BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Tuesday, March 25, 2008

Dua Jam Bersama Wati Wayan

BILA di film atau sinetron Indonesia, cerita seperti ini sudah lazim ditemui dan saksikan baik lewat layar lebar (bioskop) maupun televisi. Tapi di usiaku yang sudah menginjak kepala tiga, ternyata aku mengalami sendiri cerita-cerita fiksi pada film atau sinetron tersebut. Dimana seorang anak atau anggota keluarga yang sudah puluhan tahun terpisah atau tercerai berai dari keluarga besarnya, namun bisa bertemu kembali pada ending ceritanya.

Begitupun dengan aku. Rabu, 19 Maret 2008 pekan kemarin saat mengikuti rombongan tim pemekaran Provinsi Kalimantan Barat untuk membentuk Provinsi Kapuas Raya menghadap Komisi II DPR-RI di gedung DPR Senayan, Jakarta. Aku bertemu dengan keluargaku, yakni Wati Wayan. Pertemuan di Resto Christal Jade, Plaza Senayan itu bagiku terara mimpi saja. Betapa tidak, selama puluhan tahun, baik papaku maupun keluargaku yang lain tidak pernah lagi mengenal siapa itu Wati Wayan.
Pertemuan yang mengharukan itu bermula dari meninggalnya tanteku yang bernama, Aka Palar. Aku dan keluargaku memanggilnya Omba (tante/bibi). Aku pernah mengenal sosok perempuan perantau ini ketika aku berumur 8 tahun, ketika aku masih duduk di bangku SD. Bahkan tahun 1981, beliau pernah mengajakku ikut dengannya ke Jakarta.
Yang aku kenal hanya sosok Omba, sedangkan suami maupun anak-anaknya tak satu pun yang aku tahu, jangankan fisiknya, nama mupun ceritanya saja aku tak tahu.
Aku tahu dari cerita papaku bahwa Omba di Jakarta punya dua anak, satu tinggal di Amerika dan satunya di Jakarta. Nama pastinya papaku juga tak tahu, papa hanya tahu nama panggilannya saja, si sulung di Amerika biasa dipanggil Nonon, sedangkan adiknya di Jakarta kata papaku biasa dipanggil Lilis. Toh papaku sendiri tak pernah bertemu dengan tante Nonon maupun Lilis. Cerianya hanya sampai disitu saja, sedangkan anak-anak mereka nama maupun keberadaannya sudah tidak dikenal sama sekali.
Nah, kembali ke cerita pertemuanku dengan Wati Wayan dan suaminya, Wayan. Itu bermula dari meninggalnya Omba pada, Sabtu, 15 Maret 2008 lalu. Mungkin ada wasiat atau apa dari Omba yang meninggal pada usia 90 tahun, agar anak cucunya mencari keluarganya di Kalimantan Barat. Paling tidak untuk mengabarkan peristiwa kepergian Omba ke dunia lain itu.
Dan aku sendiri mendapat kabar kematian Omba dari adikku Flora Lilan yang mendapat SMS dari kak Irena di Jakarta, pada sing sabtu itu juga. Dalam pesan singkatnya, “Omba Jakarta sudah meninggal sabtu (15/3) tadi pagi”, begitu pesannya. Setelah membuka SMS di handphoneku, aku pun berdoa sejenak dalam hati untuk membuka jalan keselamatan bagi Omba di alam baka sana.
Singkat cerita, Minggu (16/3) sore, isteriku, Indri Handayani, tiba-tiba mendapat SMS dari orang yang bernama Wati Wayan, juga mengabarkan kematian Omba tersebut. Dalam SMS-nya dia mengaku keluargaku.
“Pah ini ada SMS dari orang yang bernama Wati Wayan, katanya keluarga papa di Jakarta meninggal,” kata istriku buru-buru, saat aku santai baca Koran di teras rumah.
“Ya, papa sudah tahu kemaren, itu kakak sepupu bapaku,” kataku menjawab isteriku.
SMS antara Wati dan istriku berlanjut. Bahkan mereka sepertinya sudah dekat sekali, padahal tidak saling mengenal. Selasa (18/3) kebetulan aku ke Jakarta. Tahu aku akan ke Jakarta, istriku kembali SMS Wati mengabarkan bahwa aku akan ke Jakarta. Wah, kabar tersebut jelas membuat Wati senang. Dia pesan dengan istriku jangan sampai tidak ketemu dia. Wati pun memberi alamat rumahnya jelas kepada istriku, di daerah Duren Sawit, Jakarta Utara.
Pukul 06.00 WIB aku berangkat dari rumah menuju bandara Supadio Pontianak. Aku ke Jakarta menggunakan penerbangan pertama. Tepat pukul 06.50, Batavia air yang aku tumpangi take up menuju Jakarta. Tepat pukul 08.15 aku sampai di bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta.
Dalam perjalan taksi menuju hotel Oasis di kawasan Senen, Jakarta Pusat, aku kontak Wati bahwa aku telah tiba di Jakarta. Kami pun janjian ketemu sore hari kalau suaminya sudah pulang kantor, kalaupun belum, pertemuan keesokan harinya.
Karena aku juga masih padat jadwalnya, pun suami Wati sampai di rumah sudah pukul 22.00 WIB, Wati SMS pertemuan dibatalkan, bisok aja di Resto Bakmi Blog M. Aku pun ikut saja. Sebab bagiku Jakarta di manapun tempatnya tak masalah, aku lumayan paham Kota Jakarta, sebab aku pernah bekerja di majalah GAMMA, pecahan GATRA.
Karena jadwalku bertemu Komisi II DPR, Wati pun kembali membatalkan pertemuan di Blog M, pesan Wati pertemuan dialihkan ke Plaza Senayan, pertimbangannya tidak terlalu jauh dari DPR.
Aku dan rombongan bertemu DPR pukul 12.30 sampai pukul 14.00. Tak begitu lama keluar dari ruangan rapat Komisi I, tempat Pokja Pemekaran Komisi II menerima kami, aku mendapat pesan singkat lagi di HP-ku, “Kami sudah di Plaza Senayan, di Resto Christal Jade,” pesan Wati. Aku pun balas, “Ok, aku siap meluncur”.
Begitu keluar dari gedung DPR, aku minta Andel, SH—salah seorang advokat di Pontianak yang ikut dalam rombongan menemaniku. Kebetulan dia juga akan nginap di hotel Oasis. Kami berdua pun menggunakan taksi menuju Plaza Senayan.
Sampai di lobi, aku telepon Wati, Wati bilang dia dengan suaminya sudah di Resto Christal Jade lantai 3. Kami pun langsung menaiki escalator menuju Resto Christal Jade di lantai 3 plaza yang bersebelahan dengan Sogo itu.
Jarum jam menunjuk pukul 14.30. Di depan pintu masuk, pandanganku diarahkan ke seluruh ruangan, di bangku bagian tengah, ada sepasang manusia paruh baya dengan senyum mengembang ke arahku. “Wati Wayan ya,” kataku, langsung disambut ya, benar, “Saya Wati dan ini suamiku Wayan, Tanto ya,” katanya membalas sapaanku. Kami pun bersalaman.
Wah, terasa mimpi saja, aku pun memperkenalkan Andel temanku kepada Wati dan suaminya. Sambil menunggu makanan yang dipesan, termasuk ikan saos karapu, kami pun larut dalam berbincangan seputar sisilah keluarga.
Aku kaget bukan main, ternyata Wati seumur dengan papaku, 63 tahun. Jadi ketiga anaknya yang kecil sebaya dengan ku dan sudah berkeluarga semua. Tapi secara fisik, dia jauh muda dari papaku. Maklum papa ku seorang petani di kampung Landau Mentawa, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.
Sementara Wati sejak lahir sudah hidup di kota dan tidak perneh mengenal cangkul dan parang, alat untuk berladang dan berkebun. Menurut Wati, dalam keluarga besar Omanya, dia hanya tahu dengan nama papaku, Selesan Tagun. Selebihnya dia tidak paham lagi, disamping tidak pernah bertemu, juga tidak pernah keberadaannya dimana. Pokoknya, betul-betul buta dan putus informasi sama sekali.
Sementara aku, dari cerita papaku, aku hanya tahu Omanya Wati, lalu mamanya Wati dan tantenya di Amerika, itu pun hanya tahu nama dan cerita aja. Ketemu tak pernah, andaikan kalau bertemu di pasar atau dimanapun, tentulah tidak saling kenal.
Pengetahuanku tentang keluarga Omba, hanya sampai pada kak Nonon dan Atik saja, sedangkan anak-anak mereka aku tak tahu, termasuk Wati yang sebetulnya keponakanku sendiri.
Wait senang sekali ketika berjumpa denganku. “Wah nambah satu lagi keluarga,” ujarnya berulang-ulang. Sebetulnya banyak keluarga di Kalimantan, tapi tak tahu lagi mereka ada dimana?
Kata Wati, yang dia tahu keluarga Omanya, hanya Om Acan, lalu kedua ananya, Paula dan Endang yang kini Jaksa di Mempawah, Kabupaten Pontianak, keluarga lain, hanya papaku. Itu saja yang dia kenal. Dan dia sangat beruntung kini bisa berkenalan dengan ku.
Saking senangnya, saat kami makan siang itu, dia menghubungi istriku di Pontianak, mengabarkan dia tengah makan siang bersamaku.
Ketika aku pulang ke Pontianak, istriku sampai berkata, “Kayaknya senang betul dia ketemu papa, sampai-sampai menelponku, suaranya senang benget,” ujar istriku.
Kesempatan langka namun nyata tersebut, kami manfaatkan betul untuk saling mengenal anggota kelaurga yang lainnya. Walau tidak bisa bertemu langsung, tapi aku ceritakan posisi mereka sekarang ada dimana saja. Pun demikian dengan Wati, dia juga berusaha menjelaskan keluarganya. Mulai dari mamanya, yang kawin dengan papanya asal Semarang, Jawa Tengah. Wait sendiri setelah dewasa kawin sama Wayan asal Bali yang bekerja di Pertamina Pusat.
Sedangkan soal Nonon, dia tidak tahu banyak. Dia hanya tahu Nonon di Amerika punya anak tiga dan sudah berkeluarga semua.
“Tante Nonon punya rumah besar, sekarang dia dan suaminya saja yang tinggal di rumah itu, sedangkan ketiga anaknya sudah berkeluarga semua. Saya sendiri baru dua kali ke Amerika, terakhir tahun 1991,” kata Wayan menimpali cerita Wati.
Selebihnya, Wayan lebih banyak ngobrol sama temanku, Andel. Sedangkan aku dan Wati masih menelusuri sisilah keluarga kami. Tepat pukul 16.00 muncul anak Wati, dan suaminya, Wayan Prayojana. Memang selama kami ngobrol, Wati berusaha mengontak anak-anaknya untuk memperkenalkan denganku. Tapi karena kesibukan mereka masing-masing, hanya Wayan Prayojana dan istrinya yang datang.
Tak terasa, percakapan itu mengalir bagai air selama 2 jam tak putus-putus. Tepat pukul 16.30 aku dan Andel pamitan, karena kami masih ada kegiatan lain. Bila tak ada kegiatan, obrolan seputar keluarga besarku itu mungkin masih berlanjut. Eh kapan kami bisa bertemu dan ngobrol kambali. Kami pun bubar.
Dalam perpisahan itu, sambil menuruni escalator, sekali lagi aku membatin, ini betul-betul mimpi bisa bertemu keluarga yang sudah lama “hilang” di Resto Christal Jade itu. Semoga ini cerita indah buat anak cucuku kelak.□

0 komentar: