BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, January 21, 2008

Jadikan Kampus Agen Penyelamatan Lingkungan


Oleh: Tanto Yakobus

Dunia semakin tua, kerusakan lingkungan semakin parah. Akibatnya, muncul berbagai macam bencana dimana-mana di belahan dunia ini.


Di Indonesia sendiri bencana alam silih berganti sepanjang tiga tahun terakhir, mulai dari tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami di Nias dan Sumatera Utara masih di tahun yang sama, lalu gempa bumi di Jogjakarta dan Jawa Tengah, luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, berbagai banjir bandang yang melanda Jakarta dan sekitarnya, banjir di Sulawesi, Kalimantan dan semua daerah di Nusantara tak ada yang luput dari bencana alam.
Melihat fenomena itu, banyak lembaga internasional berpikir bagaimana menyelamatkan lingkungan yang sudah semakin tidak bersahabat dengan manusia.
Hasil pertemuan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC), tanggal 3-14 Desember 2007, di Bali, dan meminta agar negara-negara di dunia untuk ikut memainkan peranan penting dalam mengurangi emisi gas buang.
Hasil pertemuan di Bali tersebut merupakan jawaban atas kegelisahan manusia akan kerusakan alam dan semakin menipisnya ozon.
Walau selama pertemuan berlangsung terdapat sejumlah kesulitan dalam mencapai kesepakatan membentuk peta jalan (roadmap), yang ditetapkan dalam batas akhir tahun 2009 untuk mencapai suatu kesepakatan baru dalam upaya mengatasi pemanasan global tersebut.
Terkait dengan isu lingkungan dan roadmap yang dihasilkan pertemuan Bali tersebut, Borneo Tribune, sebagai salahsatu media yang peduli dengan isu penyelamatan lingkungan menggelar diskusi jurnalisme lingkungan, yakni perbandingan Indonesia, Peru, AS dan Eropa. Diskusi yang digagas bersama Yanti Mardayanti (Freelancer Borneo Tibune di Bonn, Jerman) itu disambut baik Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr.Chairil Effendy, MS.
“Saya menyambut baik acara seperti ini, Untan sangat wellcome dan siap memfasilitasi apa yang bisa dibantu,” ujarnya dalam memberikan pengantar singkat dalam diskusi tersebut.
Charil menambahkan, idealnya, gerakan penyelamatan lingkugan harus dimulai dari kampus. Sebab kampus adalah lembaga yang praktis dan tidak perlu birokrasi yang berbelit-belit.
Diskusi yang dipandu oleh Pemred Borneo Tribune, H Nur Iskandar yang juga merangkap moderator itu berjalan sukses dengan menghadirkan sejumlah aktivis lingkungan, misalnya dari Kanopi Indonesia, WWF, Walhi, Flagt, LPS Air, dan tentu saja sejumlah civitas akademika serta media cetak dan elektronik yang ada Pontianak.
Lebih jauh Chairil mengatakan, selaku pemimpin universitas tempat berkumpul kalangan peneliti dan ilmuan, dirinya sangat berharap kerjasama Untan dan Borneo Tribune terus berlanjut dan ditingkatkan dalam bidang apa pun.
Soal isu lingkungan, Chairil lalu menceritakan, film Bumi makin panas. “Kalau kita menyaksikan film itu huh, ngeri sekali,” ujarnya sambil mengangkat bahunya dan ekspremi wajah yang menegangkan.
“Memang terasa bumi kita semakin panas. Borneo Tribune mengagas ide baik untuk kepentingan orang banyak berhubungan dengan perubahan iklim yang sangat dramatis,” jelasnya.
Di Indonesia perubahan iklim yang dramatis sangat terasa di bulan Desember 2007 hingga Januari 2008 ini. Padahal bulan yang sama tahun-tahun sebelumnya tidak seperti ini.
“Kapal-kapal tidak berani berlayar, akibatnya Untan mengalami kerugian karena alat-alat laboratorium tidak bisa diangkut, dan mungkin perdagangan dan industri juga mengalami hal yang sama,” ungkapnya.
“Borneo Tribune baik mempelopori jurnalis lingkungan, saya kira sangat baik,” ujarnya.
Tahun 1987 Prof Dr. Lukman (alm) melaporkan dalam penelitiannya bahwa ada enam danau yang kering di Kapuas Hulu, mungkin sekarang jumlahnya lebih banyak lagi. Kerusakan lingkungan di Kapuas Hulu sudah parah luar biasa, baik yang disebabkan oleh perusahaan HPH, illegal logging, dan yang lebih parah ekspansi sawit yang terus berlangsung di kawasan penyangga Danau Sentarum.
Sementara itu, freelancer Borneo Tribune di Bonn, Jerman, Yanti Mardayanti, mengatakan, Jerman tidak lagi mengekspoitasi tambang mereka, walau mereka tahu potensi tambang mereka luar biasa, mereka mulai mengembangkan energi alternatif.
Chairil Effendy menimpal, presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika datang ke Kalbar beberapa waktu lalu sudah mengingatkan agar Kalbar tidak mengulangi kesalahan jalan di zaman presiden Soeharto saat membuka proyek 1 juta hektar lahan gambut di Kalteng.
“Kita harus memikirkan ada komunitas lain yang membutuhkan sumber daya alam yang masih ada itu, karenanya pembangunan yang berkelanjutan harus mempertimbangan menjaga lingkungan itu, karena berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu,” ujarnya.
“Ini usaha yang sangat mulia, jangan berpikir pola lama pertemuan harus dengan jumlah peserta ramai, tapi kualitas pena saudara, komputer saudara bisa memberikan pencerdasan bangsa,” ulas Chairil
Untan saat ini memiliki 15 ribu mahasiswa dengan 8 fakultas. Dulu fokus gambut dan lahan basah untuk penelitian ilmiah di lingkungan Untan, sekarang itu agak kita abaikan. “Kedepan kita cari terobosan, dan Fakultas MIPA punya kekuatan untuk itu, kita beri kesempatan kepada mereka mengembangkan penelitian mereka. Dan itu erat kaitannya dengan penyelamatan lingkungan,” katanya.

Road Show
Sementara itu, dalam pengantarnya, Nur Iskandar memaparkan upaya jurnalis kampanye penyelamatan lingkungan dengan melakukan road show yang dimulai dari Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kota Mempawah dan hari ini di Untan Pontianak.
“Bupati Sambas ingin selamatkan penyu hijau yang hanya ada di Kalbar. Artinya banyak ruang kosong jurnalistik yang bisa dilakukan siap pun, baik pejabat maupun masyarakat awam lainnya,” katanya.
Sementara itu, Yanti Mardayanti lebih banyak menceritakan penyelamatan lingkungan yang dilakukan nagara-negara Eropa, dan tempat lain dimana di ia pernah menetap.
Yanti yang juga sebagai pengajar di Universitas Bonn, Jerman adalah berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketika berbicara lingkungan, ia paham betul, karena keluarganya juga petani, “kakek saya petani tulen,” ujarnya.
“Kehidupan agraris bagian dari hidup saya, sejak tinggalkan Indonesia sejak 16 tahun lalu, akhirnya kembali kesana juga”.
“Saya pengen mendirikan rumah di Kalbar, kerana Jawa sudah terlalu krodit dan manusia sudah terlalu banyak. Bila terjadi global warning atau global change, beberapa pulau akan tengelam. Maka satu juta manusia akan tengelam,” jelas.
Saya bekerja untuk program pemberian bea siswa bagi ilmuan-ilmuan muda Indonesia di Jerman. Selain itu, saya juga ada program untuk anak-anak yakni, children campus.
Orang Jerman juga melamar beasiswa. Di Jerman S3 kuliah di luar kelas beda dengan Amerika yang mengambil kelas.
Propaganda lingkungan, universitas harus menjadi pusat kegiatan, pusat diskusi. Jadikan tradisi karena kekuatan universitas luar biasa. Coba lihat beberapa kejadian di Indonesia, semua berawal dari universitas.
Contoh jatuhnya Soeharto, coba kekuatan itu dibelokkan ke lingkungan. Jerman sangat rindu dengan orang hutan, mereka membicarakanya ibarat dongeng di tengah-tengah keluarga mereka.
“Saya mendukung Borneo Tribune yang memberikan kesempatan mulai dari anak-anak sampai perguruan tinggi untuk memberi ruangan menulis,” katanya.
Media Jerman sekarang deskritif, yakni tulisan yang menceritakan dan dilengkapi dengan riset.
Mahasiswa harus menulis, kerena menunjang dalam menulis skripsi. Dulu ada teman kuliah saya nilainya bagus indak prestasi (IP) 3 terus. Tapi setelah menulis jatuh bahkan bertahun-tahun tak kelar-kelar. Kalau menulis dari sementer awal, kuliah empat tahun selesai hingga skripsi, dan itu bisa dijamin.
Kondisi alam, Jerman ada hujan, Amerika juga hujan, tapi kalo Peru hanya amazonnya. “Saya cukup lama di Peru. Hanya orang-orang tertentu yang bisa punya taman, karena hanya mereka yang bisa beli air untuk menyiramnya,” ungkapnya.
Melihat daerah di dunia ini mana yang kaya dan miskin tampak dari kehijauannya. Hutannya yang lebat. Dan Indonesia khususnya Kalimantan Barat ini, saya lihat sangat kaya sekali dengan kehijauan alamnya. Itu tidak saya temukan lagi di Jawa.
Saya keliling kampus Untan tadi, dekat Fakultas Kedokteran banyak sampah, tapi kampusnya sudah luas bagus. Di Colombia University sampah memang tidak boleh ada dan itu tertib sekali. Aspresiasi alam, mereka sangat peduli.

Poros Pontianak-Bonn
Terhadap kemerosotan budaya menulis, Chairil punya pandangan bahwa kebiasaan penyampaian segala sesuatu secara lisan. “Nah tradisi itu sangat mengungkung kita, itu persoalan,” katanya.
“Jerman sudah masuk tradisi sekunder, sedangkan kita masih dalam tradisi primer atau bertutur,” tambahnya.
Sementara itu Deman Huri, mengkritisi media yang ada membuat tulisan sangat bias. Lalu masih menggunakan sumber yang kurang kompeten. Akademisi kurang muncul di media terkait kerusakan hutan.
“Harusnya media memanfaatkan kepintaran para peneliti dan pakar-pakar yang ada di Untan ini, mungkin mereka punya penelitian dan hasilnya tak pernah diketahui, karena tidak terekspos tadi,” kata Deman Huri.
Terhadap kritik Deman Huri, Chairil mengatakan, tradisi akademisi khususnya di Kalbar belum bangkit. “Kritik itu saya terima, tapi media massa harus memberi kesempatan dan ruang untuk publikasi hasil penelitian dosen-dosen kita,” papar Chairil.
Dampak dari kerusakan hutan lanjut Chairil, bukan soal penegakan hukumnya saja, tapi dampaknya perlu dijelaskan ke masyarakat.
“Akademisi kita memang harus perlu didorong lagi untuk bekerja tidak hanya di kampus, tapi juga di luar kampus dengan membuat banyak penelitian,” katanya.
Sekarang jurnalisme yang berkembang adalah jurnalisme ludah, hanya mengejar kutipan dari sumber saja, belum ada keinginan yang mendalam untuk mendalami suatu.
“Kedepan memang harus ada hal yang menggugah, tapi wartawan juga harus tahu tulisan mereka hanya seputar itu-itu saja seperti yang dibuat LPS Air itu memang betul, wartwan kita miskin sumber dan hanya mengutip omong orang tanpa croscek lagi,” kata Yasmin Umar, wakil Pemred Kapuas Post.
Dia juga mengkritisi Untan. Menurutnya, Untan agak lemah devisi humasnya, kita kerjasama dengan untuk lewat personal, tapi itu memang masih kurang.
Kampus memang punya peranan. Bila ada masalah sebaiknya lari ke kampus, sebab kampus punya pakarnya, dan itu tidak diketahui dan tidak ada jaringan. “Kedepan perlu jaringan berkala, hasil penelitian atau riset perlu dipublikasikan,” kata Yasmin lagi.
“Ide lingkungan sangat menarik bagi saya pribadi,” ujar Yantini. Pendidikan lingkungan sangat baik bagi ibu-ibu. Karena mereka akan membuat warning bagi anak-anak mereka sejak dini.
Sebab mereka jauh dari isu politik dan sebagainya, mereka bila bicara soal lingkungan dan langsung kepada ana-anak mereka, dan itu sangat mengena.
“Saya ada semangat perkebunan bagi anak-anak. Di ruang terbuka atau ruang public untuk lingkungan,” katanya.
Bicara lingkungan setakat ini memang lagi ngetren. “Beberapa waktu lalu kita mengagas milis ozon. Itu langsung dari kementrian lingkungan hidup,” ujar redaktur rubrik lingkungan Borneo Tribune, AA Mering.
“Agar diskusi kita hari ini berkesinambungan, dan tidak habis disini saja, sebaiknya kita bangun poros Pontianak-Bonn,” ujar Zulfidar dari radio Divasi.
“Poros Pontianak-Bonn itu penting. Tolong mbak Yanti memfasilitasinya. Karena kalau bicara lingkungan harus ada tindaklanjutnya, dan saya selaku pimpinan radio Divasi, siap melakukan kerja sama dengan radio di Jerman menyuarakan isu lingkungan tersebut,” katanya.
Terhadap usul Zulfidar tersebut langsung diiakan Yanti Mardiyanti.
“Saya setuju posos Bonn-Pontianak, akan saya bicarakan dengan universitas tempat saya bekerja. Tunggu saja hasilnya, akan saya komunikasikan lewat milis,” jawabnya.
Sementara itu, Ria dari kanopi Indonesia menceritakan salahsatu upaya penyelamatan lingkungan adalah dengan membuat film dokumenter. Seperti yang kami lakukan dengan membuat film dokumenter mengenai seorang dokter yang bertugas di Pulau Maya, Karimata Kabupaten Ketapang, dan itu masuk final festival film dokumenter yang diadakan Metro TV.
“Audio visual seperti film dokumenter itu memudahkan masyarakat memahami isu lingkungan yang semakin parah itu,” jelasnya seraya mengatakan ketika mereka merekam cerita dokter yang bertugas di Pulau Maya tersebut, dia berusaha dari kota dan bertugas di tempat terpencil dan jauh dari keramaian dan informasi.
Dengan segala kekurangan, dia sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat. Bahkan saking terpencilnya dokternya juga mengalami malaria.
Nah, kalau isu lingkungan juga dikemas dalam film dokumenter seperti itu, jelas memudahkan masyarakat memahami bahwa kerusakan lingkungan sangat berbahaya bagi kelangsungkan hidup mahkluk lainnya di dunia ini.□

1 komentar:

infogue said...

Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://www.infogue.com/lingkungan/jadikan_kampus_agen_penyelamatan_lingkungan/