BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, May 26, 2008

Dua Naga Meliuk di Pembukaan Pekan Gawai Dayak



DUA Nara raksasa meliuk-liuk di acara pembukaan Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Selasa (20/5) lalu. Kehadiran dua naga sepanjang kurang lebih 500 meter tersebut menambah semarak acara Display Budaya Dayak yang dilepas Walikota Pontianak, H Buchary A Rahman.

Dispay budaya yang berbentuk karnaval keliling Kota Pontianak tersebut diikuti 36 sanggar yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) Kalimantan Barat. Selain sanggar kesenian Dayak, juga tampil berbagai budaya dari beragam etnis yang ada di Pontianak, seperti Melayu, Tionghoa, Bugis, Madura, Batak, Manado dan lain-lain.
“Kota Pontianak memang unik, karena dihuni oleh berbagai etnis dan budaya yang ada di nusantara ini. Keragaman itu justru membuat indahnya kesatuan dan kesatuan suku bangsanya yang membentuk Indonesia ini,” papar Gubernur Kalbar, Drs. Cornelis, MH saat memberikan sambutan pembukaan Pekan Gawai Dayak.
Pekan Gawai Dayak kali ini adalah yang ke-22 kalinya. Gawai ini merupakan repleksi ungkapan syukur masyarakat Dayak usai panen padi. Sebagai ungkapan terima kasih atas panen yang melimpah, masyarakat Dayak menggelar gawai sekaligus mengucap syukur kepada Tuhan atau dalam bahasa Dayaknya, Jubata, Penompa atau Petara.
Selaim mempersembahkan doa agar diberi kemudahan pada tahun berikutnya, juga dalam pesta gawai disuguh atau dihidangkan juga berbagai hasil panen mulai dari padi, jagung, dan sayur-sayuran termasuk buah-buahan.
Selain ungkapan syukur, makna gawai juga sebagai pemisah tahun padi bagi masyarakat Dayak. Biasanya, usai gawai ada waktu jeda dua atau tiga pekan. Setelah itu masyarakat Dayak kembali membuka lahan untuk berladang kembali.
Bila belum dilaksanakan gawai, masyarakat Dayak tidak diperkenankan membuka lahan atau menebas, sebab Tuhan atau Jubata akan murka karena manusia belum berterima kasih atas kemurahan Jubata atau Tuhan yang telah memberikan panen melimpah kepada manusia.
Namun di Kalimantan umumnya dan Kalbar khususnya, pesta panen padi atau gawai ini tidak serentak waktunya. Bahkan lamanya bisa berbulan-bulan. Untuk menyingkatkan waktu gawai tersebut, para tokoh masyarakat Dayak menyepakati membuat waktu gawai itu tetapkan setiap tanggal 20 Mei setiap tahunnya. Namun sebagai pedoman, bulan Mei adalah bulan gawai bagi masyarakat Dayak. Karena pada bulan Mei juga merupakan pemisahan tahun padi.

Anti Diskriminasi Budaya
Gawai Dayak tahun ini sangat bermakna bagi masyarakat Tionghao di Pontianak. Betapa tidak? Dalam merayakan Imlek dan Cap Go Meh 2559 yang jatuh tepat tanggal 7 Februari 2008 lalu, masyarakat Tionghoa khususnya di Pontianak tidak bisa merayakan imlek dengan menampilkan budaya leluhur mereka.
Lazimnya, setiap Imlek masyarakat Tionghoa selalu menampilkan budaya leluhur mereka dengan memainkan naga dan barongsai. Selain itu juga ada permainan petasan. Namun petasan dianggap barang berbahaya dan terganjal UU tentang bahan peledak.
Tapi soal budaya, walau sudah dijamin oleh UUD 1945, namun masih bisa dilarang lewat sebuah surat keputusan (SK) Walikota Pontianak.
Entah karena tekanan kelompok tertentu atau memang demi ketertiban dan kelancaran lalu lintas di Kota Pontianak, SK No. 127 Tahun 2008 tentang jual beli, pemasangan petasan dan pelaksanaan arakan naga, barongsai dalam wilayah Kota Pontianak, sungguh menyakitkan bagi warga Tionghoa.
Banyak kalangan mengecam SK tersebut. Selain sangat diskriminasi juga bertentangan dengan UUD 1945. Padahal sekarang sudah keluar UU anti diskriminasi terhadap salah satu suku bangsa yang ada di negeri ini.
Ada pula pihak-pihak yang menilai SK tersebut keluar kental nuansa politiknya, dimana dalam Pilkada Kalbar 15 November 2007 lalu, Melayu tidak berdaya melawan kekuatan koalisi Dayak dan Tionghoa sehingga tampillah Drs. Cornelis, MH dan Drs. Christiandy Sanyaja, SE, MM sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar.
Namun terlepas dari itu semua, event tahunan Pekan Gawai Dayak 2008 ini sungguh berarti bagi masyarakat Tionghoa. Berbulan-bulan mereka mempersiapkan membikin naga, namun pada saat perarakannya di hari Imlek justru dilarang dengan sebuah SK walikota. Tidak ada memang korban materi dari pelarang tersebut, tapi kita sudah kehilangan budaya yang diwariskan nenek moyang ratusan tahun silam.
Maka tak heran Display budaya Dayak yang dimulai sejak pukul 13.00 WIB itu berlangsung hingga pukul 17.00. Kota Pontianak macet total. Masyarakat semua tumpah ruah ke jalan, pun demikian dengan warga Tionghoa yang memang mayoritas di pusat Kota Pontianak, mereka menyeruak keluar rumah menyaksikan dua naga dan tentu saja Budaya Dayak yang rutin melintasi jalan-jalan protokol setiap tahunnya itu. Sungguh pemandangan yang mengasyikan dan memberi nilai dan pelajaran tersendiri bahwa budaya itu kaya dengan keindahan dan keharmonisan di dalamnya.
Semoga tidak ada lagi diskirminasi terhadap budaya-budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Kota Pontianak. Semoga.□Tanto Yakobus

0 komentar: