BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Saturday, October 20, 2007

Saat Sang Saka tak lagi Berkibar


Oleh: Tanto Yakobus
Bila dibanding dengan daerah lain di bidang perfilman, Kalimantan Barat memang belum ada apa-apanya. Tapi di ajang kompetisi film dokumenter nasional, Kalbar boleh berbangga diri, sebab sudah dua tahun berturut-turut menjadi finalis.

Tahun 2006 lalu, para pemirsa televisi di Republik ini terkesima saat menyaksikan cerita tentang kehidupan dokter wanita muda (dr. Diana Bancin) yang bertugas di Pulau Maya–Karimata Kabupaten Ketapang (sekarang Kabupaten Kayung Utara). Setelah 9 tahun pulau itu tidak pernah ada dokter. Film yang disutradarai Deni Sofyan dan Lia Syafitri, dengan judul film “Amtenar–Sahaja Jasa Yang Terabaikan” berhasil masuk final.
Tahun 2007 ini, Kalbar kembali masuk final dengan film dokumenter yang berjudul “Saat Sang Saka Tak Lagi Berkibar”. Film tersebut garapan sutradara, P.S Riyanto Doloksaribu dan Niken Tia Tantina yang mengangkat cerita tentang perjuangan Katarina dalam mempertahankan perekonomian keluarganya dengan menjadi TKW di Malaysia, dan kondisi keluarga Martinus Murdin (Kepala Dusun) mewakili kondisi masyarakat di daerah terpencil perbatasan Indonesia-Malaysia.
EADC (Eagle Award Documentary Competition) adalah even kompetisi pembuatan film dokumenter pemula untuk anak muda Indonesia yang diselenggarakan oleh Metro TV bekerjasama dengan Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI). Kompetisi ini sudah diselenggarakan sebanyak tiga kali sejak tahun 2005, diadakan setiap tahun bertujuan untuk mendidik generasi muda Indonesia yang mempunyai ketertarikan dan potensi .
Tema yang diangkat tahun ini adalah : Hitam Putih Indonesiaku, untuk mengungkapkan cerita tentang perjuangan menghadapi masalah kemiskinan dilihat dari perspektif pendidikan dan kesehatan. Dengan tema ini, diharapkan pembuat film mampu mengangkat cerita tentang kemiskinan yang dapat memberikan inspirasi untuk mengangkat bangsa dan Negara Indonesia ke tingkat kehidupan yang lebih baik.
Kompetisi ini memperebutkan 3 kategori, yaitu : Film Terbaik (penjurian), Film dengan Ide Cerita Terbaik (penjurian), dan Favorit Penonton (polling SMS).
Proses terbentuknya film
Dalam kompetisi ini, yang dilombakan adalah ide cerita yang diangkat oleh peserta kompetisi. Peserta berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Setelah melalui penyisihan administrasi, dewan juri awalnya menetapkan 20 peserta dari 290 pendaftar yang diseleksi melalui proses wawancara via telepon, yang kemudian diseleksi menjadi 10 peserta.
Setelah didapatkan 10 semifinalis selanjutnya dilaksanakan pitching forum, yaitu setiap peserta mempresentasi ide cerita dan hasil-hasil riset awal yang telah mereka lakukan. Pitching forum dilaksanakan di studio Metro TV. Peserta mempresentasikannya di hadapan empat orang juri penilai, semuanya dengan latar belakang orang-orang yang bergerak di bidang perfilman, baik film dokumenter maupun film layar lebar.
Dari sepuluh semifinalis tahun ini, sebenarnya Kalbar sudah berhasil meloloskan 2 kandidat, yaitu pasangan Budi dan Deni, dan pasangan P.S. Riyanto Doloksaribu dan Niken Tia Tantina. Namun keputusan dewan juri pada penyeleksian di pitching forum ini hanya satu dari Kalbar yang lolos menjadi finalis, yaitu pasangan P.S. Riyanto Doloksaribu dan Niken Tia Tantina.
Selanjutnya, kelima pasang finalis mendapatkan beasiswa untuk kelas mengenai penyutradaraan dan proses pembuatan film dokumenter, tutor-tutor adalah pembuat-pembuat film dokumenter profesional yang sekaligus berperan sebagai pendamping (supervisor) bagi masing-masing finalis (sutradara) dalam memproses ide ceritanya menjadi sebuah film dokumenter.
Kelas langsung dilaksanakan selepas dari pitching forum. Setelah materi-materi diberikan finalis sekali lagi melakukan riset ke lokasi pembuatan film. Dari hasil riset lokasi terakhir, para finalis diberikan kelas untuk persiapan melakukan proses shooting (selama 10 hari), produksi film berakhir pada proses editing (selama 2 minggu) di Jakarta.
Ide cerita
Ide cerita yang diangkat dari Kalbar adalah mengenai “kondisi keterpencilan daerah pedalaman di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, menyebabkan kehidupan ekonomi masyarakat lebih tergantung pada Malaysia”. “Lokasi shooting film di dusun Mangkau, Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau,” ungkap sang sutradara, Riyanto, dalam realeasenya yang dikirim ke Borneo Tribune tadi malam.
Indonesia sudah cukup banyak memiliki kasus-kasus menyangkut hubungan bilateral dengan Malaysia khususnya yang berkenaan dengan pelanggaran tapal batas kawasan dan Negara, mulai dari illegal logging, human trading, sampai kepada penggeseran patok batas, dan pencurian pulau. Yang terlihat jelas di daerah-daerah pedalaman, khususnya yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga, adalah kurangnya fasilitas dan perhatian untuk pengembangan kawasan. Baik fasilitas akses seperti jalan, fasilitas yang menyangkut dengan pengembangan SDM yaitu pendidikan sebagai pondasi pembangunan Negara seperti sekolah dan tenaga pengajar, dan perhatian terhadap lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja.
Berhubungan dengan tema besar yang diberikan Metro TV “Hitam Putih Indonesiaku”, di lokasi pembuatan film, kondisinya cukup mengkhawatirkan. Hitamnya Indonesia terlihat dari minimnya fasilitas, lapangan pekerjaan, kesulitan mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan. Namun Putihnya Indonesia terlihat dengan masih adanya rasa nasionalisme dan kesetiaan untuk mempertahankan harga diri sebagai warga Indonesia. Masih ada harapan untuk Indonesia. Tapi, sampai berapa lamakah rasa nasionalisme itu dapat bertahan jika kondisi semakin lama semakin terpuruk? Siapa lagi yang akan mempertahankan tanah kita?
Riyanto menuturkan, dari awal proses pembuatan film, banyak pembelajaran yang didapatkan, mulai dari bagaimana mengembangkan ide cerita dengan menganalisa hasil pengamatan dan data yang berkaitan dengan subjek cerita dan lokasi, dan diolah menjadi alur cerita dan script. Mereka juga mendapatkan pembelajaran bagaimana mengkoordinasikan tim kerja mulai dari tim riset, shooting (cameraman), hingga proses editing (editor). “Selama proses berlangsung, setiap kelompok finalis mendapatkan seorang supervisor yang diikutsertakan untuk mendampingi dan memberikan masukan selama proses pembuatan film berlangsung,” katanya.Lebih lanjut Riyanto dan Niken mengatakan, kendala terbesar dalam pembuatan film documenter tersebut adalah pada saat proses shooting berlangsung. Jadwal shooting hanya diberikan selama 10 hari untuk dilaksanakan di tiga lokasi, yakni Kuching Malaysia, Dusun Mangkau, dan Dusun Entabang. Shooting script yang sudah dibuat tidak bisa digunakan karena tokoh utama yang awalnya direncanakan, Ibu Ningsih (guru satu-satunya) di dusun Entabang harus segera berobat keluar dari kampungnya, dan itu sudah memasuki hari keempat. Pada hari itu shooting tidak berlangsung, dan pada hari itu juga terjadi diskusi yang panjang antara sutradara dan supervisor untuk membuat alur cerita dan shooting script yang baru dan tetap pada koridor tema yang diberikan. Tokoh Katarina yang awalnya adalah tokoh pelengkap menjadi tokoh utama dalam alur cerita yang sudah jauh berubah dari yang semula direncanakan. Untuk merangkai cerita, diputuskan untuk menambah satu lokasi shooting, yakni kampung Tepoi Malaysia. Dan judul filmpun berubah yang semula “Saat Sang Saka Kembali Berkibar” menjadi “Saat Sang Saka Tak Lagi Berkibar”.□

versi cetak dimuat di Borneo Tribune tanggal 20 Oktober 2007

2 komentar:

uLi said...

Saatnya anak bangsa melakukan yang terbaik sesuai kapasitas nya. memberikan kontibusi untuk Indonesia tidaklah harus menunggu menjadi pejabat pemerintah dan orang2 penting yang punya nama dan posisi. yang patut diperhatikan adalah fungsi, bagaimana memulainya dari hal2 kecil di sekeliling kita, seperti yang disebutkan pada acara eagle award tadi malam 'dengan melakukan yang terbaik dalam setiap apapun yang kita lakukan dan dengan menyisipkan kata Indonesia dalam setiap doa2 kita'. setiap daerah membutuhkan individu2 yang punya beban dan keinginan untuk memperbaiki komunitas tersebut. bisa dimulai dengan hal2 kecil, mis membuang sampah pada tempatnya, memperhatikan penggunaan energi hemat listrik selain melalui belajar/bekerja dengan sepenuh hati sebagai contoh dalam skup individu. selain itu bisa lewat menulis artikel, membuat film dokumenter untuk skup yang lebih luas.

aq sendiri gak nyangka film abang kandungku PS. Riyanto Doloksaribu (panggilang: b'anto) memenangkan kategori film dengan ide terbaik. thanks God for this. aq belajar dari hidupnya - sangat sederhana, apa adanya tp benar2 menekuni apa yang dilakukan. untuk merealisasikan pembuatan film dokumenter dengan judul 'Sang Saka Tak Lagi Berkibar' b'anto dgn rekan2 tim pembuatan film rela tinggal di pedalaman sanggau dan entikong untuk mengenal kondisi dan mengenal permasalahan daerah setempat, menginterview kepala sekolah, penduduk lokal dan siswa/i di sekolah yang jadi objek film. they did it with passion.

di balik hitamnya Indonesia, masih ada putih yang masih dan akan terus memberi harapan.. masih ada seorang Bpk Waras yang jujur, masih ada seorang suster apung yang berjuang di atas gelombang air, masih ada Intan yang mau memulai membangkitkan inspirasi pembuatan film dokumenter aceh (pls follow up). siapa berikutnya? how beautiful this life would be if we all know what we do and more importantly to love what we do.

salam,
yulia

Master of Arts in International Relations student
Australian National University
Canberra Australia

heart of heaven said...

what a lovely indonesia!

utk penulis, keren banget tulisannya euy! thanks ya udah nulis ttg EADC - sang saka...soale yg di koran lain dan metro, kurang lengkap.

ciao!
krue seumangat!!


N.