BERPEGANGLAH PADA DIDIKAN, JANGANLAH MELEPASKANNYA, PELIHARALAH DIA, KARENA DIALAH HIDUPMU...Amsal 4:13

Monday, June 25, 2007

Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan

Gubernur Kalimantan Barat H Usman Ja’far siang ini akan membuka Pekan Gawai Dayak dan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan. Pembukaan tepat pukul 12.00 WIB dipusatkan di Betang, Jalan Sutoyo.Seusai pembukaan gubernur akan melepas display budaya. “Display budaya ini melibatkan semua etnis yang ada di Kalbar termasuk kontingen Kalteng, Kaltim, Kalsel dan Sabah,” ungkap Martinus Sudarno, sekretaris umum panitia.Rute yang akan dilewati iring-iringan display budaya, setelah start di Betang, masuk ke Jalan A Yani, lalu masuk Jalan Veteran, Gajahmada, Diponegoro, Tanjungpura, Pahlawan, dan kembali ke Betang.“Kita ingin menampilkan semua budaya yang hidup dan berkembang di Kalbar ini melalui display budaya, bukan hanya budaya Dayak saja, tapi etnis lainnya juga, seperti Melayu, Madura, Tionghoa, Batak, Bugis, Jawa dan lain-lain,” ujar Sudarno.Rencana semula, Gawai Dayak dan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan akan dibuka Menteri Pariwisata RI, Jero Watjik. Namun kabar terakhir diterima panitia bahwa Watjik masih berada di luar negeri, maka gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah yang akan membuka acara dimaksud.Pekan Gawai Dayak sudah sering digelar di Kalbar. Bahkan Sekberkesda (Sekretaris Bersama Kesenian Dayak) telah menetapkan pelaksanaan Pekan Gawai Dayak pada setiap tanggal 20 Mei. Sudah masuk kalender tahunan pariwisata Provinsi Kalimantan Barat.Pada pagelaran Gawai Dayak tahun 2006 lalu, panitia pelaksana bersama Dinas Pariwisata mengundang Direktorat Tradisi Direktoral Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departeman Kebudayaan dan Pariwisata RI. Sejak tahun lalu, Gawai Dayak masuk kalender pariwisata Kementerian Pariwisata RI. “Tapi dalam pelaksanaannya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengusulkan kegiatannya mencakup Kalimantan, maka dilaksanakanlah Gelar Budaya Dayak Kalimantan untuk yang pertama kali ini,” jelas Fredrik Kuyah, ketua umum panitia pelaksana beberapa waktu lalu.Senada dengan Fredrik Kuyah, Kadis Pariwisata Provinsi Kalbar, Rihat Natsir Silalahi mengatakan, Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan ini merupakan yang pertama kali digelar. “Kita patut bersyukur dipercaya sebagai tuan rumah pertama,” katanya.Sebagai tuan rumah, kita hendaknya menjaga ketertiban dan keamanan daerah, baik selama gawai berlangsung maupun setelah kegiatan. “Ini kegiatan pariwisata, banyak manfaat yang bisa diambil dari gawai ini. Selain mengundang orang untuk membawa uangnya ke Kalbar, juga peluang usaha bagi pengrajin memperkenalkan produknya,” jelas Rihat.Karena ini terkait dengan program Kementerian Pariwisata, maka pendanaan juga dari Kementerian Pariwisata. “Pelaksanaannya tetap diserahkan kepada masyarakat Dayak selaku tuan rumah dan juga yang tahu dengan budayanya sendiri. Kita sifatnya fasilitator saja,” ungkap Rihat dalam jumpa pers bersama panitia tiga hari lalu.Beraneka permainan rakyat dan budaya lokal yang akan ditampilkan dalam Pekan Gawai Dayak dan Gelar Budaya Dayak. “Setiap kontingen atau utusan daerah masing-masing sudah siap tampil, termasuk dari Kalteng, Kaltim dan Kalsel,” ungkap Yosehp Odillo Oendoen, bidang pementasan dan pertunjukan.Menurutnya, selain menampilkan budaya dan permainan rakyat, juga akan dipilih Bujang dan Dara Gawai 2007. “Bujang dan Dara Gawai ini nantinya akan menjadi duta pariwisata daerah. Mereka punya tanggung jawab mempertahankan dan melestarikan budaya daerah khususnya Dayak,” katanya.Saya kemarin sempat berkunjung ke arena gawai di Betang. Kesiapan panitia sudah matang. Kontingen dari Kalteng-Kaltim dan Kalsel juga sudah datang, termasuk dari kabupaten/ kota. Demikian juga dengan stand-stand yang khusus menyediakan makanan dan minuman, tertata rapi di bagian belakang Betang. Sedangkan bagian depan Betang sengaja dikosongkan untuk kegiatan dan tempat penonton. Lalu stand pameran panitia ditempatkan di lingkungan Museum Negeri Jalan A Yani, Pontianak.Lazimnya orang Dayak zaman dahulu, sebelum memulai sesuatu harus permisi dulu dengan penguasa alam atau Jubata (Tuhan). Karenanya, sebelum gawai dimulai, panitia sudah permisi dengan menggelar upacara adat Ngampar Bide, Jumat dua hari lalu. Maksudnya agar selama kegiatan gawai berlangsung, dijauhkan dari segala bencana dan musibah.

Baca Selengkapnya..

Sunday, June 24, 2007

Latihan Cetak Borneo Tribune

Teknisi mesin web dari Jakarta, Tommy, tengah meneliti ketajaman warna dan simetris ukuran kolom dalam suratkabar Borneo Tribune pada edisi cetak percobaan. Sebelum lauching tanggal 19 Mei 2007, kru redaksi, pracetak dan percetakan sudah berjibaku dengan deadline untuk mengejar mutu saat lauching.
foto: AA Mering

Baca Selengkapnya..

