan datang saya akan banyak melakukan tindakan kelainan psikologis yang akan merugikan masyarakat, dan hingga kini tidak terbukti, sementara mereka telah melanggar hampir semua doktrin kewarasan psikologi mereka sendiri demi membasmi saya dan keluarga.

ROMANTISME DAN EKSISTENSIALISME
Pengalaman saya sekian tahun, banyak waktu saya terkooptasi dengan permasalahan ini; saya menemukan bahwa permasalahannya tidak serumit yang saya kira sebelumnya. Dalam filsafat ada dua sudutpandang pemikiran besar; romantisme dan eksistensialisme.

Penganut romantisme beranggapan bahwa seorang individu manusia adalah bagian dari system masyarakat. Sehingga manusia seharusnya mengikuti norma (kenormalan) yang berlaku di masyarakat kebanyakan. Bilamana manusia itu tidak mengikuti yang berlaku di manusia kebanyakan maka dianggap tidak normal dan harus diobati agar sembuh; kembali ke jalan yang benar.

Penganut eksistensialisme beranggapan bahwa seorang individu manusia berhadapan dengan apa yang ada di dalam dirinya sendiri dan yang di luar dirinya sendiri (lingkungan, masyarakat, dlsb). Seorang manusia harus beradaptasi dengan cara bernegosiasi dengan hal-hal di luar dirinya agar mampu tetap bertahan hidup.

Dalam kenyataannya baik penganut romantisme maupun eksistensialisme sama-sama berusaha dan mampu berhubungan dengan masyarakat meskipun cara mengartikannya berbeda; Penganut romantisme berusaha mengikuti apa yang dilakukan masyarakat umum yang dianggap benar sehingga tetap mampu bertahan hidup. Penganut eksistensialisme tetap bernegosiasi dirinya sendiri untuk dapat dapat beradaptasi dalam masyarakat umum. Pada akhirnya keduanya sama-sama dapat diterima oleh masyarakat umum.

Permasalahannya, penganut romantisme menganggap bahwa tidak mungkin seorang penganut eksistensialisme bisa diterima oleh masyarakat umum karena penganut eksistensialisme memposisikan dirinya tidak sebagai bagian dari masyarakat, tidak menganggap mengikuti kenormalan masyarakat sebagai keharusan, melainkan sebagai pilihan untuk dinegosiasikan demi tetap bertahan hidup. Penganut romantisme beranggapan bahwa sudah hampir pasti seorang eksistensialis tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat umum, sehingga harus diobati atau dibasmi.

Sama seperti dalam permasalahan kelompok Psikologi dan Anak Indigo; bahwa Psikologi sebagai polisi ‘superego’(norma-norma masyarakat, hukum, dan adat), sudah berasumsi memastikan sejak awal bahwa anak indigo tidak akan mampu beradaptasi sehingga perlu dididik, disembuhkan dan ‘diberi pelajaran’. Menurut pengalaman saya pribadi, anak-anak yang dilabelkan indigo tidak lebih dari anak-anak biasa yang terbentuk dengan kepribadian sebagai penganut sudutpandang eksistensialis dengan tingkat superego yang agak rendah; sehingga mereka memposisikan diri tidak sebagai bagian masyarakat, melainkan ‘berhadapan dengan masyarakat’ (diri sendiri dan di luar diri sendiri).

Selama sekian tahun, banyak waktu saya terkooptasi dengan permasalahan ini saya telah mencoba untuk mencari titik temu antara penganut romantisme dan ksistensialisme ; antara manusia normal dan manusia indigo. Mungkin bisa ditemukan jalan keluar agar tidak ada lagi perbedaan antara keduanya sehingga tidak perlu lagi ada anak-anak indigo yang bernasib sama seperti yang saya alami. Untuk itu saya harus mencari persamaan antara keduanya yang telah saya lakukan sekian tahun ini dengan penelitian yang saya namai ilmu kompatiologi.

