BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Sunday, January 20, 2008

Partai Demokrat Diantara Multi Partai

Oleh: Tanto Yakobus

Sejak dideklarasikan enam tahun lalu, Partai Demokrat sudah “mendapat” tempat di hati masyarakat Indonesia. Buktinya, walau baru seumur jagung ketika itu, namun Partai Demokrat sudah bisa mengibarkan panji-panjirnya di tengah-tengah persaingan partai-partai besar.


Bahkan prestasi gemilangnya—mengantarkan bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan bapak Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2004-2009 lewat pemilihan langsung oleh rakyat.
Prestasi itu jauh melampaui kemampuan dan prestasi partai-partai besar yang sudah mapan dan kaya pengalaman. Sejak itu pulalah, mereka terutama rakyat Indonesia tidak lagi memandang sebelah mata terhadap Partai Demokrat.
Capaian prestasi itu seiring dengan Mars Partai Demokrat yang bait pembukanya berbunyi “Megah berkibar menjulang ke angkasa panji Partai Demokrat, membawa pesan damai, berkat rahmat Ilahi untuk seluruh negeri…, benar-benar diimplementasikan partai bentukan presiden Republik Indonesia keenam, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono itu diantara multi partai yang ada di negeri ini.
Keberadaan Partai Demokrat tidak hanya berhasil mengantarkan sejumlah anggota DPRD mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga mereka yang “berkantor” di Senayan (DPR-RI), tapi juga berhasil mengantarkan putra terbaik bangsa, yakni bapak SBY untuk memimpin negeri ini.
Ini merupakan prestasi yang luar biasa. Partai yang oleh partai lain dianggap “anak kemaren sore”, ternyata bisa bersaing bahkan mengalahkan partai-partai yang sudah mapan dan matang di blantika politik tanah air, macam Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtara (PKS) dan masih banyak lagi partai yang sudah mengakar di masyarakat. Tapi mereka tidak berdaya membendung “laju” langkah partai berlambang bintang mercy tersebut.
Sebagai kader, saya melihat prestasi itu sangat membanggakan dan membesarkan hati. Bangga karena kita punya anggota legislatif dari tingkat daerah hinnga pusat, punya presiden yang juga pendiri partai. Lalu yang membesarkan hati juga adalah Partai Demokrat punya andil besar dalam merumuskan kebijakan pembangunan negeri ini.
Itu tak dapat disangkal lagi, sebab mulai dari Presiden selaku pengambil kebijakan hingga DPR yang mengontrol kebijakan itu, telah bahu-membahu merumuskan kebijakan pembangunan di negeri ini. Bahkan tak jarang akibat kepentingan pembangunan yang diusulkan partai maupun presiden, kerap kita saksikan tontonan yang cukup menarik di Senayan. Apalagi kalau bukan tarik menarik kepentingan. Tapi itu hal biasa dalam sebuah demokrasi. Dan bapak kita, SBY sangat menghargai hal itu.
Dengan alasan ini dan itu, para wakil rakyat yang memang sudah “berseberangan” dengan pemerintah (presiden, red) sering bersikap berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Akibatnya, masyarakat jadi korban “perseteruan” yang sebetulnya tidak perlu itu. Cukup banyak kebijakan pemerintah yang kerap mental di DPR demikian juga sebaliknya. Dan itu sebetulnya tindakan konyol yang mementingkan kelompok atau golongan tertentu, giliran rakyat dikorbankan.
Kita berharap wakil kita dari Demokrat dapat menjembatani bahkan memberi contoh politik yang santun kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa berharap banyak kepada legislator-legislator Demokrat di belakang hari.
Wakil rakyat dari Demokrat mesti paham betul dengan posisinya. Ia bukan lagi sebagai individu yang mementingkan egoisme, tapi figure yang menjadi harapan seluruh rakyat.
Oleh karena itu, setiap tindak tanduknya, baik yang dilakukan di parlemen maupun dalam kehidupan sehari-hari selalu menjadi perhatian publik atau masyarakat.
Jadilah wakil rakyat yang santun, rendah hati dan peduli dengan kontituennya. Jangan seperti kebanyakan, setelah duduk lupa dengan rakyat yang memilihnya. Bahkan selama lima tahun lupa sama sekali. Giliran pemilu, baru “berbaik” hati kembali dengan merayu kontituen agar memilihnya kembali.
Saya pikir itu cara yang telah usang. Sekarang masyarakat semakin pintar. Mereka sudah dapat membedakan dan menghargai suaranya. Jadi mereka tidak sembarangan lagi membei suara atau dukungannnya.
Apalagi di setiap daerah, dalam kurun waktu lima tahun itu, minimal dua atau tiga kali dilakukan pemilihan kepada daearah (pilkada) langsung oleh rakyat. Jadi media seperti pilkada itu, sudah cukup memberikan pemahaman kepada mereka soal betapa “berharganya” suara mereka.
Banyak kasus yang saya lihat dan saya dengar sendiri, masyarakat akan menandai figur-figur yang mereka nilai kurang berperan di legislatif. Seperti yang tidak merakyat, lupa kontituen, atau terlibat dengan narkoba. Dan yang lebih banyak ditemukan dan dikeluhkan masyarakat adalah tidak bisa berbuat untuk kepentingan masyarakat banyak.
Terhadap orang-orang yang demikian, maka rakyat akan mengatakan, jangan harap pada pemilu nanti kami akan memilihnya kembali.
Untuk menghilangkan stigma yang demikian, kita berharap para legislator dari Demokrat bisa menunjukkan kinerja dan bukti konkrit kepada masyarakat terutama kontituen di tempatnya masing-masing. Bila itu dilakukan, maka dengan sendirinya, partai ini akan bisa bersaing dengan partai-partai lain yang juga gencar melakukan konsolidasi.
Bila wakil dari Demokrat berpihak kepada masyarakat, kepada kontituennya, maka jangan takut, masyarakat tidak akan meninggalkan Partai Demokrat pada pemilu 2009 mendatang. Sebab Demokrat sudah sehati dengan masyarakat.


Fenomena Pilkada
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat adalah sebagai konsekuensi logis dari perubahan undang-undang politik kita. Kalau dulu kepada daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota di pilih oleh DPRD, namun di era reformasi ini, rakyatlah yang punya kewenangan untuk menentukan figur pemimpin di daerahnya sendiri.
Pilkada secara langsung itu diatur dalam UU nomor 32 Tahun 2004. Dimana calon diusul secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik, yang memenuhi syarat minimal 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Kalau kita menilik UU nomor 32 Tahun 2004 dan PP nomor 6 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan PP nomor 17 Tahun 2006, jelas bahwa proses pilkada bertujuan menghasilkan kepada daerah dan wakil kepada daerah yang mempunyai peran strategis dalam mengembangkan kehidupan berdemokrasi yang berkeadilan dan mensejahterakan rakyatnya.
Sebagai partai yang besar, Partai Demokrat mempunyai kesempatan untuk menempatkan kader-kader terbaiknya atau figur-figur yang popular di daerahnya masing-masing untuk mengemben tugas tersebut.
Tapi belajar dari berbagai daerah yang telah melaksanakan pilkada, ternyata Partai Demokrat belum bisa berbuat banyak. Semua calon yang diusung ternyata kalah dalam “pertarungan” pilkada tersebut. Bila kita melihat keatas, sebetulnya tidak perlu berkecil hati, toh Partai Golkar yang lebih mampan dan berpengalaman juga mengalami hal yang sama. “Jago-jago” yang mereka usung bertumbangan di arena pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Contoh yang masih segar adalah pilgub gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Barat yang baru usai. Partai Golkar dengan koalisi Harmoninya, dimana di dalamnya bergabung delapan partai yang mengusung incumbent, H Usman Ja’far-LH Kadir tumbang dengan jago PDI Perjuangan yang hanya satu partai mengusung Cornelis-Christiandy Sanjaya—yang akhirnya terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Kalbar.
Hal sama dialami Partai Demokrat yang berkoalisi dengan delapan partai—koalisi Kalbar MAS (Maju Adil Sejahtera) yang mengusung pasangan Oesman Sapta-Ign Lyong. Dan yang tidak kalah stragis adalah Koalisi Rakyat Kalbar Bersatu yang terdiri dari tujuh partai pengusung Akil Mochtar-AR Mecer bahkan suaranya jadi juru kunci.
Dari 10 kali pilkada di Kalbar, Partai Demokrat hanya menang di Kabupaten Melawi lewat bapak Suman Kurik—yang belakangan menjadi ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Melawi. Saya rasa, kekalahan demokrat di ajang pilkada tidak hanya terjadi di Kalbar, tapi hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Fenomena kekalahan ini mesti menjadi bahan instropeksi kita bersama. Kita harus berani mencari penyebab kekalahan itu. Kita harus berani mengkritisi apakah partai kita sudah benar dalam menentukan figur yang diusung? Apakah partai kita sudah benar dalam melakukan rekrutmen terutama saat dilakukan Musda atau Muscab?
Kita harus koreksi semua itu bila kita ingin partai ini dicintai rakyat. Kita harus berani memberi ruang seluas-luasnya kepada kader maupun anggota, mengapa kita gagal di pilkada. Atau karena ketuanya yang punya ambisi, tapi belum sampai?
Bila kita menutup diri dan membatasi ruang koreksi terhadap partai kita sendiri, maka jangan harap Partai Demokrat akan menjadi “rumah” masyarakat di masa mendatang. Jangan harap masyarakat mau berteduh di bawah payung mercy ini. Atau malah masyarakat segan menumpangi mercy yang memang mobil untuk kelas elit saja.
Kita harus menyadari bahwa figur sentral seperti bapak Ketua Dewan Pembina DPP, Susilo Bambang Yudhoyono, belum menjadi jaminan sepenuhnya bagi masyarakat bergabung atau menjatuhkan pilihannya ke Partai Demokrat pada pemilu 2009 mendatang.
Gejala itu saya lihat ketika kandidat pilkada kampanye “menjual” nama Ketua Dewan Pembina ke konstituen, ternyata hasilnya nihil saat perhitungan suara. Jadi menurut hemat saya, bila mau didukung masyarakat pada pemilu 2009, Partai Demokrat harus mencari jualan baru. Yakni dengan cara memperbaiki image partai, lalu memaksimalkan peran partai di tengah-tengah masyarakat.
Seperti bila terjadi bercana, tancaplah bendera Partai Demokrat secepat mungkin disertai dengan bantuan. Lalu bagi mereka yang kini telah duduk di Legislatif, rajin-rajinlah mengunjungi konstituennya di daerah-daerah. Jangan sudah mendekati pemilu baru ingat berkunjung ke daerah. Sekarang masyarakat sudah semakin pintar. Mereka tidak lagi mau terpengaruh dengan politik uang (money politice).
Bagi yang menebar uang, akan percuma, sebab masyarakat sekarang memilih bukan lagi dengan hati nurani, tapi dengan rasionalitas yang tinggi. Rasionalitas sangat tergantung sikap psikologis partai maupun calon itu sendiri. Makanya, jangan lagi berharap bisa membeli suara rakyat dengan uang atau ngomong secara hati nurani, tapi lebih pada pilihan rasionalitas. Itu yang perlu di perhatikan Partai Demokrat pada pemilu 2009 mendatang.

Pendidikan Politik Rakyat
Bagaimana dengan kampanye pemilu 2009 kelak? Sebagai kader, secara pribadi saya berharap kampanye sungguh-sungguh sebagai sarana pendidikan atau pemberdayaan politik rakyat. Atau masih saja sebagai usaha pembohongan?
Pendidikan politik bagi rakyat dimaksudkan untuk menyadarkan rakyat akan nilai-nilai, prinsip-prinsip, tanggung jawab, kewajiban, hak, sistem dan dinamika dalam penyelenggaraan kepentingan bersama sebagai bangsa.
Penyadaran akan tujuan politik yang sebenarnya. Agar kampanye pemilu 2009 nanti sekaligus sebagai kegiatan pendidikan politik rakyat itu sendiri.
Menurut pemerhati sosial politik di Pontianak, P Plorus, paling tidak ada tiga syarat penting yang mesti diperhatikan dalam kampanye pemilu kedepan. Pertama, kampanye hendaknya menjadi komunikasi politik yang efektif dan jujur.
Jujur kampanye dengan sendirinya dituntut mempu berkomunikasi secara efektif dan jujur, bukan memanipulasi fakta dan memelintir logika untuk membius rakyat. Mungkin si jurkam tidak pandai bicara berapi-api membakar semangat, tetapi apa yang disampaikannya dapat dipahami dan diyakini dengan baik oleh rakyat pendengar.
Kedua, kampanye menjadi proses penyadaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu secara umum memang sudah terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945. Maka rakyat perlu mengetahui bagaimana calon pemimpin akan mewujudkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu ke dalam program pembangunan (pelayanan umum) yang divisikannya.
Dalam hal ini, seorang juru kampanye terlebih dahulu harus membuktikan dirinya beriman, beradab, inklusif, mempersatukan, demokratis, adil, menghargai perbedaan, bersahabat, dan seterusnya. Kampanye pemilu yang sekedar dimaksudkan untuk memperoleh dukungan suara menuju kursi kekuasaan tidak dapat disebut sebagai pendidikan politik rakyat. Bukankah perebutan kekuasaan masih saja lebih suka menghalalkan segala cara?
Ketiga, kampanye berlangsung dalam proses dialog interaktif kritis untuk menyadari dan memahami masalah-masalah yang dihadapi bersama. Maksudnya, rakyat perlu diberi kesempatan menyampaikan persoalan mereka, bertanya, mengajukan usul, saran, kritik dan sanggahan.
Komunikasi berlangsung multi arah dalam suasana yang aman dan bebas. Sementara kampanye dari panggung terhias dengan artis sebagai penarik massa lebih tepat disebut hiburan rakyat daripada pendidikan politik. Dan yang berpawai kebut-kebutan keliling kota hanyalah akan menimbulkan ketakutan umum.
Nah, menyonsong pemilu 2009, Partai Demokrat pilih jalan mana? Apakah dengan mengandalkan legislator yang lupa dengan kontituennya untuk tetap di pasang sebagai caleg? Atau pilih jalur “ektrim” dengan memangkas mereka yang kurang peduli dengan rakyat tersebut?
Pilihan tentu ada pada petinggi-petinggi partai. Sebab petinggi partailah yang punya kewenangan untuk itu. Tapi yang perlu diingat, masyarakat kita tidak lagi bodoh. Mereka sudah pintar dengan kondisi kita sekarang. Mereka tahu Pak SBY berpolitik santun. Mereka tahu Pak SBY mengajarkan kebaikan dan mengayomi semua orang. Tapi mereka juga tahu apa yang dibuat oleh “orang-orang” Demokrat untuk mereka. Sebagian besar masih tanda tanya.
Singkat kata, bila Partai Demokrat mau tetap ada di hati masyarakat, maka tidak ada jalan lain selain dekat dan selalu berjuang bersama masyarakat. Jangan sekali-kali melupakan masyarakat. Kita tidak hanya butuh dukungan mereka lewat suara di pemilu saja, tapi juga butuh mereka sebagai Keluraga Besar Partai Demokrat. Semoga!