BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Saturday, February 16, 2008

Sisi Lain Manusia “Tenda Biru”

Alfred: Semua ini Terdorong Persoalan Perut


AKHIR Januari lalu, ratusan warga dari sejumlah kecamatan dari Kabupaten Kapuas Hulu tiba-tiba mendatangi markas kepolisian resor Sintang di kawasan Jalan Dr Wahidin Sintang. Kedatangan ratusan warga Uncak Kapuas ini bukan tanpa sebab. Dari pekikan suara mereka terdengar jelas, bahwa mereka ingin agar ratusan batang kayu cempedak hutan yang kini ditahan pihak Polres Sintang dibebaskan.

Tidak hanya itu, mereka juga ingin agar 33 rekan mereka yang tengah di tahan di Polres Sintang juga dibebaskan. Namun, teriakan tinggal teriakan. Karena hukum tidak mungkin berubah hanya karena teriakan, apalagi teriakan masyarakat kecil seperti mereka. Walau ada pameo yang mengatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, namun hal itu tidak berlaku pada kasus yang disebut sebagai illegal logging.
”Kami bukan pelaku illegal logging. Karena kayu itu kami ambil di ladang kami sendiri, di wilayah adat kami sendiri. Kami tidak mau disebut pelaku illegal logging,” ungkap Abdurahman dengan tegas.
Ungkapan ini diamini oleh sebagian besar masyarakat yang turun ke Sintang akhir Januari lalu. Tegasnya, masyarakat enggan disebut jika mereka adalah pelaku illegal logging. Alasannya cukup logis, karena kayu-kayu itu mereka ambil di wilayah mereka sendiri dan tidak diperdagangan ke luar daerah.
Selain itu kayu-kayu tersebut adalah jenis kayu yang boleh dikatakan tidak berkelas sama sekali. Hanya kayu cempedak air dan renggas dan sejenisnya yang hidupnya tidak jauh dari pesisir pantai Sungai Kapuas yang diangkut dengan tetesan keringat. Tanpa menggunakan alat berat namun hanya memanfaatkan tingginya muka air yang menggenangi ladang mereka. Yang lebih utama lagi, menebang dan menjual kayu itu memang telah menjadi aktivitas turun-temurun warga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tegasnya ini adalah persoalana perut.
Sudah sekitar 26 hari, 33 pria yang rata-rata telah berkeluarga mendekam dalam sel di kantor Polres Sintang. Mereka tidak tahu kapan mereka akan bebas, kembali ke kampung mereka dan beraktivitas seperti biasa.
Anyuk (40), pria berbadan kurus ini mengaku dirinya hanyalah korban dari penangkapan kayu tersebut. Pasalnya tak sebatangpun dari sekitar 800 batang kayu yang ditahan pihak keamanan menjadi miliknya. Ia hanyalah seorang petani kampung yang memiliki sebuah motor air. Karena didesak oleh sejumlah rekannya maka ia pun bersedia jika kapalnya menjadi salah satu kapal yang mendorong kayu-kayu log tersebut untuk dibawa ke Pontianak.
Awalnya ia mengaku menolak diajak rekan-rekannya untuk ikut menjual kayu ke Pontianak. Namun karena alasan bahwa kayu-kayu yang akan dijual tersebut telah dilengkapi dengan dokumen, ia pun akhirnya memutuskan untuk ikut. Istri dan satu orang anaknya yang masih berumur 4 tahun pun dibawanya serta. Sementara anak tertuanya yang masih duduk di bangku kelas 1 SD di tinggalkannya di kampungnya.
Keseharian aktivitas warga Kampung Kepala Pintas Kecamatan Ambalau Hilir ini adalah bertani. Dengan kebun karet seluas kurang lebih 1 Ha, ia berusaha mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Kadang bila air tidak sedang pasang atau banjir ia berladang. Menaman padi dan beberapa jenis sayuran. Namun, karena ladang miliknya tak jauh dari tepi pantai Sungai Kapuas, maka saat air pasang, seluruh tanaman padinya mati terendam air.
Ia pun gagal panen, padahal tanaman padinya saat itu telah berumur 3 bulan dan telah dalam masa ngampar. Tidak hanya gagal panen, rendaman air juga membuatnya dan warga lain tak bisa menoreh getah di pohon karet mereka. Pada kondisi seperti inilah, ia dan warga desa lainnya akan mencari alternatif untuk pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, disaat musim hujan dan banjir selama bulan Desember-Januari.
Getah karet pun yang ditoreh satu haripun menurut Anyuk tidak bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Dalam satu hari menurutnya ia bisa mendapatkan sekitar 6 kg getah. Di kampungnya sendiri satu kg getah dihargai Rp6.000. Dengan uang Rp36 ribu tersebut ia harus membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya yang harganya terus meningkat. Jika ia tidak dapat menoreh karena hari hujan atau sebab lain, maka ia pun terpaksa berhutang di warung tetangganya tersebut. Selanjutnya saat ia menjual getah karet, maka akan dipotong dengan hutang sebelumnya. Begitulah selalu urutan kehidupan masyarakat di desanya.
”Saya sering mendesak mereka di dalam sel, kalau memanag ada cukong di belakang ini semua, tolong disebut saja. Kita yang sakit, tapi dia hanya enak-enak saja. Anak dan istri kami jadi terlantar, tapi dia tetap bisa berkumpul dengan anak dan istrinya,” paparnya.
Selanjutnya Alfred (37), mempunyai 3 anak dan merupakan Kades Desa Kiri Nangka Kecamatan Putusibau Utara. Kepada saya saat ditemui di ruang Kaur Bin Ops Polres Sintang, T. Saragih. Ia mengaku hanya memiliki sekitar 80 batang kayu log. Itupun ia kongsi dengan dua saudaranya. Jika dihitung-hitung, Kades ini memiliki sekitar 40 meter kubik kayu. Jika per kubik kayunya miliknya dihargai sekitar Rp120 ribu, maka ia akan mengantongi uang sekitar Rp4,8 juta. Jika dihitung secara ekonomi, uang hasil penjualan kayunya ini tidaklah seberapa. Karena sebelum berangkat ia telah mengaku meminjam sejumlah uang kepada pemilik warung yang ada di kampungnya.
Karena meminjamnya setengah memaksa maka ia dan 18 warga desanya harus membayar bunga pinjaman sebesar 30 persen tiap bulannya. Selain pinjaman uang, ia juga mengaku mengambil sejumlah kebutuhan pokok sebagai bekal selama melakukan perjalanan ke Pontianak, pun dengan hutang juga. Artinya saat ia pulang ke kampungnya nanti, maka ia harus membayar hutang-hutangnya tersebut.
Alfred sendiri baru diangkat menjadi kepala desa belum lengkap setahun, karena desanya merupakan desa hasil pemekaran. Saat disinggung tidakkah ia menggunakan dana ADD yang diterimanya untuk kebutuhan operasionalnya. ”Dana itu kan untuk pembangunan, bukan untuk kepala desa saja. Desa kami juga belum mendapatkan ADD, karena baru dimekarkan 2007 lalu,” paparnya.
Lebih lanjut pria yang mengenakan kaos oblong putih dan tamat SMA ini mengatakan bahwa dirinya tidak tahu banyak tentang illegal logging. Tentang istilah tersebut, ia hanya tahu bahwa yang disebut illegal logging adalah bila mengambil kayu dari hutan dengan menggunakan alat dan dilakukan oleh perusahaan. Ia pun berjanji apa yang dialaminya selama dalam bui di Polres Sintang akan dijadikannya pelajaran dan disampaikan kepada maysrakatnya jumlahnya sekitar 153 KK. ”Ini yang pertama dan yang terakhir kali buat saya mbak,” tegasnya.
Alfred juga menegaskan bahwa 100 persen warga desanya adalah petani, yaitu berladang dan menoreh. Namun saat musim banjir tiba, bekerja kayu selalu menjadi alternatif utama. Jika tidak begitu maka bisa-bisa masyarakat di desanya akan kelaparan. Kalaupun tidak pilihan lainnya adalah menumpuk utang di warung.
Sama halnya seperti yang disampaikan oleh Anyuk, menurutnya kayu-kayu yang dibawanya dari Kapuas Hulu dan sampai ke Sintang setelah memakan perjalanan selama 5 hari 5 malam memang tidak dipesan oleh siapapun. Sehingga menurutnya tidak benar jika ada cukong kayu yang memback up mereka. Ia sendiri berani ikut menjual kayu lantaran tahu salah satu rekannya dengan lolos sampai ke Pontianak. Padahal jenis kayu dan surat yang dimilikinya sama.
Walau ia juga tahu bahwa di setiap pos penjagaan yang dilaluinya, ia dan rekan-rekannya harus mengeluarkan jutaan uang sebagai sopoi. Informasi yang saya terima, untuk sampai ke Sintang telah ada 7 pos penjagaan yang dilewati partai kayu milik mereka ini. Dan di 7 pos penjaagaan tersebut, dana yang mereka keluarkana telah mencapai Rp30 juta untuk sopoi saja.
Selasa (12/2) lalu, Wakil Bupati Kapuas Hulu, Drs Y Alexander M.Si didampingi stafnya dari dinas kehutanan, Jantau, S.Sos dan anggota DPRD A.Mayu datang mengunjungi 33 masyarakat Kapuas Hulu yang tengah di tahan di Polres Sintang tersebut. Menurut Alfred wakil bupati memintanya untuk bersabar. Namun ia tak tahu bersabar seperti yang harus mereka miliki. ”Kami sangat berharap bisa keluar dari tahanan ini. Kalau pun kami harus di sel, kenapa kami tidak ditahan di Kapuas Hulu saja. Karena kami kan warga sana,” ujarnya.
Dengan ditahannya mereka di Sintang, menurutnya banyak masalah dan kesulitan yang ditemui. Mereka tahu bagaimana nasib anak istri mereka yang kini berada di atas kapal yang tertambat di Sungai Kapuas sana. Walau diakui Alfred, Anyuk dan juga Sabinus, saat membesuk Selasa lalu, wakil bupati memberikan bantuan dana sebesar Rp2 juta.
”Uang itu kami bagi sama rata dan kami berikan kepada istri-istri kami yang ada di kapal sana. Kami tidak tahu dari mana anak dan istri kami memperoleh makanan,” ujarnya sedih.
Keinginan Alfred yang juga menjadi keinginan 32 tahanan yang lainnya untuk dipindahkan ke Kapuas Hulu agar istri dan anak mereka tetap bisa bekerja di desanya. Selain itu anak-anak yang telah sekolah juga dapat tetep bersekolah. ”Dengan kejadian ini saya berharap nantinya masyarakat seperti ini bisa mendapatkan penyuluhan tentang hukum khususnya tentang illegal logging ini. Karena kami tidak mau hal ini terulang kepada masyarakat yang lain,” pinta Alfred seraya mengatakan semua ini terdorong oleh persoalan perut.

Jadi Penonton
Satu hal yang membuat Alfred terusik tentang nasib buruk yang menimpanya dan 32 rekannya yang lain. Tak jauh dari desanya selama 4 tahun ini telah beroperasi perusahaan kayu yaitu PT. Bumi Raya. Perusahaan ini menurutnya mengambil kayu-kayu dari hutan yang ada di sekitar desanya. Namun, ia dan masyarakatnya hanya menjadi penonton saja atas beroperasinya perusahaan tersebut.
Alfred mengaku pernah beberapa kali mengajukan permohonan bantuan kepada perusahaan tersebut, tapi tak sepeserpun bantuan yang diterimanya. Padahal ia berharapa keberadaan perusahaan yang tak jauh dari desanya itu bisa memberikan kontribusi bagi desanya. Bahkan tak satu pun dari warga desanya yang ikut bekerja di perusahaan tersebut. ”Kami hanya jadi penonton saat alat-alat berat perusahaan itu membawa kayu dari hutan kami. Padahal jarak tempat beroperasinya perusahaan dengan desa kami hanya sekitar 4 KM,” katanya.
Saat ditanya jenis dokumen yang melengkapi kayu-ayu tenda biru tersebut, Alfred mengatakan bahwa sebagai Kades ia hanya memberikan surat keterangan bahwa kayu tersebut adalah benar-benar milik masyarakat. Surat tersebut juga diperkuat dengan tanda tangan ketua adat setempat.
Menjadi tahanan polisi, siapapun pasti tak menginginkannya. Karena imej yang diberikana masyarakat terhadap bekas tahanan tentu sangat tidak baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi Alfred dan rekan-rekannya. ”Kami tidak malu kalau bebas dan pulang kampung nanti. Karena masyarakat tahu kami ini benar. Kami tidak mencuri atau melakukan kejahatan. Justru warga kampung mendukung perjuangan kami. Kenapa kita tidak bisa menikmati hasil dari tanah kita sendiri?” tegasnya setengah tanya.
Satu lagi warga Kapuas Hulu yang ditahan di Polres Sintang yang saya temui adalah Sabinus (19). Pria lajang berambut cepak ini mengaku hanya tamat SMP. Selanjutnya ia pulang ke desanya Tanjung Beruang Kecamatan Putussibau Utara untuk membantu orang tuanya. Anak ke 5 dari 8 bersaudara ini mengaku bahwa kegiatan yang dilakukannya setiap hari hanya menoreh karet dan kemudian mencari ikan. Dalam satu hari terkadang ia bisa mendapatkan 2-3 kg ikan, lalu dijualnya dengan harga Rp5 ribu per kilonya. Semua hasil kerjanya itu ia berikan kepada orang tuanya. Dengan uang hasil pancingannya tadi, orang tuanya biasanya membelikan beras yang perkilonya mencapai Rp7 ribu dan minyak goreng seharga Rp12 ribu per kilo.
Dengan ikut bekerja kayu, Sabinus berharap bisa memberikan uang yang lebih banyak kepada orang tua. Namun, kini ia merasa bingung dan sedih karena dia dan abangnya sama-sama di tahan di Polres Sintang. ”Kasihan saya meninggalkan orang tua saya di kampung. Pasti tidak ada lagi yang membantu mereka. Karena adek-adek saya masih kecil-kecil,” ujarnya kebinggungan.□Endang Kusmiyati, editor:Tanto Yakobus/Borneo Tribune

0 komentar: