BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Sunday, September 16, 2007

Menulis, Menulis dan Menulis Lagi

By Tanto Yakobus


Untuk menjadi penulis yang handal, tidak ada jalan lain selain menulis. Ya menulis dan menulis adalah cara terbaik untuk melatih kemampuan seseorang untuk menjadi penulis. Tentu keterampilan menulis mesti dibarengi juga dengan pemahaman jurnalistik yang memadai.

Di masyarakat kita, masih ada anggapan bahwa menulis adalah kerjaan wartawan saja. Menurut saya, anggapan itu sudah usang, sekarang siapa pun bisa menulis apakah dia wartawan, pejabat, dosen, guru, peneliti, aktivitas, pelajar, mahasiswa dan lain-lain. Asal ada kemuan dan punya sedikit keterampilan menulis.

Apalagi sekarang sudah zaman canggih. Kalau dulu orang menulis mengandalkan pulpen, lalu mesin tik. Tapi sekarang masyarakat sudah sangat familiar dengan komputer. Bahkan beberapa instansi baik pemerintah maupun swasta sudah menerapkan sistem kerja standar komputerisasi. Bagi saya itu sangat membantu dunia tulis menulis.

Memang banyak ragam dan bentuk tulisan yang lazim digunakan para penulis. Dan model itu tergantung dia menulis untuk siapa, apakah untuk dokumen, penelitian atau untuk kebutuhan berita (media elektronik maupun cetak). Dan yang kita temukan sehari-hari memang untuk keperluan berita tersebut.

Dari banyak ragam bentuk tulisan itu, saya ingin mengkrucutkan pemahaman kita pada bentuk penulisan feature. Penulisan dalam bentuk feature bisa digunakan di media apa pun, baik koran, majalah maupun jurnal atau laporan penelitian, termasuk elektronik sekalipun.

Sebab fiature adalah bentuk tulisan yang dalam dan enak untuk disimak. Kisahnya deskriptif, memaparkan peristiwa secara objektif, sehingga bisa membangkitkan bayangan-bayangan kejadian yang sesungguhnya kepada pembaca.

Redaktur senior majalah Gatra, Yudhistira ANM Massardi, dalam beberapa karyanya mengatakan, feature bukan karya fiksi, tapi karya jusnalistik. Karenanya, featur harus memiliki satu makna, satu arti, tidak seperti karya sastra yang banyak arti tergantung si pembacanya.

Tapi menurut saya, agar feature itu punya makna, juga tergantung si penulisanya. Kadang-kadang feature juga bisa fiksi. Sebab tak jarang menggunakan sumber anonim—sumber yang tidak disebutkan jelas identitas pelakunya. Bila itu terjadi, maka laporannya juga bisa dikategorikan fiksi.

Oleh karena itu, si penulis feature harus benar-benar membuat laporan yang basah. Tulisian yang narative. Sebab feature juga lazim disebut karya “sastra jurnalistik” karena sangat bertumpu pada kekuatan diskripsi yang mampu mengambarkan situasi dan suasana secara rinci, hidup, berkeringat (basah), beraroma, membuka pintu akal, membetot perhatian, meremas perasaan, sehingga imijinasi pembaca terbawa ke tempat peristiwa.

Dengan demikian, untuk melulis feature yang baik, maka penulis harus fokus pada peristiwa atau kejadian, gunakan bahasa yang lugas dan tidak bertele-tele. Seperti membuat judul yang menggoda, lalu kalimat pembuka (lead atau kepala) yang menggigit, kemudian hiasi tubuh berita atau cerita dengan ungkapan dan kutipan yang mengelitik, selanjutnya buat akhir cerita dengan sentakan yang memabukkan.

Menurut Williamson, ada lima unsur dalam penulisan feature, yakni: Pertaman, keativitas (creativity). Laporan feature harus mengkreasikan sudut pandang penulis berdasarkan riset terhadap fakta-fakta yang telah ditelusuri. Kedua, subjektivitas (subjectivity). Sangat mungkin menggunakan sudut pandang orang pertama, atau “saya” dengan emosi campur nalar, sebagai cara mendapatkan fakta-fakta.

Ketiga, informatif (informativeness). Materi laporan tentang hal yang ringan, namun berguna bagi masyarakat. Seperti situasi saat peristiwa terjadi dan tidak diliput media lain. Keempat, menghibur (entertainment). Laporan harus berwarna-warni terhadap berita-berita rutin seperti pembunuhan, selingkuh, bencana alam dan lain-lain, sehingga pembaca larut dalam kesedihan atau malah tertawa terbahak-bahak.

Dan yang kelima, tidak bibatasi waktu (unperishable). Bahwa feature tidak lapuk dimakan deadline atau waktu, karena topiknya dibahas secara mendalam. Jadi tulisan yang berbentuk feature walau sudah ditulisan beberapa lama bahkan tahunan bila dibaca terasa kejadiannya baru kemaren.

Struktur tulisan feature cukup panjang. Penyajiannya terbagi dalam tiga bagian yakni: Awal (beginnings), tengah (middles), dan akhir (ends). Ketiga bagian ini mesti menyatu dalam keutuhan yang padu. Jadi laporannya tidak bisa dipotong-potong begitu saja. Editing feature harus hati-hati, bila ceroboh akan merusak seluruh isi tulisan.

Disamping itu, feature juga harus orisinal karena muatan isinya mengandung nilai human interest. Human interest disini berarti segala apa yang menjadi minat, perhatian, atau kepentingan masyarakat.

Karenanya, dalam menulis feature justru mementingkan deskripsi. Sebab deskripsi membangkitkan bayang-bayang kejadian sesungguhnya di benak pembaca. Itulah yang membuat feature punya daya greget. Greget kerana orisinalitas dari laporan dan pendeskripsiannya. Namun penulis juga harus patuh pada standar jurnalistik, yakni verifikasi informasi atau fakta atau peristiwa.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cantiknya sebuah buku bila ditulis dalam bentuk feature. Nah siapa pun boleh mencoba. Siapa pun bisa menjadi penulis, asal ada kemauan untuk menulis. Ilmunya tak ada lain selain menulis dan menulis lagi.□

2 komentar:

Inev said...

hi mas, pakabar? wah, menarik nih. saya juga sebetulnya senang menulis, skrg lagi terlibat langsung dalam bulletin suatu organisasi. tapi ya bahasanya sih masih std aja. hehe... maklum masih belajar. nanti kapan2 boleh saya kirim ke mas Tanto ya untuk di-review. bgmn?

Tanto Yakobus said...

buat ine sena, bagus kalau ada minat menulis......, silakan kirim ke aku naskahnya. nanti aku koreksi deh.....
salam