FEEL, JUDGEMENT & GENERALISASI
Sampai hari ini dalam penelitian kompatiologi saya menemukan bahwa informasi/data yang diterima manusia diproses dalam tiga tahap yang saya namai dengan; Feel, Judgement dan Generalisasi. Saya mencoba menceritakan tiga tahap ini dalam analogi kegiatan meminum minuman.

Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa rasa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (feel/data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Tiap orang yang minum dan memberikan pendapatnya tentang rasa minuman (Judgement) hanya mendapatkan satu sudutpandang diantara sekian banyak sudutpandang, yang bila dikumpulkan, akan tetap sulit memberikan kebenaran yang mendekati 100% perihal rasa minuman tersebut (Generalisasi). Sebaliknya, bilamana ditentukan satu sudutpandang yang dianggap
benar; maka masing-masing orang yang berusaha mengerti kebenaran
tentang rasa minuman tersebut akan menemukan imajinasi, perkiraan tentang
minuman tersebut yang berbeda-beda, yang tidak sama dengan minuman
tersebut.
(Dikutip dari e-book; Kompatiologi logika komunikasi empati / I.
Sejarah kompatiologi / Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan
Kata-Kata)

* Feel (data mentah) adalah tahap ketika si manusia mengalami suatu
informasi/data secara utuh, alami, apa adanya dan belum diberi pendapat,
komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti.

* Judgement adalah tahap ketika suatu informasi/data diberi pendapat,
komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti sehingga membatasi
penjelasan/nilai/arti mengenai data tersebut dalam satu versi sudutpandang
saja.

* Generalisasi adalah tahap ketika kumpulan Judgement dari sudutpandang
yang berbeda-beda dikumpulkan untuk mendapatkan satu logika yang utuh
dalam mengimajinasikan bentuk informasi/data yang diharapkan mendekati
100% kelengkapannya.


Penganut romantisme yang memposisikan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat umum berusaha mengikuti informasi/data yang telah berbentuk
“pemikiran” yang telah ada di masyarakat umum yang berbentuk
“Judgement” dan “Generalisasi”. Karena menganggap bahwa diri sendiri
adalah bagian dari masyarakat umum maka pengalaman individual yang berbentuk
Feel(data mentah) diabaikan.

Penganut eksistensialisme yang memposisikan dirinya berhadapan dengan
hal-hal di luar dirinya (di dalam diri berhadapan dengan di luar diri /
lingkungan, masyarakat, dlsb) mengalami pemerosesan informasi/data
dimulai dari tahap; Feel(data mentah), Judgement dan Generalisasi secara
lengkap seperti yang saya analogikan dalam kegiatan meminum minuman yang
saya telah ceritakan sebelumnya.



SAYA ADALAH NABI PALSU BAGI DIRI SENDIRI

Berdasarkan pengamatan saya terhadap subject penelitian kompatiologi
yang telah mengikuti dekon-kompatiologi antara 6 bulan hingga 12 bulan,
saya menemukan suatu fenomena yang menarik berkaitan dengan perbedaan
proses yang dialami penganut romantisme dan eksistensialisme.

Proses yang dialami penganut romantisme diawali dengan pengumpulan
Judgement (sudutpandang yang verbal) dari berbagai pihak berbeda, hingga
membentuk Generalisasi (logika yang menyeluruh dalam pikiran/imajinasi).
Untuk semakin mengerti secara mendalam tentang suatu bidang kegiatan
diperlukan membaca dan mendengarkan sebanyak mungkin macam-macam teori
hingga semakin hari didapatkan kerangka logika yang semakin utuh. Proses
belajar lebih dipengaruhi oleh kegiatan membaca dan mendengarkan
penjelasan pihak lain dibandingkan pengalaman sendiri. Kurangnya kegiatan
membaca dan mendengarkan berakibat kurangnya pengetahuan.

Proses yang dialami penganut eksistensialisme diawali dengan mengalami
pengalaman (informasi/data secara utuh, alami, apa adanya) dan belum
diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti.
Seperti misalnya kalau kita meminum segelas minuman dan belum berpendapat
atas minuman tsb. Tentunya pengalaman yang dialami akan bisa di-Judgement
atau tidak. ‘Pendapat atas suatu pengalaman’ (Judgement) bisa
berubah dari waktu-ke waktu. Seperti misalnya kalau kita berkali-kali
meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan
‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung
situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa
memiliki bermacam-macam Judgement. Sebuah sample pengalaman bisa
dibandingkan dengan variasi pengalaman sejenis yang berbeda-beda
range(jangkauan) dan pembandingnya. Banyak variasi Judgement yang muncul yang
membuat pertumbuhan jangkauan kerangka logika
Generalisasi yang dipahami oleh orang tersebut. Kecepatan pertumbuhan
pemahaman ini berbeda-beda tergantung apakah orang tsb berpikir apa
adanya dari pengalaman data mentah diri sendiri, atau sudah terpengaruh
oleh berbagai Judgement dan Generalisasi dari orang lain.

Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan
mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman
sehari-hari yang tampak sangat sepele. Fenomena menarik yang sering tampak
pada mantan peserta dekon-kompatiologi yang tidak pernah membaca
buku-buku filsafat dan psikologi; tiba-tiba saja bisa
‘ber-nubuat’(menceritakan ide-idenya yang original) dalam bidang filsafat atau psikologi,
yang kalau diurutkan maka akan tampak mirip urutannya dengan urutan
daftar isi sejarah filsafat barat atau buku sejarah teori-teori psikologi,
dari paling awal hingga paling akhir. Satu-satunya kekurangannya,
mereka yang bernubuat ini samasekali tidak tahu nama tokoh-tokoh filsafat
dan psikologi yang berhubungan dengan ide-ide yang mereka ceritakan,
kadang-kadang mereka bersikap sok tahu seolah-olah ide itu temuan mereka
sendiri.

Saya jadi bertanya; Apakah memang Pencipta sudah membuat ‘blue
print’ yang standard dalam setiap manusia tentang ilmupengetahuan seperti
misalnya psikologi dan filsafat. Jadi kalau manusia itu bisa mendapat
kesempatan yang sama untuk memulai pemerosesan informasi/data-nya; mulai
dari Feel(data mentah), berbagai variasi Judgement yang terus bertambah
seiring perjalanan waktu yang membentuk Generalisasi, bangunan logika
yang semakin hari semakin lengkap dan utuh; Tentunya manusia itu akan
mampu menceritakan perjalananan belajarnya yang seumur hidup dari awal
hingga akhir yang hanya berbeda bahasa penceritaannya, contoh pengalaman
dan sampai dimana dia seorang pencerita yang baik, isinya sama saja.

Masing-masing teori filsafat diwakili oleh nama seorang filsuf yang
berkutat di satu tahap proses berteori saja, mungkin karena mereka terlalu
sibuk mengikatkan diri pada satu teori saja, sehingga perlu sekian
banyak orang hingga buku filsafat menjadi lengkap.



PENUTUP

Saya percaya bahwa;

Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk
orang yang ber-nubuat.) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan
diri dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui
bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa
yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.

Ketika hari ini datang seseorang mengaku sebagai Nabi Asli, merasa
lebih pintar, lebih mengerti, lebih tinggi di hadapan Pencipta dan berusaha
mengarahkan orang lain, meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan
bernubuat bagi orang lain;

Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak
manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri;
Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak
untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain.

Tulisan ini ditulis bagi yang penganut agama-agama ‘samawi’
(Pencipta yang memilih manusia untuk menjadi umatnya). Seperti sejak manusia
pertama diciptakan Allah;

Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon
dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya,
sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. (Kejadian 2:
16-17)

Sejak Allah menciptakan manusia pertama yaitu; Adam dan Hawa, free
choice telah diberikan. Adam dan Hawa telah memiliki pilihan untuk memakan
buah yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Karena Allah maha
pengasih maka berjuta-juta pohon di taman itu boleh dimakan, tetapi
hanya satu pohon saja yang tidak boleh dimakan.


Ttd,
Vincent Liong / Liong Vincent Christian
(Founder of Kompatiologi)
Jakarta, Senin, 16 Juni 2008

0 komentar: