BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Thursday, March 6, 2008

Untuk Kita Renungkan


PERTENGAHAN Februari lalu saya tak sengaja jumpa teman dari Jakarta. Dia datang ke Pontianak karena ada urusan bisnisnya. Namun dalam perjumpaan singkat itu ada ucapannya yang mengelitik saya sebagai orang Dayak. Jujur saya kaget sekali ketika dia mengatakan, bangsa Dayak adalah bangsa pertama cikal bakal membentuk Indonesia.
Lalu saya tanya, apa pasal? Trus teman saya itu mengatakan, apa kamu lupa kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur yang sudah berkembang pada abad ke 4 Masehi.


Nah, bangsa Dayak di Kalimantan (Indonesia) tidak ada bedanya dengan bangsa Aborigin di Australia. Bila bangsa Aborigin kalah dengan bangsa pendatang dari Eropa sehingga dia terbelakang bahkan terancam punah, maka bangsa Dayak kalah dalam hal pendidikan, ekonomi dan budaya dari bangsa-bangsa lain yang ada di Indonesia. Bahkan Dayak cenderung terbelakang dalam segala hal, bila dibanding dengan Melayu yang lebih modern.
Saya sebetulnya tidak peduli dengan meteri obrolan santai itu. Pikiranku kebetulan Perdana Menteri Australia yang baru, Kevin Rudd, minta maaf secara terbuka kepada bangsa Aborigin atas kasus pembersihan etnis Aborigin di Australia yang berlangsung ratusan tahun oleh bangsa kulit putih.
Memang langkah Kevin mencengangkan dunia. Belum pernah perdana menteri Australia sebelumnya yang berani minta maaf secara terbuka dan mengakui keberadaan kaum Aborigin. Baru Kevin inilah yang benar-benar membebaskan bangsa Aborigin dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi.
Padahal bangsa Aborigin itu adalah penduduk asli Australia, tapi mereka tidak pernah terlibat dalam pembangunan, pendidikan bahkan budaya. Mereka cenderung menjadi bangsa terasing di tanahnya sendiri. Mereka menjadi penonton pembangunan dan kemakmuran negara benua yang menjadi jajahan Inggris itu.
Sudah bertahun-tahun bangsa Aborigin memperjuangkan hak-haknya dan mengakuan sebagai penduduk asli Australia yang mempunyai hak dan kewajibannya sama dengan kulit putih. Tapi nyatanya, mereka tetap saja terasing di kampung sendiri. Dan baru Perdana Menteri Kevin inilah mereka bisa bernafas lega. Sebab apa yang mereka perjuangkan selama ini telah diakui pemerintah. Terutama soal hak asasi manusia Aborigin itu sendiri.
Nah kembali ke bangsa Dayak tadi, kalau dipikir-pikir secara logika, memang ada benarnya ucapan teman saya tadi. Keberadaan kerajaan Kutai itu jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara ini. Bahkan kerajaan terbesar Majapahit dan Sriwijaya muncul beberapa abad setelah Kutai.
Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman memang punya pengaruh yang besar di pulau Kalimantan (Borneo) pada masa itu. Tidak ada sejarah yang mengungkap suku bangsa apa yang membentuk kerajaan Kutai itu. Tapi sekali lagi secara logika, tentu penduduk asli Kalimantan yang tak lain adalah Dayak. Merekalah yang membentuk kerajaan Kutai yang kemudian terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan di Pulau Jawa, Sumatera dan lain sebagainya.
Soal perpecahan dan membentuk kerajaan-kerajaan kecil memang ada diceritakan dalam pelajaran sejarah kita di sekolah. Misalnya Kerajaan Majapahit, dengan Gajahmadanya, adalah kelanjutkan dari perpecahan kerajaan Kutai di Kaltim. Gajahmada sanggup menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan mempersatukannya dalam sumpah palapa—yang juga dikenal dengan Nusantara sekarang ini.
Memang tidak ada cerita mendetail soal keturunan atau kelanjutan kerajaan Kutai itu. Sebab dalam pelajaran sejarah kita hanya dikisahkan kulitnya saja, tidak mendetail. Maka tak heran pengetahuan kita pun terpotong-potong juga, seperti pengalan cerita sejarah dalam pelajaran di sekolah itu.
Termasuk saya sendiri, umur segini (kepala tiga) dengan pendidikan yang memadai pula, masih bisa terkaget-kaget dengan ocehan teman tadi. Memang ocehan itu patut untuk kita renungkan. Dan tentunya jangan dipertentangkan, tapi layak kita telusuri sebagai pelajaran di sekolah. Tentu ini menjadi tugas kalangan akademisi, termasuk para jurnalis untuk meneliti dan menulis ceritanya. Saya kita bila dikerjakan, hasilnya akan menarik bagi semua orang.

DISADARI atau tidak, belakangan orang mulai memperhitungan etnis. Itu juga tidak terlepas dari politik sektarian untuk meraih kekuasaan. Politisasi etnis atau agama tidak dapat dihindari dalam dunia perpolitikan di negara kita (Indonesia—Indopahit) ini.
Bukti konkrit, ketika ada pesta demokrasi tingkat lokal, apakah pemelu gubernur, bupati atau walikota. Orang mulai mempertimbangkan komposisi etnis yang menjadi penduduk daerah tertentu, apakah tingkap provinsi, kabupaten atau kota.
Para pelaku politik (Politisi) akan melihat kapasitas pribadinya, apakah akan didukung atau tidak dalam pertarungan meraih kekuasaan. Nah, akrab di kuping kita, mereka selalu mengatakan, bila maju, maka akan ada dukungan dari kelompak A, B dan C. Untuk kondisi Kalbar termasuk di daerah-daerah, komposisinya sudah jelas, A,B dan C adalah gambaran suku dominan di Kalbar, yakni Dayak, Melayu dan China (Tionghoa).
Setiap kandidat yang akan maju dalam pilkada, mereka selalu memperhitungan komposisi penduduk tersebut. Kondisi itu memaksa si calon mulai mencari jati dirinya. Bila dia Melayu, maka dia akan mencari akarnya dari mana ia berasal, termasuk siapa nenek moyangnya dan di mana awal mulanya di tanah Borneo. Begitu pun dengan Dayak, ia akan mengatakan sebagai penduduk asli Kalbar, sama dengan Melayu juga asli, tapi Dayak saudara tuanya Melayu. Dan cerita asal usul itu menjadi santapan pagi pada setiap warung kopi di kota-kota besar di Kalbar dimana ada perhelatan pilkada.
Kalau Tionghoa sudah jelas, kedatangnya mereka bersamaan dengan perburuan emas di Monterado (Singkawang) dan Mandor (Kabupaten Landak). Dimana pada masa itu pernah ada negara yang sudah berbentuk republik tertua di dunia, bahkan jauh sebelum Amerika Serikat membentuk republik. Yang pertama tahun 1770 di Monterado dan yang kedua adalah Republik Lan Fang tahun 1777 di Mandor. Sepuluh tahun kemudian yakni tahun 1787 baru Amerika Serikat mendirikan republik.
Nah, fakta sejarah yang terpotong-potong yang diketahui dari mulut ke mulut itu, kini mulai laku menjadi konsumsi publik ketika ada pesta demokrasi. Sebetulnya komposisi penduduk dalam mencapai kekuasan bukan barang baru di West Borneo ini. Bahkan sudah berlangsung sebelum era reformasi.
Bila pada masa akhir Orde Baru ada istilah sharing power (pembagian kekuasan) bagi mereka yang ingin menjadi kepala daerah, karena waktu itu seorang kepala daerah atau paket kepala daerah dipilih oleh DPRD. Maka sharing power pun mencerminkan komposisi anggota DPRD yang ada di parlemen baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Bentuk sharing power itu sangat sederhana, ada kesepakatan bila sekarang gubernur atau bupatinya Melayu maka wakilnya Dayak. Demikian sebaliknya, bila gubernur atau bupati Dayak, maka wakilnya Melayu.
Tapi sekarang sharing power seperti itu agak diabaikan. Karena pemilihan langsung dilakukan rakyat. Tapi hitung-hitungan pendukung dan calon pendukung masih menjadi pertimbangan calon atau kandidat.
Karena pertimbangan itu pula, maka setiap kandidat yang hendak maju, selalu mempertimbangkan komposisi etnis yang ada. Termasuk jati dirinya yang sebelumnya tidak diketahui publik bahkan dirinya dan keluarganya sendiri tak penting tahu asal usul, sekarang jadi penting diketahui.
Maka tak heran menjalang suksesi kepala daerah, kandidat kasak-kusuk mencari tahu asal usulnya, termasuk asli dirinya dari kelompok mana yang dominan. Ada tokoh yang sudah puluhan tahun tak mengenal Dayak, tiba-tiba menjadi Dayak. Demikian sebaliknya, tiba-tiba muncul darah Melayunya. Itu fakta riil yang bikin geli saya ketika menghadapi pilkada. Setiap kandidat lancar menceritakan sisilah dirinya.
Teringat dengan cerita-cerita konyol menjelang pilkada seperti itu, ketika teman saya tiba-tiba berceloteh Dayak sebagai cikal-bakal membentuk Indonesia dengan ditandainya kerajaan Kutai tadi, saya jadi berpikir saatnya kalangan akademisi menelusuri kisah kerajaan Kutai dari suku bangsa apa sebenarnya. Daripada sekarang kita menduga dan mengira-ngira Dayak berasal dari Yunan, China atau Melayu juga dari sana cuma datangnya belakangan. Keduanya sama-sama penduduk asli Kalimantan. Cuma kedua suku ini beda nasib di panggung politik dan pemerintahan. Melayu agak diuntungkan, kerana negara kita kebetulan 98 persen pemeluk Islam, maka Melayu identik dengan Islam. Tapi Dayak justru sebaliknya, mayorita non Islam.
Bila dibandingkan dengan Aborigin, maka Melayu tidak ada persamaannya, tapi Dayak nasibnya tidak lebih baik dari Aborigin. Tapi sekaran dunia sudah berubah, saya kita Dayak sudah jauh lebih baik dari Aborigin, apalagi gubernur di Kalimantan ini terutama Kalbar, Kalteng dan Kaltim dari kalangan Dayak.
Barang kali yang masih sama, adalah masalah penyerobotan tanah. Tanah bangsa Aborigin dikuasai bangsa Barat, maka tanah adat Dayak dikuasai pemerintah lewat Undang-Undangnya, dan belakangan perusahaan perkebunan yang ikut-ikutan merampas tanah adat.
Tulisan saya tidak tidak ada maksud melecehkan pihak tertentu, tapi marilah kita sama-sama berpikir bagaimana supaya sejarah itu lurus adanya dan dipelajari di sekolah-sekolah kita. Kita orang Kalbar tahu sejarah Jawa dan Sumatera. Tahu cerita Pangeran Diponegoro dan sebagainya. Tapi bila ditanya tanah kita dan pahlawan yang menjadi nama jalan dan gedung yang ada di Kalbar, kita justru tidak tahu. Nah semua itu perlu kita renungkan bersama.□

1 komentar:

diriku adanya said...

pagi...
'Bangsa yang baik adalah bangsa yang mampu mengungkap sejarah sebaik-baiknya'tul ndk e???...
gimana mau ngungkapnya sejarah itu ada jak aku, belum lahir dan bisa ndk di percaya sumber2x yang pure,natural,netral.dll deh...butuh segudang riset yang mungkin bisa buat aku, percaya je..
jangan2x nanti bisa tercipta konflic...Cape Deh...daripada menebak-nebak 'analisis konflik'mending kita belajar dan mencari tahu hal yang sebenarnya...Key.
yang jelas orang dayak ada kerajaan kutai juga pasti ada...tp ya kalo mau me-riset ya akademisi di bidang sejarahwan, dan makananya para jurnalist Goodluck deh Gbu...