BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Tuesday, September 11, 2007

Rumah Suku Dayak, Tidak Sekedar Hunian


Teks: Kondisi rumah betang suku Dayak di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto by Alexander Mering/Borneo Tribune.

by Miskudin Taufik

Ekspedisi Muller dan Sachwanerm bersama satu batalyon tentara kolonial di belantara Kalimantan, awal abad ke-18 lalu, menyimpulkan rumah bagi Suku Dayak tidak lain adalah benteng pertahanan kelompok.
Kedua bersaudara asal Jerman yang dikontrak pemerintah Belanda itu tidak hanya memaknai rumah tinggal Suku Dayak sebagai tempat tinggal dan tempat beranak pinak saja, tapi memiliki dimensi politis.


Analisis Muller dan Sachwaner itu, boleh jadi merupakan refleksi dari hasil temuan seorang militer yang kala itu sedang dalam kancah peperangan, walaupun keduanya merupakan pakar kedokteran dan botani.
Berbentuk rumah panjang yang mirip dengan asrama tentara, bertiang tinggi, memiliki jendela pengintai serta memiliki pintu ganda untuk evakuasi, merupakan alasan yang pernah dikemukakan prajurit sewaaan itu, seperti yang diungkap dalam disertasi "Menyingkap Misteri Rumah Suku Dayak", karya Dr Idwar Saleh, antropolog asal Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
"Kesimpulan pendapat dari kedua penjelajah hutan Belantara itu, bukan sekedar hasil temuan ilmiah semata tetapi mengandung `pesan khusus` bagi kepentingan politik Belanda," kata Saleh.
Pemerintah Kolonial selama berabad-abad memang memandang rumah tinggal suku Dayak tidak lain sebagai sarang musuh yang harus dihapuskan.
Karena itu oleh kaki tangan kaum penjajah, suku-suku Dayak sengaja diprovokasi untuk saling berseteru.
Ini berbeda dengan rumah penilaian para peneliti terhadap rumah tinggal suku terasing di belantara Papua. Oleh para peneliti Belanda, rumah suku-suku di Papua disimpulkan "hanya" sebagai simbol kebudayaan.
Pandangan yang tidak ekstrim ini, ternyata didasari rendahnya kadar ancaman suku-suku Papua terhadap pemerintahan kolonial.
Logika yang dikemukakan Dr Idwar Saleh, boleh jadi terkait dengan kepentingan Belanda yang satu sama lain memandang berbeda antara pulau-pulau koloninya.
"Belanda saat itu memang sangat khawatir terhadap ancaman keamanan di Kalimantan, yang saat itu sedang dieksploitasi tambang minyaknya, terutama di Tarakan, Sanga-Sanga, Handil, Balikpapan, Pasir dan Murung Pudak."
Sebaliknya, hingga menjelang Perang Dunia ke-II, Belanda hanya memosisikan Papua, sekedar sebagai lokasi pertahanan dari ancaman serangan di Pasifik, sekaligus sebagai ajang kegiatan kalangan misionaris untuk menandingi makin maraknya kegiatan dakwah di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Suku-suku di Papua, umumnya juga tersebar saling berjauhan satu sama lain.
Suku Butubonu misalnya, membangun rumah panggung sebagai instrumen kesatuan komunal. Sebuah rumah suku Butubonu umumnya dihuni 10 hingga 15 keluarga atau sekitar 50 jiwa, sehingga bagi Belanda dinilai tidak cukup potensial untuk mengancam kekuasaan mereka.
Berbeda dengan rumah panjang suku Dayak yang bisa menampung 800 jiwa atau hampir mendekatan kekuatan satu batalyon kompeni.

Selalu menghadap sungai.
Walaupun antar komunitas suku Dayak yang tinggal di wilayah Selatan, Tengah, Barat dan Timur pulau, awalnya tidak pernah terjadi persinggungan budaya, namun arsitektur dan posisi rumah mereka selalu menghadap ke sungai atau sumber mata air.
Kalau di Tana Toraja, rumah panggung dikenal dengan nama Tongkonan dan di Minangkabau bernama Rumah Gadang, suku Dayak memberi nama berbeda-beda sesuai letak geografis masing-masing.
Suku Dayak yang tinggal di Selatan sering menyebut "balai", di bagian Barat dan Tengah menyebutnya dengan "betang" dan di bagian timur "lamin". Apapun sebutannya namun secara fisik memiliki persamaan yaitu berupa bangunan besar ukuran panjang antara 30 sampai 150 meter dan lebar 10 hingga 30 meter dan bertiang tinggi antara 3 sampai 4 meter.
Sama dengan letak yang selalu dekat sungai, hingga kini belum terpecahkan, mengapa tipologi rumah Suku Dayak harus dibuat besar mirip barak militer tanpa mempertimbangkan faktor privasi antar keluarga.
Tetapi dari alasan teknis dibuat tinggi dari permukaan tanah tidak lain adalah untuk pertimbangan menjaga serangan binatang buas atau serangan musuh, selain pemanfaatan lahan yang biasanya untuk tempat bermain anak, gudang, menumbuk padi, menyimpan perahu atau sesekali untuk upacara adat.
Bangunan rumah selalu mempergunakan material kayu yang tahan panas dan tahan hujan. Biasanya dipergunakan kayu Ulin ("eusideroxylon zwagery") yang satu sama lain dirangkai tanpa mengunakan paku atau baut tetapi lazimnya menggunakan pasak dari jenis kayu yang sama. Sedangkan atapnya menggunakan sirap.
Rancang bangun Balai, Betang atau Lamin, biasanya terdiri dari bagian-bagian penting seperti tangga, pelataran, anjungan, ruang utama, ruang keluarga, ruang tidur, dapur dan gudang logistik.
Sedangkan untuk buang hajat atau mencuci dan mandi biasanya terpisah dari bangunan rumah.
Khusus untuk ruang tidur, biasanya memiliki fungsi ganda sebagai tempat privasi sekaligus untuk menyimpan perhiasan atau peralatan perang seperti mandau, tombak, sumpit atau racun yang sering digunakan untuk berburu binatang atau peperangan.
Rata-rata tinggi dinding dibuat paling sedikit 4 meter guna menjaga sirkulasi udara, sedangkan daun pintu biasanya mengikuti tinggi dinding yang kadang-kadang sampai 3 meter sementara daun jendela 2 meter.
Walaupun pintu rumah Suku Dayak biasa selalu terbuka, namun untuk menjaga keamanan dibuat kunci pengaman dari kayu ulin yang lazim disebut dengan "sesunduk lawang", batangan kayu mirip alu yang diletakan diatas dudukan sebagai penyangga daun pintu.
Antara satu suku dengan suku Dayak lainnya memiliki ciri khas dalam membuat ornamen rumah, termasuk ukiran-ukiran pada teras depan, tiang pagar teras, tangga maupun bentuk bubungan atap. Namun khusus untuk peletakan gagang pintu maupun jendela memiliki kesamaan, yakni selalu berada pada bagian kiri agar memudahkan tangan kiri untuk memegangnya.
Rancangan ini merupakan bentuk "kesiagaan" suku Dayak yang selalu mempersilahkan tamunya dengan tangan kanan, walaupun sedang memegang senjata mandau atau tombak.
Jika ujung mata mandau atau tombak mengarah ke bawah, maka ini berarti bentuk penghormatan untuk mempersilahkan tamunya masuk. Tetapi jika sebaliknyanya, berarti bentuk penolakan yang tidak bisa ditawar-tawar.Antara□

Versi cetak dimuat di harian Borneo Tribune (11/9)

0 komentar: