BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Sunday, April 6, 2008

Kejahatan Kemanusiaan


Oleh Tanto Yakobus


ADA yang menarik dalam diskusi dengan ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, yang berlangsung di kantor Redaksi Borneo Tribune, Sabtu (5/4) akhir pekan kemarin.

Dalam diskusi mengenai ekonomi global Indonesia itu, yang menarik bagi saya bukannya ulasan Faisal soal ekonomi makro Indonesia yang masih tidak menentu, tapi soal kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah pusat (Jakarta) terhadap kekayaan daerah di seluruh Indonesia.
Menurut Faisal, Indonesia ini memang negara yang tidak adil. Segala kekayaan yang berupa sumber daya alam mulai dari kayu hingga isi perut bumi yang berupa bahan tambang dan minyak bumi, semua dikerok untuk membangun Jawa.
“Semua kekayaan atau potensi itu diangkut untuk menumpuk pembangunan di Jawa (Jakarta) dan hasilnya pun orang di Jawa yang menikmatinya. Karena memang disana manusianya menumpuk,” ulas Faisal.
Dalam kasus seperti ini, pemerintah sudah melakukan dua kali kejahatan kemanusiaan, sudahlah kekayaan daerah dikerok dan diangkut ke Jakarta, yang menikmatinya juga orang-orang yang ada di sana. Sementara daerah hanya kebagian 10 persen dari bentuk pengembalian pajak.
Itulah yang menyebabkan ketimpangan pembangunan pusat dan daerah. “Kan Kasihan daerah yang memiliki banyak sumber daya alam, sementara dia miskin dalam pembangunan, termasuk manusianya juga miskin—ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi, itulah kira-kira,” kata mantan Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) di era Amien Rais itu.
Kejahatan lainnya, kata Faisal, selain pemerintah yang melakukan pengerokan kekayaaan daerah termasuk punggutan berupa pajak yang harus disetor ke Jakarta, juga para pengusaha. Puluhan bahkan ratusan perusahaan besar yang beroperasi di daerah, mereka melakukan eksploitasi sumber daya alam apakah bentuk HPH, tambang, perkebunan mulai dari skala kecil hingga besar. Mereka semua berkantor pusat di Jakarta.
Kondisi seperti ini secara otomatis mereka juga turut mengangkut kekayaan daerah dan menumpuknya di Jakarta pula. Maka tak heranlah, infrastruktur di daerah sulitnya bukan main, jembatan hanya bisa dihitung sebelas jari. Sedangkan di Jakarta jembatan layang silang menyilang.
“Mereka berkerja di daerah, tapi membayar pajak di Jakarta. Celakanya mereka pula yang menikmati subsidi bahan bakar minyak oleh pemerintah itu. Coba berapa banyak pimpinan atau karyawan perusahaan yang menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Lalu bandingkan dengan mayarakat, berapa yang menggunakan kendaraan tadi? Lalu siapa sebenarnya yang menikmati subsidi itu,” kata Faisal lagi.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu mengalir tanpa batas. Walau Faisal seorang ekonom, tapi dia tidak alergi mendiskusikan persoalan politik. Menurutnya, dari berbagai survei yang dilakukan berbagai lembaga independen, untuk pemilu presiden 2009, belum ada tokoh yang sanggup menandingi popularitas SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Megawati, Jusuf Kalla masih jauh di bawah.
Jawaban masyarakat atas survei tersebut, dalam bidang politik dan demokrasi, masyarakat yang merasakan sudah berjalan dengan baik. Demikian juga dengan masalah keamanan, masyarakat merasa Indonesia sudah jauh lebih baik dan aman hidup di Indonesia.
Pun demikian soal penengakan hukum dan pemberantasan korupsi, semua sudah berjalan walau belum sepenuhnya dilakukan. SBY tidak ada masalah dengan keamanan, demokrasi dan pemberantasan korupsi. Cuma yang menjadi kelemahan SBY hanyalah masalah ekonomi. “Bila SBY ingin terpilih lagi, tidak ada jalan lain, dia harus membenahi masalah ekonomi ini,” tegas Faisal.
Faisal Basri juga melihat fenomena lain yang dihadapi Indonesia saat ini. Sebetulnya yang merasakan kesulitan ekonomi sekarang ini adalah masyarakat di perkotaan terutama di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Sebab di sana terjadi penumpukkan manusia dan disana pulalah terjadi penumpukan kemiskinan.
Dengan harga barang yang naik, daya beli masyarakat jadi rendah. Sebetulnya itu tidak terjadi di daerah terutama di daerah pedalaman yang memiliki mata pencaharian seperti petani karet, kakao, lada dan sebagainya.
Ambil contoh karet saja kata Faisal, di Medan saya bertemu dengan petani karet, harganya mencapai Rp10 ribu perkilogramnya, sedangkan beras kualitas terbaik harganya masih dibawah harga karet tersebut, berkisar antara Rp7-8 ribu perkilogramnya.
Apalagi harga kakao, lada dan komoditas lainnya. Fenomena ini menunjukkan yang merasakan kesulitan ekonomi hanya mereka yang tinggal di perkotaan yang tidak punya pekerjaan alias pengangguran. Sedangkan bagi petani, kondisi sekarang ini justru menguntungkan mereka, ulas Faisal.□

2 komentar:

Kristina Dian Safitry said...

waduh kasihan orang jawa kalo mereka dianggap yg menikmati segalanya itu. lha wong orang jawa sendiri itu lho banyak yg gak memiliki lahan pekerjaan meski kelihatanya segalanya berlimpah. buktinya yg bermigrasi semakin banyak. barangkali setengah dari jumblah penduduk tanah jawa.

Tanto Yakobus said...

halo kristina,
memang benar apa yang kamu katakan itu, tapi tulisanku itu bukan pendapat pribadiku, tapi ulasan dari bang faisal basri.
kan dia sendiri yang melihat dan merasakan. dia ngaku kok turut menikmati kekayaan daerah-daerah di luar pulau jawa yang diangkut baik oleh pemerintah lewat pajak maupun dibawa oleh para pengusaha. toh faktanya seperti itu kok.
salam,