Dian Sastro

Dian Sastro

Baca Selengkapnya..

Friday, June 22, 2007

Mengejar Mimpi dengan Paket C

Tak lulus ujian nasional tidak lantas membuat Dwi Juniati (18) siswi SMKN 1 Pontianak ini larut dalam kesedihan. Berkat dukungan orang tua dan teman-temannya, ia memutuskan untuk mengikuti ujian paket C.
“Lulus paket C masih bisa dipakai untuk kuliah maupun untuk mencari kerja,” ujar Dwi--demikian panggilan akrabnya di ruang redaksi Borneo Tribune, Jumat (22/6) dua hari lalu.
Menurut warga Jalan Karya Kota Baru ini, saat pengumuman kelulusan lalu, dirinya jatuh di mata pelajaran matematika dari tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional.
“Saat pengumuman kelulusan kemarin, saya jatuh di mata pelajaran matematika. Nilainya hanya 2,46, sedangkan untuk pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, nilainya diatas standar,” kesal Dwi.
Padahal jauh hari sebelum ujian, pihak sekolah maupun dirinya pribadi sudah mempersiapkan diri. Di sekolah guru mengadakan les privat dengan membahas soal-soal ujian nasional tahun sebelumnya, sementara di rumah Dwi mengaku sudah belajar maksimal untuk menghadapi ujian tersebut.
“Mungkin sudah nasib saya, beruntung teman-teman yang lulus mendorong saya agar tidak putus asa. Mereka ingin saya maju terus dengan mengikuti paket C,” cerita Dwi.
Awalnya, lanjut Dwi, dirinya sempat down, sedih dan kecewa pada diri sendiri. Tapi di tengah kekecewaan itu, teman-teman pada nasihati, kan masih ada ujian paket C. “Dwi kamu jangan putusa asa, ikut ujuan paket C aja. Kan masih bisa dipakai kuliah dan mencari kerja,” kata Dwi menyetir teman-teman sekelasnya.
Maka pada tanggal 19-21 Juni 2007 kemarin, Dwi bersama puluhan siswa yang tidak lulus ujian nasional di Kota Pontianak ini mengikuti ujian paket C.
Walau belum mengetahui hasil ujian paket C, namun Dwi mengaku ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia pun menargetkan ikut mendaftar di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak. “Saya ingin kuliah di Untan sambil kerja,” kata anak kedua dari tiga bersaudara itu.Lebih jauh Dwi mengatakan, orang tuanya yang saat ini bekerja di PT Alas Kusuma sangat mendukung langkahnya mengikuti ujian paket C. “Orang tua senang saya tetap punya keinginan untuk kuliah, walau kemarin tidak lulus. Makanya saya ingin membuktikan paket C juga bisa untuk kuliah,” katanya lagi.

Baca Selengkapnya..

Langkah-langkah Kecil Menuju Masa Depan Ceria

“Papa, papa bangun. Papa, papa bangun antarkan adek ke sekolah, hari ini adek perpisahan,” teriak Vivi (3,5) anakku berkali-kali ruang tamu rumahku.
Pekikan melengking anakku yang khas itu akhirnya membangunkan aku dari tidur. Maklum semenjak menyunting Borneo Tribune, tiap malam aku tidur agak larut. Dan teriakan bangun dari anakku pun sudah jadi langganan tiap pagi. Papanya agak telak sih bangunnya.
Kamis (21/6) kemarin, adalah hari perpisahan di Play Group Agustin. Setahun yang lalu (2006), aku menitipkan anakku untuk belajar di play group yang terletak di Jalan Raja Wali Pontianak itu. Play group ini diasuh oleh suster-suster Ordo Santo Agustinus (OSA). OSA sendiri berkedudukan di Ketapang.
Karena hari itu hari perpisahan, aku lihat wajah anakku ceria sekali. Aku tidak tahu apakah keceriaannya itu karena sebentar lagi ia akan menghakhiri pendidikan di play group atau mau ketemu teman-temannya yang pakai baju baru? Atau memang dia belum mengerti. Hanya tahu kata perpisahan!
Bangun dari peraduan, aku melihat jam di dinding masih menunjukan pukul 05.30 WIB. Tapi anakku sudah siap dengan pakaian pesta. Aku sempat pura-pura bertanya, “adek mau kemana?”
“Hari ini kan perpisahan di sekolahan adek,” jawabnya.
“Papa bangunlah antarkan adek,” katanya lagi.
Aku pun bangun dan membersihkan diri.
Setelah minum secangkir kopi, tepat pukul 07.30 aku bersama isteri (Indri), anak tertuaku (Cesar) dan Vivi berangkat menuju sekolah. Di sekolah memang sudah ramai teman-teman perempuannya dengan baju pesta semua. Sementara yang laki berpakaian rapi dengan topi dari kertas di kepala mereka.
Bahkan Cesar, anakku yang sudah SD izin dengan gurunya tidak masuk karena ingin menyaksikan perpisahan di sekolah adiknya.
Acara perpisahan selain diisi dengan hiburan dari anak-anak play group sendiri, juga ada penyerahkan kembali anak dari suster ke orangtua. (waktu masuk juga ada acara penyerahan dari orangtua murid ke suster selaku pengelola play group).
Walau masih berumur tiga tahun lebih, aku menyaksikan mereka sudah bisa berbagi cerita. Perbincangan mereka tak lain, seputar kelanjutan sekolah.
“Vivi nanti sekolah ke TK mana?” tanya Teri.
“Aku sekolah di TK Suster,” jawab Vivi.
Teman-teman lain juga cerita yang sama. Beragam TK yang di sebutkan dalam obrolan bocah-bocah itu. Ada yang ke TK Karya Yosef, ada ke TK Bruder Melati, ada yang ke TK Tunas Bangsa dan banyak lain TK yang disebutkan oleh bocah-bocah lucu itu.
Aku sempat membayangkan, umur segini sudah bisa membayangkan pendidikan lanjutan. Beda dengan aku dulu, sampai umur delapan tahun belum terpikirkan yang namanya sekolah.
Memang yang memilih TK itu para orangtuanya, tapi anak-anak ini terlihat antusias membicarakan langkah mereka selanjutnya.
Bila diukur dengan waktu berapa ribu langkah mereka bisa mengapai perguruan tinggi. Mungkin sekarang mereka belum berpikir sampai sejauh itu. Tapi bila melihat umur mereka yang baru tiga empat tahun ini, lalu 20 tahun kemudian, berapa puluh langkah bahkan ribuan langkah yang mereka jalani untuk mengapai cita-citanya.
Memang segala sesuatu agar menjadi besar dimulai dari hal yang kecil-kecil dulu.
Demikian juga dengan anak-anak ini. Mereka memulainya dengan langkah-lankah kecil untuk menuju masa depan yang ceria.

Foto: Vivi bersama Sr Flugensia saat kunjungan Play Group Agustin ke Panti Asuhan Theresa Bhakti Batulayang.

Baca Selengkapnya..

Monday, June 11, 2007

Company Profile 'Borneo Tribune'

Kalimantan sebagaimana terungkap dari literatur-literatur ilmiah dikenal penduduk dunia sebagai pulau terbesar ketiga setelah Green Land dan Papua. Pulau ini mengandung kekayaan yang luar biasa, baik dipandang dari aspek sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun kekayaan kulturalnya.

Karena kekayaan Kalimantan yang begitu besar berbagai persoalan juga terdapat di sini. Mulai dari eksploitasi sumber daya alam yang terkait politik, ekonomi, pertahanan-keamanan hingga konflik antaretnis.
Media massa sesungguhnya mempunyai peranan besar menjembatani berbagai kepentingan di Kalimantan, sehingga yang mencuat adalah manfaat bersama dengan kesejahteraan bersama, bahkan untuk kemajuan bersama. Harian Borneo Tribune lahir sebagai watchdog atas kontrol sosial

sehingga setiap individu di Bumi Kalimantan dapat berperan serta dalam pembangunan secara aktif. Setiap warga juga karena pencerdasan yang dilakukan Harian Borneo Tribune dapat mengambil keputusan-keputusan yang cerdas atas masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari; arif, bijaksana serta demokratis.

Harian Borneo Tribune lahir sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat Kalimantan pada umumnya dan Kalimantan Barat pada khususnya atas suguhan informasi yang berkualitas. Tidak hanya berkualitas pada sajian isi, namun juga wajah maupun edisi website. Model pendekatan koran ini kepada pembacanya adalah menjunjung tinggi idealisme, keberagaman dan kebersamaan.


Asal Usul

Borneo diambil dari nama besar pulau ketiga terbesar di dunia setelah Green Land dan Papua yang berarti pula air. Di sini terdapat makna simbolis dan filosofis bahwa kehidupan tak akan abadi tanpa air. Water is a basic of life. Tribune berarti panggung atau pentas di mana bumi tempat kita berpijak ini adalah pentas kehidupan. Borneo Tribune diharapkan menjadi satu media besar yang menjadi pentas kehidupan masyarakat untuk saling belajar satu sama lain sehingga tercapai misi media yakni informatif, edukatif, menghibur sekaligus menjadi alat kontrol sosial.

Logo

Harian Borneo Tribune menggunakan logo Enggang Gading (Hornbill) yang menjadi perlambang mitologi di tengah masyarakat asli Kalimantan. Enggang hidup di hutan belantara nan lebat dengan daya survival yang tinggi. Karakter Enggang setia, sabar danmenjunjung tinggi cinta-kasih. Oleh karena itu pula di dada Enggang sebagai logo Borneo Tribune melekat lambang love (cinta).

PT Borneo Tribune Press

Harian Borneo Tribune bernaung di bawah PT Borneo Tribune Press yang didirikan di Kota Pontianak, Rabu 21 Maret 2007.

Sirkulasi

Harian Borneo Tribune edisi printing disebarluaskan di antero Kalimantan Barat dalam jangka pendek, dan seluruh Kalimantan dalam jangka panjang. Harian Borneo Tribune juga menjangkau mancanegara dengan menampilkan www.borneo-tribune.com

Rubrikasi

Harian Borneo Tribune terbit 24 halaman dengan rubrikasi yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Rubrikasi itu meliputi:
1. Teras (Sajian berita-berita utama di halaman utama)
2. Serantau (Berita-berita nasional)
3. Trah Kalbar (Politik daerah Kalimantan Barat)
4. Opini (Pendapat dari pengamat, ilmuan maupun peneliti)
5. Eco Borneo (Berita-berita lingkungan hidup)
6. Pontianak Metropolitan Area/Pamora (Liputan mengenai Pontianak masa lalu, hari ini dan esok).
7. Pamora-Ceremonial (Liputan terhadap event masyarakat kota Pontianak).
8. Filantropi (Kegiatan-kegiatan sosial, perjuangan hidup anak manusia).
9. Humaniora (Deviasi sosial yang menyentuh rasa kemanusiaan, yang terjadi sehari-hari).
10. Perempuan (Pemberitaan seputar kehidupan sehari-hari kaum Hawa).
11. Sport (Sajian berita olahraga lokal dan nasional)
12. Foot Ball (Sepakbola dunia)
13. Pundi-Pundi (Berita ekonomi)
14. Techno Tribune (Berita teknologi)
15. Pandora (Liputan khusus bidang sosial budaya dan kearifan lokal Kalbar)
16. Kalbar Tribune (Berita keliling Kalbar)
17. Pendidikan (Berita seputar dunia pendidikan)
18. Tribunetainment (Berita hiburan)
19. Food & Fashion (Makanan dan mode)
20. Pariwara (Iklan)
21. Book Club (Klub baca buku)
22. Mailing List (Komunikasi timbal balik antara publik dan pemerintah)
23. Sastera (Menghidupkan seni dan budaya di tengah warga).
24. Liputan Khusus (Kupasan mendalam--8 halalam--terhadap kejadian penting di tengah masyarakat, menggunakan sudut pandang yang beragam. Liputan ini khusus untuk terbitan hari Minggu).

Baca Selengkapnya..

Mereka Yang Terlupakan

Tak seperti biasanya matahari siang itu bersinar tidak terlalu terik. Langit masih terlihat mendung. Tadi pagi hujan baru saja mengguyur beberapa sudut kota Khatulistiwa ini. Hingga hawa dingin masih terasa meski waktu hampir menunjukkan pukul 12.00 WIB. Tak heran jika sebagian orang-orang yang lalu lalang di sekitar kawasan Jalan Wonoyoso, Kota Baru Pontianak mengenakan jaket untuk menghalau gerimis tipis yang masih enggan untuk beranjak.
Saya menghentikan sepeda motor tepat di sebuah rumah dengan catnya yang berwarna coklat kemuda-mudaan. Nuansanya sangat teduh sekali. Di depan, dekat pagar masuk terpasang papan nama “Yayasan Panti Asuhan Bakti Luhur” . Saya segera membuka pagar besi yang ternyata tidak terkunci.
Seorang perempuan muda yang umurnya sekitar 20-an dengan tiga bocah umuran 2 sampai 4 tahun terlihat sedang asyik bermain di sebuah ayunan yang terbuat dari besi.
Ia tersenyum ramah kepada saya dan saya pun segera membalas senyumnya. Kemudian segera saya utarakan maksud kedatangan saya yakni untuk mewawancarainya tentang Panti Asuhan Bakti Luhur tersebut. Tak lama muncul seorang perempuan biarawati yang oleh orang awam biasa dipanggil suster.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah kepada saya.
“Saya dari Borneo Tribune, bisa saya ketemu dengan pengurus atau pimpinan disini? tanya saya lagi.
“Mari silakan masuk,” tawarnya sambil membukakan pintu. Saya mengikuti langkahnya dari belakang.
“Suster Maria Goretti, pimpinan disini sedang keluar, barangkali bisa dengan saya,” tawarnya.
Kami pun berbincang-bincang sejenak. Saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri masing-masing. Namanya suster Yohana. Umurnya sekitar dua puluhan. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
Kami duduk bersebelahan di atas sebuah sofa yang empuk dalam sebuah ruangan yang seluruhnya dicat dengan warna putih. Ruangan itu disediakan untuk bermain bagi anak-anak di panti asuhan tersebut. Dan ruangan tersebut sering dikunjungi oleh tamu atau para dermawan padahal ada ruangan yang sebenarnya sudah disediakan bagi tamu.
Sebagian langit-langit dinding di ruangan tersebut dipenuhi gantungan hiasan yang menjurai ke bawah. Hiasan tersebut bergambar boneka dengan khas warna yang menarik bagi anak-anak dan ada pula sebuah gantungan yang terbuat dari sedotan. Dan jika tertiup angin, hiasan dari kertas tersebut akan meliuk-liuk seperti orang yang sedang menari.
Di dinding sebelah kanan terdapat struktur pengurus panti, mulai dari Ibu asrama, para perawat dan anak-anak panti asuhan yang berjumlah 25 orang. Sedangkan 10 orang lainnya ditempatkan di Panti Asuhan Bakti Luhur Jalan Podomoro.
“Panti asuhan yang disini khusus perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil, sedangkan kalau yang sudah besar dipisahkan, mereka di tempatkan di Jalan Podomoro,” jelas Yohana.
Di depan pintu masuk terpasang spanduk. Rupanya baru saja salah satu dari penghuni panti asuhan tersebut meninggal dunia, karena menderita penyakit hidrocypalus.
Menurut Yohana, Panti Asuhan Bakti Luhur ini sudah berdiri sejak tahun 2002 dan dikelola oleh Suster Alma. Ini merupakan cabang dari Nanga Pinoh. Dimana penggerak pertamanya adalah suster Rensi. Semua penghuni di panti itu berasal dari kota Pontianak bahkan ada yang berasal dari luar Pontianak.
Tidak semua anak yang menghuni di panti asuhan tersebut tumbuh dengan normal. Sebagian anak cacat baik cacat fisik maupun cacat mental. Rata-rata mereka yang dititipkan berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Bahkan tidak sedikit orang tua yang menitipkan buah hatinya di panti asuhan tersebut hingga saat ini tidak pernah mengunjungi mereka.
“Mereka menitipkan anak mereka disini, pada mulanya mereka mengunjungi anaknya, tapi tidak sedikit yang sampai sat ini tidak pernah datang lagi,” kata suster Yohana.
Biarawati berkulit hitam manis ini menuturkan anak yang dititipkan itu bervariasi umurnya. Mulai dari yang baru berumur satu hari sampai yang berumur lebih dari tiga tahun.
“Rata-rata merea yang dititipkan disini masih kecil-kecil, bahkan ada yang baru berumur satu hari,” jelasnya.
Tak berapa lama lewat dihadapan kami, seorang anak perempuan yang sedang di dodorong dengan kursi roda oleh seorang suster. Kepalanya membesar, ia sedikit tak berdaya, terbaring lemas di atas kursi roda itu. Sebagian tubuhnya ditutupi oleh selimut.
“Disini ada tiga orang yang menderita hidrocypalus, satu telah meninggal dunia dan satunya lagi itu,” tunjuknya dengan ibu jari kanannya pada seorang anak yang sedang digendong oleh salah seorang suster.
“Namanya Imanuel,” kata Yohana. Ia diam sesaat memandangi Imanuel yang sedang minum susu menggunakan botol, seorang suster namanya suster Renti membantunya.
“Umurnya baru satu tahun, dan ia adalah penghuni yang umurnya paling muda disini, orang tuanya sampai saat ini tidak pernah menjenguknya, ibunya cacat. Saat umurnya satu hari ia sudah diantar ke sini itu pun oleh tetangganya,” jelas Yohana panjang lebar.
“Selain itu ada pula seorang perempuan yang umurnya 37 tahun, ia menderita cacat fisik dan mental. Kaki tangannya tidak bisa digerakkan lagi,” ujar Yohana.
Selang beberapa menit. Tiga bocah segera mengerubunginya. Yohana tampak kewalahan tatkala bocah-bocah itu merangkul bahunya, ada yang duduk dipangkuannya dan ada yang bersandar di tangan kananannya.
“Disini mereka yang normal menjalani hidup seperti layaknya anak normal lainnya. Mereka diajari untuk andiri, sedangkan yang cacat sebisa mungkin juga kita ajari untuk mandiri, kalau tidak bisa makan sendiri, kita latih supaya bisa makan sendiri,” ujar Yohana.
Meski banyak anak-anak yang masih kecil-kecil. Lantai marmer yang putih bersih itu tak nampak ada sampah yang berserakan. Sebuah rak buku dari rotan duduk manis di sudut kanan ruangan.
Menurut Yohana, ada empat kamar yang digunakan untuk mereka tidur. Satu kamar dihuni kurang lebih 10 orang anak yang ditemani satu orang suster dan satu orang awam selaku relawan. Gelar awam ini untuk membedakan perawat dengan biarawati. Perempuan yang boleh menikah disebut awam. Sedangkan biarawati tidak boleh menikah selama kaul (perjanjian dengan Tuhan) belum dilepaskan.
Seperti anak-anak normal lainnya. Mereka juga sekolah. Yang normal sekolah di tempat umum, ada yang ikut play group dan yang cacat sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Yohana yang sudah setahun merawat anak-anak tersebut mengatakan walaupun anak-anak di panti asuhan itu cacat, perasaan mereka tetap sama layaknya anak-anak normal lainnya.
Saat pertama kali merawat anak-anak cacat itu Yohana merasakan sangat prihatin melihat kondisi mereka. Dengan perasaan sayangnya ia merawat anak-anak itu seperti seorang ibu terhadap anaknya.
“Saya senang bisa membantu mereka, kalau bukan kita siapa lagi yang mau peduli terhadap mereka,” ungkap Yohana.
Untuk masalah dana, Yohana mengatakan berasal dari para dermawan. Jika ditanya cukup atau tidak? sekali lagi dengan senyumnya yang tak pernah lepas, perempuan bijak ini mengatakan kalau masalah uang memang tidak bisa dikatakan cukup, namun karena dikelola dengan baik semua itu bisa diatasi. Semoga para dermawan semakin terketuk hatinya untuk membantu pembiayaan anak-anak yang terbuang dari keluarganya ini.

Maulisa/Borneo Tribune/Pontianak

Baca Selengkapnya..

Sunday, June 10, 2007

Gawai Dayak 2007

Penonton dibuat histeris ketika Martinus Sudarno dan Yoseph Oedillo Oendon memandu acara lelang barang kerajinan karya para seniman Dayak yang berlangsung di Betang, Jalan Sutoyo tadi malam.
Barang yang dilelang itu berupa perisai, lukisan di atas kanvas dan patung yang terbuat dari kayu belian (ulin).
Para tokoh dan sepuh Dayak yang menghadiri acara tersebut antusias mengikuti lelang dimaksud. Mulai dari pengusaha Dayak yang sukses di Jakarta, Dicky, Paulus maupun mereka yang sudah mapan di daerah ini. Entah gensi atau memang ingin membantu dan menghargai para seniman Dayak, yang jelas mereka saling berlomba menunjukkan tangan ketika pemandu acara menyebutkan nilai barang lelang.
Secara keseluruhan hasil lelang kesenian Dayak berupa perisai, patung dan lukisan di atas kanvas itu laku terjual Rp 97 juta.
Perisai karya Martin yang menjadi juara pertama oleh Paulus dihargai Rp 40 juta. Sedangkan baju manik, dasi dan peci dari Betang Centre laku Rp 10 juta dan jatuh ke tangan Cornelis yang juga Bupati Landak.
Paket pertama hasil karya yang ditawarkan adalah juara tiga lomba melukis perisai, lukisan di atas kanvas dan patung, dibuka dengan harga Rp 2 juta yang ditawarkan oleh Fredrik Kuyah, Herkulana menawar Rp 3 juta. Akhirnya barang lelang menjadi milik Kepala Dinas Pariwisata Kalbar, Rihat Nasir Silalahi dengan harga Rp 4 juta.
Sedangkan untuk lelang kedua adalah juara kedua lomba melukis perisai, lukisan di atas kanvas dan patung juga dijadikan satu paket. Yang beruntung mendapatkan paket lelang tersebut adalah Herri Djaong dengan harga Rp 6 juta. Namun sebelum jatuh ke tangan Herri Djaong, barang yang pertama kali dibuka dengan harga Rp 5 juta itu silih berganti ditawar oleh Herkulana dan Purwanto Suwito anggota DPRD Kalbar dan tokoh lainnya termasuk Bupati Sekadau, Simon Petrus. Namun akhirnya yang berhak mendapatkan adalah Herri Djaong dengan penawaran tertinggi Rp 6 juta.
Pada lelang terakhir panitia menawaikan perisai, lukisan di atas kanvas dan patung yang menjadi juara pertama jatuh ke tangan Paulus dengan harga Rp 40 juta.
Sedangkan paket perisai dari salah satu Sanggar juga laku terjual dengan harga Rp 7,5 juta, dan langsung diboyong oleh Ibu Herkulana.
Pada penutupan lelang, panitia juga menawarkan rompi, dasi dan peci dari manik-manik. Barang tersebut jatuh ke tangan Cornelis dengan harga Rp 10 juta. Uangnya langsung diserahkan kepada Betang Centre—cikal bakal pembangunan Betang di Sungai Ambawang.
Itulah rangkaian acara penutupan Pekan Gawai dan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan, namun sebelumnya ditampilkan juga tari-tarian dan penyanyi-penyanyi Dayak. Bupati Sekadau, Simon Petrus menilai secara keseluruhan pelaksanaan Gawai dan Gelar Budaya Dayak se-Kalimantan ini berlangsung sukses. “Kita patut memberi pujian kepada panitia yang dengan segenap tenaga dan pikirannya bisa melaksanakan gawai ini dengan baik,” komentarnya di sela-sela penutupan gawai tadi malam.

Baca Selengkapnya..

Saturday, June 2, 2007

Sengkarut Harian Equator Pontianak

Andreas Harsono
Pantau, Jakarta

PONTIANAK--Suasana Lebaran hari keempat tampaknya sudah tuntas dengan acara maaf lahir dan batin ketika Djunaini KS, direktur utama PT Kapuas Media Utama Press, merangkap pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Equator, memecat empat redakturnya: Yusriadi, Tanto Jacobus, Hairul Mikrad dan Asriyadi Alexander, Jumat malam.

Alasannya, empat wartawan itu ikut membuat "mosi tidak percaya" terhadap Djunaini. Djunaini memakai kata "dinonaktifkan" saat mengusir keempatnya secara lisan. PT Kapuas Media Utama Press adalah penerbit harian Equator, satu dari lima suratkabar milik Kelompok Jawa Pos di Pontianak.

Menurut beberapa saksi, sekitar pukul 20:10 Djunaini tiba-tiba berteriak memanggil mereka di ruang redaksi, "Alex, Yusriadi, Dek berdiri! Kalian keluar!” Kalimat itu diulanginya tiga kali. Keempat kalinya, Djunaini menambahkan, “Alex, Yusriadi, Dek, Tanto, berdiri. Kalian keluar!" Banyak orang terpana. Dek adalah nama panggilan Hairul Mikrad.

Menurut Alex, dia sempat bertanya, "Apa alasan Anda memecat saya?"Djunaini menjawab, "Surat yang Anda tulis ke Jawa Pos. Saya adalah direksi di sini dan saya berhak.""Saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum ada pemecatan dari Dahlan Iskan," kata Alex, mengacu pada orang nomor satu Jawa Pos.

Djunaini tak menyangka ada sanggahan. Djunaini kemudian menelepon Zainal Muttaqin, CEO Jawa Pos. Namun, telepon Djunaini tak dijawab. "Jawa Pos minta saya mereshuffle. Silahkan Anda keluar dari tempat ini. Mulai saat ini Anda dinonaktifkan sampai ada keputusan lebih lanjut," kata Djunaini.

Djunaini langsung memanggil Rido Ibnu Syahrie, mantan koresponden Equator di Singkawang yang baru pindah ke Pontianak, untuk mengambil alih pekerjaan editing. Suasana tegang. Menurut dua saksi, Djunaini terlihat emosi sampai lupa memasang gigi palsunya.

Keempat wartawan itu pun keluar dari kantor Equator. Alex dan Yusriadi duduk di depan kantor. Mereka melihat beberapa orang tak dikenal, kelihatannya orang keamanan, ditempatkan Djunaini di pintu masuk. Orang-orang itu memberi ultimatum: tak boleh ada wartawan luar masuk ke Equator.

Malam itu beberapa wartawan datang dari Pontianak Post, Kompas, Antara, TV7, Volare serta Muhlis Suhaeri dan saya dari Pantau. Beberapa wartawan Equator, antara lain Elfrida Sinaga, Indra Nova, Anton Perdana dan Stevanus Akim, ikut mengelilingi Alex dan Yusriadi. Mohamad Iqbal, putra sulung Djunaini, berada di depan pintu masuk.

Pemecatan ini buntut dari mosi yang ditandatangani 32 karyawan Equator. Mereka mengirim surat kepada Zainal Muttaqin pada 5 Oktober. Intinya, mereka minta penggantian Djunaini selaku direktur dan editor. Jawa Pos memiliki saham 67.5 persen, Djunaini 2.5 persen dan karyawan 30 persen.

Dalam mosi itu, karyawan menilai Djunaini sering mencampuri urusan Equator dengan bisnis non-media (Djunaini terlibat dalam usaha perkebunan kelapa sawit), sering melarang berita-berita tertentu (antara lain, protes masyarakat Dayak dan organisasi lingkungan terhadap perkebunan sawit), sering tak masuk kantor, mempraktikkan nepotisme (kedua putranya dilibatkan dalam Equator) dan mem-black-list 13 politisi dan organisasi dari pemberitaan Equator.

Mereka yang masuk daftar hitam Djunaini, termasuk Bupati Kabupaten Landak Cornelis, kandidat Gubernur Kalimantan Barat Akil Mochtar, Bupati Kabupaten Pontianak Agus Salim, anggota DPR Uray Faisal Hamid, ketua DPRD Pontianak Gusti Hersan Asli Rosa, ketua Yayasan Bhakti Suci Lie Kie Leng, Adhie Rumbee dari Majelis Adat Budaya Tionghoa serta organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat.

Djunaini juga tak suka pada politisi AR Muzammil, advokat Cecep Priyatna, akademikus Rousdy Said. Dua organisasi ini dinilai Djunaini anti perkebunan kelapa sawit. Mosi tersebut dilampiri berita-berita Equator yang tak dimuat karena intervensi Djunaini. Para karyawan juga mengeluh soal ketiadaan genset (listrik Pontianak sering mati), komputer sudah tua, tenggat waktu berita sering dilanggar, tiadanya transparansi pembangunan gedung baru Equator, kontrak kerja tak jelas, dan karakter Djunaini temperamental.

Fakun dari bagian grafis juga mengeluh Djunaini kurang menghargai upaya perbaikan tata letak Equator sesudah mereka mendapat pelatihan dari Georgia Scott, desainer harian The New York Times. Djunaini sering bilang, "Bantai, bantai ja," ketika orang grafis bekerja membuat tata letak dengan memakai bekal pelatihan Scott. Kata “ja” dalam bahasa Melayu, yang lazim dipakai di Pontianak dan sekitarnya, artinya “saja” dalam versi resmi Indonesia. Saya mengenal banyak karyawan Equator.

Saya kira mereka yang dipecat relatif wartawan berprestasi dan punya niat meningkatkan mutu suratkabar itu. Yusriadi wartawan ahli bahasa. Dia sering jadi tempat bertanya rekan-rekannya. Dia mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur.

Dia menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan. Riset dan penulisan buku ini dibimbing Prof. James T. Collins, ahli Borneo dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Collins memuji buku tersebut karena membongkar stereotip Borneo bahwa orang Melayu selalu Muslim dan tinggal di daerah pesisir, sedangkan orang Dayak tinggal di pedalaman.

Yusriadi sendiri orang Embau, sebuah komunitas Dayak Muslim, kadang disebut Melayu, yang tinggal di sepanjang Sungai Embau di jantung Kalimantan. Etnisitas adalah isu penting di Pontianak. Berbagai buku --termasuk karya Jamie Davidson dari Universitas Washington, Seattle, soal akar kekerasan di Kalimantan Barat-- menyebut pulau ketiga terbesar dunia ini selalu penuh dengan masalah keragaman etniknya. Davidson menelusuri ethnic cleansing orang Tionghoa dan Madura.

Alex dan Tanto orang Dayak. Hairul orang Bugis. Alex juga seorang penyair. Dia pernah diundang ke Sarawak, Malaysia karena puisi-puisinya. Alex, Hairul dan Tanto juga anggota Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi wartawan, yang giat kampanye anti-amplop.

Tindakan Djunaini sangat berani memecat langsung empat dari lima redakturnya. Nur Iskandar, redaktur pelaksana, yang ikut memotori mosi tersebut, tak ikut dipecat namun disingkirkan dengan halus lewat penunjukan Rido. "Saya memutuskan tidak bekerja Sabtu ini," katanya.

Artinya, Djuanini sekaligus membabat habis lapisan redaktur paling atas di Equator. Hanya satu redaktur, Mutadi, yang tak disingkirkannya. Rido Ibnu Syahrie, yang menggantikan Nur Iskandar, mulanya ikut rapat-rapat dan menandatangani mosi tak percaya Djunaini. Entah bagaimana dia bersama delapan karyawan lain kemudian berbalik arah dan membuat surat tandingan.

Mereka tetap minta perbaikan manajemen, tapi tak menggugat status kedirekturan Djunaini. Saya minta komentar Rido tentang surat tandingan itu, namun tak dijawab. Nur Iskandar mengatakan bahwa sesudah pemecatan, Djunaini, Rido dan kawan-kawan mengadakan rapat serta makan-minum.

Anton Perdana, koresponden Sanggau yang ikut barisan Rido, mengatakan mereka bisa memahami keputusan penonaktifan keempat rekan mereka, "Itu kebijakan pimpinan, kami ikut. Kami hanya ingin menyelamatkan tempat kami makan." Mohamad Qadhafy, putra bungsu Djunaini yang menangani bagian event Equator, menolak tuduhan nepotisme.

Dia menyebutkan bahwa dia sudah menulis untuk Equator sejak 2003. "Saya mulai bisa nyari duit dengan menggarap event sebelum bekerja di harian Equator," katanya.Barisan Djunaini-Rido kebanyakan didukung koresponden Equator di luar kota Pontianak. Mereka termasuk Adrianus Jumadi (Landak), Darussalam (Ketapang), Indra Nova (Melawi), Yuni Kurnianto dan Ramdan (Singkawang).

Seorang reporter baru, Aulia Marti, juga ikut gabung gerakan mendukung Djunaini ini. Gerakan Djunaini-Rido mendapat momentum dari sebuah pertemuan di rumah Djunaini di daerah Parit Haji Husin pada hari Rabu, Lebaran kedua. Tujuan pertemuan mendukung Djunaini. "Pimpinan ternyata commit," kata Anton. Ketika Jumat malam saya hubungi, Djunaini menolak memberi komentar, "Maaf, internal."

Menariknya, Djunaini sempat memberi tahu saya akan memecat “yang tak suka” padanya hari Kamis siang, sehari sebelum peristiwa Jumat. Ketika itu saya ikut beberapa karyawan Equator bertamu ke rumahnya. Sapariah Saturi, tunangan saya, pernah bekerja untuk Equator. Sapariah mengajak saya ke sana untuk diperkenalkan dengan "Boss Djun." Kami berbasa-basi saja.

Djunaini (terlihat dalam gambar bawah) bicara soal mempersiapkan gedung baru sebelum dia "lengser." Dia mengatakan dirinya "owner Equator dan kuasa Jawa Pos." Dia juga cerita akan “mempersilahkan” orang yang tak suka padanya untuk keluar dari Equator. Rumahnya dua tingkat, perabotan baru, mengkilat, desain modern, kitchen set rapi dan sebagainya. Di halaman banyak koleksi bonsai.

Saya tak melihat ada rak buku di lantai satu namun di meja tamu tergeletak novel Tom Clancy, The Bear and The Dragon.Rumah Djunaini kontras dengan kantor Equator di kawasan pertokoan Nusa Indah. Kantor kumuh. Perabotan bobrok. Komputer tua. Wartawan miskin. Alex sering bergurau bahwa tiga mobil yang sering parkir depan kantor Equator cuma mobil milik Djunaini, Mohamad Iqbal dan Mohamad Qadhafy: ayah dan dua anaknya.

Jumat malam, ketika baru dipecat, Hairul Mikrad kalut, memacu sepeda motornya keliling kota Pontianak. Dia sempat menerima pesan pendek dari nomor 0858-22059993, yang berbunyi, “Kau te dari mani anjing hitam yang kancut mak kau.” Artinya, “Kamu itu asalnya dari air mani anjing hitam yang menyetubuhi ibu kamu sendiri.”

Menurut Hairul, kalimat ini khas dialek Melayu Ketapang. Hairul beranggapan Djunaini tak mungkin mengirimkan pesan tersebut. Kemungkinannya, nomor itu nomor instant dan dikirim seorang kroni Djunaini yang tak mau diketahui identitasnya."Saya tidak sedih atau gundah dinonaktifkan, tapi saya sedih dengan kawan-kawan yang tidak komitmen," kata Hairul.

Mayoritas pendukung mosi balik badan ketika melihat keempat rekan mereka dipecat. Nur Iskandar mengatakan mayoritas takut kehilangan pekerjaan. Surat buatan Rido bahkan diedarkan dan dimintakan tanda tangan lebih banyak lagi.Yusriadi pucat sekali. Dia tidak biasa diperlakukan kasar.

Dia sempat mengungkapkan kegeramannya pada Anton Perdana dengan menyebut Anton sebagai "tim suksesnya" Djunaini. Anton menolak tuduhan Yusriadi.Menurut Tanto Jacobus, dia sudah punya firasat akan kehilangan pekerjaan. "Saya pikir, jangan-jangan ini hari saya terakhir kerja di Equator." Dia juga sudah menyiapkan isteri dan kedua anaknya untuk menghadapi perubahan situasi. "Kami biasa hidup miskin, tidak apa-apa," katanya.

(Asriyadi Alexander, Nur Iskandar dan Hairul Mikrad pernah ikut kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau di Jakarta dengan ampuan Janet Steele dari Universitas George Washington dan Andreas Harsono dari Pantau.)

Baca Selengkapnya..

Mengapa FILANTROPI…?

Rubrikasi ini dinamai FILANTROPI. FILANTROPI sendirii menurut kamus bahasa Melayu berarti perasaan kasih sayang terhadap orang lain atau kedermawanan sifatnya sangat penting untuk menciptakan keharmonisan di dalam masyarakat.

Rubrik ini penting untuk mengingatkan pembaca mengenai persoalan di sekitarnya. Sebab dalam hidup ini, kadang orang lupa dengan lingkungan sekitar, karena berfikir jauh ke depan. Sementara lingkungan sosial, mungkin jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan atau lupa. Untuk mengetahui liku-liku kehidupan “manusia lain” di sekitarnya itu, kisahnya akan dieksploitasi sedemikian rupa dalam rubrik FILANTROPI setiap harinya.

Urgensi

Banyak kasus anak di bawah umur terpaksa membanting tulang membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka terpaksa putus sekolah dan harus memikul tanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Mereka tidak tidur siang malam. Mereka umumnya bekerja di sektor informal seperti di pasar-pasar tradisional, di perempatan lampu merah dll. Mereka terpaksa membuang jauh-jauh nuansa masa kecil yang seharusnya menjadi hak mereka untuk menikmatinya.

Juga akan mengupas masalah trafficking. Kasus perdagangan manusia setiap tahun cenderung meningkat. Apalagi Kalbar berbatasan darat langsung dengan Malaysia—yang selama ini menjadi tujuan perdagangan orang. (anak dan perempuan).

Selain trafficking, juga akan menyajikan kisah para TKI baik yang berhasil maupun gagal dalam pertualangannya sebagai TKI di negeri orang.

Singkat kata, Rubrikasi ini dikelola sedemikian rupa dan digarap serta disajikan sedekat mungkin dengan pembacanya. Dengan harapkan pembaca betul-betul merasakan kejadian-kejadian di sekitarnya, bukan hanya melihat sambil lewat saja.

Tujuan

Rubrikasi ini dimaksudkan untuk membangkitkan kepekaan sosial pembaca Borneo Tribune, sehingga mereka bisa merasakan penderitaan saudara yang lain, dan pada gilirannya dapat turut memberikan bantuan untuk meringankan beban orang-orang yang sedang mengalami penderitaan.□

Filantropi adalah Rubrikasi dalam Harian Borneo Tribune

Baca Selengkapnya..